Status FaceBook yang sayatulis kemarin itu tidak mendapatkan tanggapan.
Mungkin saya mengunggahnya sewaktu yang lain sedang sibuk. Padahal, sebenarnya
pertanyaan itu menggelitik. Apalagi dilihat dari sudut pandang sosiologi
misalnya.
Selama ini, kita didoktrin oleh guru-guru terutama sewaktu SD bahwa bangsa
kita ini ramah. Benarkah?
Sewaktu berkunjung ke Bali misalnya, keramahan macam apa yang Anda
dapatkan? Saya berkali-kali melihat di berbagai tempat wisata, para pedagang
lebih ramah kepada turis asing daripada domestik.
Kalaupun saya hendak mendapatkan
keramahan itu, harganya mahal. Harus menyewa hotel berbintang minimal empat
dengan menunjukkan kemakmuran kita barulah keramahan itu didapat.
Coba lakukan tes kecil. Ajaklah siapa pun yang Anda temui berkenalan
(dengan catatan usia Anda sudah bukan ABG lho, karena di usia itu biasanya kita
lebih terbuka). Di mana saja (di terminal, di dalam bus, di acara seminar,
dll.). Hampir pasti Anda akan mendapatkan sikap defensif lebih dulu. Kalau pun
orang itu mau diajak berkenalan, biasanya tampak enggan dan terpaksa. Apalagi
lawan jenis.
Saya berkali-kali mendapatkan pengalaman empiris bahwa keramahan orang
Indonesia hanya ada di desa-desa atau kota-kota kecil. Sementara di kota-kota
urban justru sulit didapat. Bahkan, semenjak Orde Baru tumbang, ada implikasi
negatif yaitu konflik horizontal meruyak. Ditambah dengan pengkondisian adanya
teroris berkeliaran, orang jadi gampang curiga pada orang lain yang tidak
dikenalnya atau orang baru di lingkungannya.
Kondisi terbaik untuk berkenalan justru di seminar yang bersifat
networking. Namun ada anomali besar saat ada acara bertajuk networking
day yang dihadiri partner saya pekan lalu. Dalam acara yang digagas oleh
sebuah radio tersebut, partner saya menyebutkan bahwa dirinya yang berhasil
mendapatkan setumpuk kartu nama berkali-kali ditanya dengan heran oleh peserta
lain, “Kok bisa sih dapat kartu nama sebanyak itu?” Partner saya memberi
kesaksian bahwa kebanyakan orang (bahkan termasuk para pengisi acara yang
terkenal) hanya berusaha mencari teman-teman yang dikenalnya dan tidak membuka
diri berkenalan dengan orang-orang baru.
Sikap defensif bisa ditunjukkan dan tampak dengan banyak cara. Salah satu
yang paling utama adalah gesture dan cara bicara. Tangan dilipat di
depan dada (bahasa Jawanya “sedakep”) atau bicara sepotong-sepotong saat
disapa/ditanya merupakan pertanda jelas secara psikologis yang bersangkutan
defensif.
Satu pertanda lain yang jelas adalah acara televisi yang berpola ada
aktor/aktris minta pertolongan dari sembarang orang di jalan. Bila ada yang mau
menolong, maka akan diberi hadiah uang cukup besar. Biasanya, pertolongan yang
diminta memang kepada orang yang juga tampak susah hidupnya, misalnya pedagang
kecil. Sementara jenis pertolongan yang dimintakan biasanya juga agak tidak
masuk akal. Misalnya mengantarkan aktor/aktris ke kota lain atau menjual seikat
rambutan seharga Rp 100.000,00. Biasanya, dari sekian banyak yang dimintai
tolong, hanya ada 1 yang mau menolong dengan ikhlas. Itu pun setelah mencari
hampir seharian dan menemui puluhan -bahkan lebih- orang untuk dimintai tolong.
Bagi saya, kesemua itu merupakan pertanda jelas bahwa sebenarnya keramahan
orang Indonesia patut dipertanyakan. Maka, marilah memulai dari diri sendiri
dengan menjadi pribadi yang lebih ramah. OK?
http://lifeschool.wordpress.com