Orang barat selalu mengagung-agungkan ‘kebebasan bereskpresi’. Sebebas apa?
Apakah ada batasnya, atau tanpa batas? Bolehkah orang main musik secara hingar
bingar di perumahan yang padat penduduk? Bolehkah tetangga yang terganggu
marah-marah dan memaki-maki dengan bahasa “kromo inggil”? Di negara barat, ya,
orang bermain musik keras-keras dan tetangganya memaki-makinya. Sama-sama
boleh. Di Indonesia, kita tak bisa mengadakan pesta musik di rumah tanpa izin
Rukun Tetangga. Kalau ada tetangga terusik, dia akan datangi rumah kita dengan
baik –tanpa memaki- dan “minta tolong dikecilkan volume suaranya”. Inilah
harmoni ala Indonesia, sebagai kontras “kebebasan berekspersi” ala barat.
Melakukan kekerasan fisik sebagai reaksi atas provokasi jelas dianggap
salah, namun adakah vonis bagi “kebebasan bereskpresi dan berpendapat” yang
melukai hati orang lain? Bagaimana kita menahan orang yang dihina, “jangan
marah dong”; dan mengelak untuk mengecam orang-orang yang menghina dan
mengejek. Karena kita selalu menganggap yang barat lebih baik dari yang timur,
filosofi timur ‘harmoni’ (rukun dan damai) senantiasa dicurigai secara politis
sebagai ‘pembungkaman massal’ dan ‘toleransi’ dipandang sebagai ‘sifat
pengecut’.
Orang barat dan orang timur yang berpikiran barat ramai-ramai mengecam
Zidane sebagai “bodoh”, bahkan menyalahkannya karena “mudah terprovokasi”.
Hampir-hampir tak ada kecaman pada yang memprovokasi. Ini tentu saja tidak
adil. Bahkan ironis. Apa gunanya spanduk-spanduk raksasa dibentang di stadion
sepakbola, slogan-slogan dicanangkan “No to Racism”, bila rasisme terjadi di
depan mata, dan kita ramai-ramai memalingkan muka seolah itu tidak penting?
Ironis. Para penonton yang dikira brutal dan rasis, disangka akan menirukan
gerakan kera untuk mengejek para pemain Afrika (spanduk-spanduk itu ditujukan
pada para suporter), ternyata santun dan sportif; sementara sang atlet mengumbar
“kebebasan berekspresi”nya dengan menghina ibu dan saudara perempuan sesama
atlet, tepat di tengah arena.
Seseorang mengatakan, ada cara lebih beradab yang dapat dilakukan Zidane
selain menanduk Matarazzi. Apakah artinya Zidane tidak beradab? Lalu, bagaimana
tingkat keberadaban atau kebiadaban sang provokator?
Ada baiknya kita menengok kembali ke nilai-nilai ketimuran yang telah
terbukti menyatukan kita menjadi sebuah negara Indonesia, atau sebuah dunia
yang damai. Lihat nilai keluhuran Nabi Muhammad yang mengakui, “Belajarlah
sampai ke negeri China”, atau kebajikan Kong Hu Cu yang mengatakan, “Perhatikan
bahasamu.”. Sebetulnya musykil Indonesia bisa bersatu, melihat geografis dan
keanekaragaman suku dan tradisinya. Namun nenek moyang kita menginginkan harmoni.
Semua suku bangsa yang ada di Indonesia sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.
Karena berbeda-beda, mereka membutuhkan harmoni. Itu sebabnya toleransi, tepa
selira, dijunjung tinggi. Founding fathers kita bahkan sudah paham, bahwa
mayoritas tidak selalu harus memimpin. Kita renungkan coba, mengapa Jawa tidak
menjadi bahasa nasional, padahal penggunanya terbanyak di nusantara pada saat
Sumpah Pemoeda itu dicanangkan, dan pemimpinnya para pemuda Jawa? Tentu karena
pertimbangan-pertimbangan yang lebih luas daripada sekadar “kejayaan dan
mayoritas Jawa”.
Sebaliknya, mari kita tengok filosofi yang mendasari berdirinya negara
Amerika Serikat. Negara itu didirikan oleh para pelarian yang mencita-citakan
kemerdekaan. Freedom adalah kata ajaibnya. Bukan harmoni. Nenek moyang mereka
adalah para korban penindasan dan diskriminasi agama, etnisitas, ekonomi,
politik, di Eropah. Cita-cita mereka adalah bertindak bebas: bebas beragama
atau tidak beragama, bebas bicara, bebas menulis, bebas punya senjata, bebas
berpakaian. Apakah kebebasan itu akan merusak harmoni atau tidak, tidak menjadi
pertimbangan, karena waktu itu harmoni tidak diperlukan.
Apakah kita, bangsa Indonesia, membutuhkan kebebasan ala Amerika dan ala
barat itu? Ya, mungkin dalam beberapa hal bisa kita adopsi. Namun bila
taruhannya adalah harmoni, warisan nenek moyang kita, apakah kita akan
menukarkannya? Artinya, mengapa kita semua tidak menahan diri dalam berekspresi
dan berpendapat, bila ekspresi atau pendapat kita itu melukai hati orang-orang?
Tentu ini berbeda dengan kritik tajam kepada pemerintah yang korup, misalnya.
Hal seperti ini tak perlu ditolerir. Namun apa keberatan kita kalau kita tidak
menggambar Nabi Muhammad seperti babi, tidak mengatakan ibu Zidane sebagai
pelacur? Mengapa kita menyalahkan orang yang tersinggung? Kalau tidak diawali,
tak ada orang tersinggung, bukan?
Sayang sekali, pesta sepak bola Piala Dunia tahun 2006 yang hingga menit
teakhir dipuja-puja sebagai terbaik selama ini karena kemegahan dan
sportivitasnya, menjadi ternoda. Bukan oleh Zidane, melainkan oleh ulah seorang
atlet yang tak dapat menjaga mulutnya. Zidane telah melanggar aturan olah raga,
namun Matarazzi telah melanggar prinsip kemanusiaan. Tak heran, semakin banyak
simpati ditujukan paad Zidane, mesipun dia dari etniis dan agama yang minoritas
di Eropah.
Penulis : Sirikit Syah
(Di ambil dari tulisan asli yang berjudul “Zidane”)
(Di ambil dari tulisan asli yang berjudul “Zidane”)