Saya pemegang tiket Garuda Indonesia kelas ekonomi untuk kepulangan Jakarta
pada 13 Januari 2012 dari Surabaya dengan kode penerbangan GA 321 pukul 15.30
WIB.
Ketika membeli tiket itu di Bandara Juanda, beberapa saat setelah mendarat
dari Jakarta dengan penerbangan GA 310 pada 12 Januari, saya bersama dengan
seorang teman bahkan telah sekaligus memesan seat yang berdekatan. Seluruh
bukti print out ada di tangan saya.
Pada hari keberangkatan, yaitu tanggal 13 Januari, beberapa jam sebelum
penerbangan kami mendatangi kantor Garuda di Hotel Bumi Surabaya untuk city
check in. Tetapi betapa mengejutkan karena ternyata di komputer Garuda tiket
saya dinyatakan berstatus flown, sudah terpakai sehari sebelumnya pada jam yang
sama.
Kami dilayani oleh staf bernama Amira dengan mondar-mandir, mungkin,
berkonsultasi dengan atasannya. Saya menunjukkan boarding pass penerbangan
tanggal 12 Januari dari Jakarta serta identitas yg diperlukan, berikut kartu
keanggotaan GFF Garuda Indonesia-Citi.
Setelah sekitar dua jam tidak jelas solusinya, dan waktu semakin mepet
untuk penerbangan sesuai jadwal tiket, saya kemudian dipersilakan bertemu
dengan Ibu Eryn.
Namun hampir sama dengan bawahannya ia juga awalnya berulang-ulang
menyatakan keheranannya dan bertanya apakah saya atau teman saya tidak pergi ke
Bandara pada jam itu.
Ia pun menjelaskan bahwa petugas yang meloloskan tiket saya tersebut sedang
tidak bertugas. Saya katakan, tidak penting bagi saya siapa orang itu. Karena
yang saya ingin dapatkan adalah bagaimana sistem di korporasi ini menyelesaikan
persoalan yang menimpa saya sebagai pelanggan akibat kecerobohan operasional
mereka.
Saya beberapa kali bertanya adakah unsur kesalahan saya dalam soal ini. Ibu
Eryn selalu menegaskan kesalahan bukan di pihak saya.
Lantas ia menelepon sesorang, yang belakangan saya ketahui adalah Bapak
Putut Avrohandri, dari bagian customer service di Bandara Juanda. Dalam
pembicaraan tersebut, Ibu Eryn tampak membenarkan saran dari orang yang
diajaknya bicaranya itu. “Ya saya juga suggest begitu,” ujarnya.
Yang dimaksud suggest tersebut adalah: Saya harus membeli tiket baru untuk
bisa kembali ke Jakarta. Dengan agak emosional saya mengatakan bahwa solusi
yang ditawarkan itu tidak mencerminkan solusi dari level manajemen yang punya
otoritas.
Seorang staf paling rendah pun di kantor itu akan dengan gampang menawarkan
ide tersebut tanpa berpikir. Ibu Eryn berjanji jika nanti masalah ini sudah
bisa ditelusuri pihaknya akan mengirimkan refund kepada saya.
Saya timpali, bahwa itu juga solusi yang bodoh. Kalau Garuda serius mau
membantu dengan menerbitkan tiket baru tanpa saya harus membayar Garuda tidak
akan rugi sedikit pun, toh suatu saat dana refund itu akan kembali ke Garuda
juga.
Dalam hal ini saya ingin memberi catatan terhadap apa yang terjadi,
sebagaimana juga sudah saya sampaikan pada Bapak Putut di Bandara Juanda.
Pertama, telah terjadi kesalahan ganda yang fatal oleh Garuda dengan menerbangkan
orang dengan identitas yang berbeda sekaligus tidak pada jadwal yang sesuai
dengan tiket. Akibatnya orang yang berhak atas tiket tersebut dirugikan.
Kedua, Garuda sebagai korporasi besar ternyata tidak memiliki
sistem/mekanisme memperbaiki kesalahan dan membuat solusi untuk menyelesaikan
permasalahan. Terbukti tidak ada yang bisa dilakukan Garuda. Tidak ada tawaran
untuk menyediakan tiket pengganti.
Saya akhirnya bisa pulang karena saya membeli tiket baru untuk flight GA
329. Itu berarti Garuda melakukan kezaliman karena tidak ada niat baik untuk
menolong walaupun pihaknya telah merugikan customer. Customer disuruh untuk
menyelesaikan sendiri masalahnya, padahal yang membuat masalah itu adalah
Garuda.
Kepada Redaksi, terimakasih atas dimuatnya surat pembaca ini dan saya
berharap para pelanggan Garuda dapat mengambil pelajaran dari kejadian ini.
Semoga Garuda Indonesia sebagai flag carrier milik nasional dapat
memperbaiki kinerjanya.
Ahmad Fadillah
Karawaci ,Tangerang Banten
Sumber http://web.inilah.com