Ibarat mobil remnya sudah blong. Tak ada lagi cara menghentikan laju mobil.
Sedangkan sopirnya terus menekan pedal gas. Kencang. Tidak peduli mobil
menabrak apa saja dan siapa saja didepannya. Menghancurkan apa saja. Sopir
terus menginjak pedal gas, sampai mobil hancur lebur berkeping, dan sopirnya
mati. Baru berhenti.
Itulah kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini. Terus melaju tanpa batas.
Terus berlari kencang, tanpa kendali. Melesat bagai meteor. Karena tidak ada
lagi rasa "khauf" (takut). Rasa takut sudah pupus. Diganti
dengan keinginan dan ambisi terhadap kenikmatan duniawi. Indonesia seperti
dikatakan oleh Busyro Muqaddas, sebagai : "Bangsa hedonis".
Keserakahan, ketakamakan, kemaksiatan, kesesatan, kedurhakaan, dan segala
penyimpangan menjadi "aqidah" mereka. Tidak ada lagi aturan
hidup yang menjadi pegangan. Agama (Islam) yang mereka anut, sudah mereka
tinggalkan.
Padahal, sekarang di seluruh daratan Eropa, perayaan Natal dan Tahun Baru,
di tengah lelehan salju Desember yang beku, kehidupan mereka sangat buram.
Satu-satunya negara yang rakyatnya masih mampu berbelanja dan merayakan
Natal dan Tahun Baru, hanyalah Jerman.
Selebihnya, negara-negara di zona Eropa, rakyatnya hanya duduk di depan
tungku pemanas di rumahnya. Sambil merenungi kehidupan mereka yang bangkrut.
Mereka yang menjadikan "Tuhannya" kenikmatan dunia sudah
berakhir.
Negara yang paling tua lahirnya imperialisme dan kapitalisme yaitu Portugal
dan Spanyol, serta tempat lahirnya kapitalisme (demokrasi) paling tua,
Yunani, sudah jatuh tersungkur, masuk ke jurang kemiskinan, tidak akan
bangkit selamanya. Negara-negara sekuler yang menuhankan kenikmatan materi dan
duniawi itu, sekarang hanya dapat merenungi nasibnya. Separuh rakyatnya
menganggur, dan kehilangan pekerjaan, akibat krisis utang dan ekonomi.
Bukan hanya itu. Uni Eropa terancam bubar.
Mata uang uero sudah tidak lagi layak menjadi alat tukar. Negara-negara
zone euro ingin kembali ke mata uang mereka masing-masing. Ini semua menjadi
indikator tempat lahirnya bagi para pemuja syahwat dan kenikmatan sudah tamat.
Kanselir Jerman, Angela Merkel, sudah tidak mungkin mau melakukan "bail
out" bagi negara-negara Eropa yang sudah miskin. Angela Merkel yang
berjanji mau menggelontorkan dananya sebesar 400 miliar euro, akhirnya
meninggalkan janjinya itu, karena Merkel harus berhadapan dengan rakyatnya.
Bandingkan. Indonesia yang "income" perkapita rakyatnya
masih dibawah $ 1000 dollar, saat merayakan Natal dan Tahun Baru,
melebihi negara-negara yang maju, yang "income" perkapitanya
sudah lebih $ 10.000 dolar.
Pesta kembang api membahana diangkasa menyambut tahun baru Masehi. Di
kampung yang miskin di pinggiran Jakarta, rakyat yang membakar petasan tak
henti-henti. Memekakkan telinga. Hiburan yang disuguhkan menyambut tahun baru,
sangat luar biasa, dari pusat ibukota sampai kampung-kampung di Padeglang, yang
dekat dengan gunungpun menyambut tahun baru. Dari pesta yang diiringi orkes
dangdut dengan penyanyi mesum, sampai hotel-hotel yang mewah, tempat
peristirahatan semuanya menyambut tahun baru Masehi.
Tentu yang mengherankan dari mana uang yang mereka dapatkan itu? Begitu
banyak orang yang dengan "enteng" membuang uang mereka, hanya
sekadar merayakan Natal dan Tahun Baru. Apakah mereka yang merayakan Tahun
Baru, itu adalah para pekerja keras yang sukses, dan orang-orang yang
benar-benar berduit? Inilah pertanyaan kunci. Untuk melihat kehidupan bangsa
ini secara anatomis?
Sebenarnya, ekonomi Indonesia tumbuh diatas 6,5 persen, hanya faktor
konsumsi di dalam negeri. Bukan karena meningkatnya eksport dan perdagangan
luar negeri. Artinya, setiap bulan puluhan ribu mobil yang terjual, setiap
bulan ratusan ribu motor yang terjual, setiap bulan ratusan rumah estate dan
apartemen yang terjual, semuanya dengan kredit.
Hotel-hotel terus tumbuh pesat dengan tingkat hunian yang tinggi,
resort-resort tempat istirahat orang kaya terus dibangun, ritel dari manca
negara terus merambah sampai ke kampung-kampung, yang menghancurkan pedagang
kecil, dan pembelinya terus meningkat.
Barang kebutuhan sekunder terus membanjiri pasar, dan tidak sepi pembeli.
Karena itu, kemudian pihak asing, meningkatkan status "grade
investment" bagi Indonesia. Artinya, negara yang tetap aman menaruh
kapital dan modal. Indonesia dianggap aman untuk membayar utang.
Tetapi, jangan lupa bahwa negeri ini, negeri yang bangsanya sudah
kehilangan rasa malu. Negeri yang yang pemimpin dan rakyatnya urat malunya
putus.
Lihat, negeri ini yang menganut sistem ideologi Pancasila, korupsi sudah
menjadi "habit" para penyelenggara negara dan pejabat publik.
Korupsi seperti sudah seperti penyakit yang tidak mungkin lagi dapat
diberantas. Ibaratnya seperti penyakit kanker stadium empat, yang menyerang
otak manusia. Kemaksiatan dan dosa sudah menjadi "hobi" di
negeri ini.
Bandingkan dengan Cina yang atheis, koruptor dihukum mati. Sedangkan di
Indonesia para koruptor mendapatkan remisi (potongan hukuman). Vonis
hukumannyapun ringan, dan masih diberi remisi. Karena itu, Indonesia
menjadi surga para koruptor. Di Malaysia "ruswah"
(sogok/suap), tidak begitu nampak. Di Indonesia. Segala urusan harus
menggunakan "ruswah". Mengurus orang matipun di Indonesia
masih harus menggunakan "ruswah".
Mengapa seluruh asset bangsa ini sekarang dikuasai Cina? Karena pejabat
Indonesia sudah dapat ditakar oleh orang Cina, berapa "ruswah"
yang harus dibayar kepada mereka untuk izin dan proyek? Di Malaysia
sekecil apapun membawa barang "haram" narkotik, digantug,
tanpa basa-basi. Terhadap siapapun. Di Indonesia yang mempunyai pabrik narkoba
yang memproduksi berton-ton narkotik, bisa bebas dan menjalankan lagi
bisnisnya. Barang buktinya bisa dijual.
Bandingkan, di Indonesia, banyak anak tidak dapat melanjutkan pendidikan
mereka ke sekolah lebih tinggi, karena mereka tidak dapat membayar uang sekolah/kuliah,
karena orang tuanya miskin.
Di Cina, sejak zamannya Deng Xiao Ping, setiap tahunnya 100.000 mahasiswa
di kirim sekolah ke Eropa dan Amerika. Malaysia setiap tahunnya 50.000
mahasiswa di kirim ke Eropa, Amerika, Jepang, dan Timur Tengah.
Sehingga, sekarang Cina dan Malaysia menjadi negara maju, dan sudah banyak
orang yang bergelar doktor. Sedangkan di Indonesia, uang negara (RABN), banyak
habis digunakan untuk plesiran pejabat dan anggota DPR, yang melakukan "Studi
banding", yang tidak jelas hasilnya.
Perhatikan, negara agraris yang luas wilayahnya, melebihi daratan Eropa,
seluruh kebutuhan pangan dan buah-buahan harus diimport. Mengapa? Karena import
itu, dapat menambahkan tebalnya kantong bagi para pejabat, dan kroni-kroninya.
Padahal, Kementerian Pertanian itu, dua periode dipimpin seorang menteri dari
partai dakwah, yang konon mempunyai kepedulian kepada rakyat. Petani semakin
jembel dan marginal. Menyedihkan.
Di kementerian kehakiman hukum dan hak-hak asasi menusia, pelanggaran
terhadap HAM, terus berlangsung. Orang yang dibunuh polisi semakin
banyak. Termasuk mereka yang dituduh teroris. Tempat rehabilitasi dan tahanan
seperti penjara, justeru menjadi pusat peredaran narkoba. Dari dulu sampai
sekerang. Kementerian Tenaga Kerja, setiap hari hanya menerima laporan
kasus-kasus pemerkosaan tkw yang terlantar di luar negeri. Masih banyak lagi
kasus lainnya. Tetapi, melihat semua itu pejabat tidak ada rasa malunya.
Malu sama dengan "haya" yang berasal dari kata "hayatun"
yang berarti kehidupan. Ibnu Qayyim, mengatakan, "Orang yang
sudah tidak memiliki rasa malu, berarti orang itu sudah mati". Perbuatan
dosa dan maksiat itu, menghilangan rasa malu. Bukan hanya menghilangkan rasa
malunya kepada sesama manusia, tetapi juga rasa malunya terhadap Allah Azza
Wa Jalla.
Di seluruh Indonesia, jutaan orang keluar rumah sejak sebelum Ashar, hingga
dini hiri, tanpa melaksanakan shalat, menyambut tahun baru Masehi. Masjid
kosong melompong. Shalat Subuh jamaahnya tinggal beberapa gelintir.
Menyambut tahun baru Masehi, berbanding lurus dengan melakukan kemaksiatan
terhadap Allah Rabbu Alamin secara kolektif.
Seorang Ketua MUI Jawa Timur, mengatakan, bahwa di Pantai Kenjeran,
Surabaya, berserakan "kondom", usai perayaan Tahun Baru. Entah
di Jakarta.
Bangsa Indonesia, para pemimpinnya dari atas sampai bawah, sudah kehilangan
rasa malu. Tidak malu berbuat salah dan dosa terhadap manusia dan Allah Rabbul
Alamin. Rakyatnya ikut pula terjerumus ke dalam kehidupan materialisme yang
memperbudak mereka. Semuanya membuat hilangnya rasa malu.
Manusia yang sudah tidak mempunyai rasa malu akan menjadi sampah kehidupan.
Tidak ada gunanya. Mereka akan berbuat apa saja, sesuai dengan kemauannya, yang
didorong naluri syahwatnya. Wallahu'alam.
http://www.eramuslim.com