Secara kemanusiaan, feminisme di Barat gagal dalam level rumah tangga atau
pun generasi. Pernikahan sudah tidak lagi menjad hal yang penting. Bahkan
kosakata husband (suami) itu meskipun ada, jarang dipakai, karena
Barat lebih suka memakai istilah partner (pasangan).
“Itu kasusnya ketika istri saya sedang hamil dan diperiksa di rumah sakit.
Ketika saya diberi formulir, lho kok yang ada kolom partner, bukan husband.
Jadi orang yang menikah harus mengalah dengan orang yang tidak menikah atau
pasangan kumpul kebo,” kata Henry Shalahuddin, kepada Eramuslim.com, Rabu
(21/12).
Pria yang belum lama ini pulang ke Indonesia setelah tinggal selama 1.5
tahun di Australia ini mencatat hancurnya konsep pernikahan di Barat
berimplikasi pada kian tingginya tingkat perceraian, “karena masing-masing
orang tidak ada yang mau diatur,” tambah peneliti INSISTS ini.
Hampir di sejumlah Negara Barat seperti USA, Belanda, dan Jerman pun
tingkat kelahiran juga sangat minim, sedangkan di Negara-negara muslim seperti
Arab Saudi justru meningkat. ”Di Australia, lebih baik orang memelihara anjing
ketimbang anak,” sambung penulis buku Al Qur'an Dihujat ini.
Ia pun mendapati anak-anak di Australia memiliki prestasi rendah sedangkan
anak dari dataran Asia justru sebaliknya. Mereka relatif lebih cerdas daripada bule
Australia.
Turunnya rasa memiliki keluarga para orang tua menjadi pemicu dibalik itu
semua. “Orang yang mau melahirkan itu yang masih mau ke gereja, sedangkan
gereja sekarang sepi.”
Karenanya, kata Henry, untuk mengisi kekosongan, gereja di Australia banyak
mengadakan kursus bahasa Imggris gratis bagi pendatang. Menyedihkan.
(Pz)
Sumber http://www.eramuslim.com