Penguasa Hindu-Budha, momok menakutkan bagi rakyat jelata Jawa. Egalitarianisme Islam menyebabkan mereka berbondong-bondong masuk Islam. |
Candi Borobudur dan Prambanan selama ini sering dijadikan ikon kokohnya
eksistensi agama Budha dan Hindu Jawa. Gubernur Raffles, menggali tanah Jawa
untuk memunculkan kembali candi-candi, seperti Borobudur yang terkubur material
letusan Merapi di tahun 1006. Juga memugar candi Prambanan yang sebelumnya
sudah merupakan belukar dan oleh masyarakat setempat dijadikan tempat sampah.
Candi-candi itu sebenarnya sudah hilang dari ingatan masyarakat dimana nenek
moyang mempunyai kenangan pahit saat pembangunan candi tersebut.
Kedua bangunan itu lebih mencerminkan pertarungan antar elite kekuasaan.
Dinasti Syailendra, kaki tangan Sriwijaya Palembang di Jawa membangun
Borobudur. Para penguasa lokal yang beragama Hindu Syiwa memandang keluarga
Syailendra sebagai penjajah asing yang baru saja menancapkan pengaruhnya.
Akhirnya pada tahun 856 M, Syailendra berhasil dikalahkan. Untuk mengenang
kemenangan ini, Rakai Pikatan membangun candi Prambanan, sebagai monumen
kemenangan kekuasaan Hindu atas kekuasaan Budha.
Yang paling menderita di era kebudayaan candi ini tentu saja rakyat jelata
dari kasta Sudra dan Paria. Para petani, peternak dan pedagang kecil yang
termasuk dalam kasta tersebut dipaksa untuk melakukan kerja bakti membangun
candi yang berlangsung selama puluhan tahun. Akibatnya, mata pencaharian pun
terbengkalai, demikian juga kehidupan keluarga mereka. Maka untuk menghindari
kewajiban kerja bakti kepada para raja, penduduk memilih untuk eksodus keluar
dari pusat-pusat pembangunan candi.
Prof. Denys Lombard menyatakan, penghentian pembangunan gedung-gedung batu
berskala besar, lebih banyak disebabkan karena kerajaan Budha dan Hindu
mengalami kemunduran karena ditinggalkan rakyatnya sendiri yang lebih memilih
eksodus ke kota-kota pelabuhan dan sekitarnya.
Penguasa selanjutnya dari kalangan Hindu juga masih menjadi momok
menakutkan bagi masyarakat. Sebab pada masa selanjutnya, Hindu, Budha dan aneka
kepercayaan lokal telah mengubah wajah ajaran Hindu dan Budha pada bentuk baru
yakni Syiwa Budha Bhairawa Tantra. Kepercayaan ini menghasilkan bentuk ritual
yang disebut sebagai upacara Pancamakara atau lebih dikenal dengan upacara
Ma-lima.
Menurut S. Wojowasito, bentuk upacara (ritual) dari sekte ini sangat
mengerikan. Ritual ma lima terdiri dari matsiya (memakan ikan gembung
beracun), manuya (minum darah dan memakan daging gadis yang dijadikan
kurban), madya (meminum minuman keras hingga mabuk), mutra
(menari sampai ekstase), dan maithuna (ritual seks massal di tanah
lapang yang disebut setra).
Adityawarman, seorang Radja dari kerajaan Melayu (yang menjadi menantu raja
Majapahit) menerima pentasbihannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil
duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, menghadapkan kurban
manusia yang menghamburkan bau busuk, tetapi bagi Adityawarman sangat semerbak
baunya. Proses ini jelas tergambar dalam patung Adityawarman di Museum Nasional
yang digambarkan tengah memegang cawan darah, gelas anggur dan ratusan
tengkorak yang mengalungi hampir semua bagian tubuhnya.
Agama Hindu dan Budha di Indonesia berwatak eletis, karena hanya berkutat
di sekitar istana. Menurut Al Attas, hal itu disebabkan karena para pendeta
Budha tidak terdiri dari rakyat pribumi, tapi rakyat India Selatan yang datang
untuk mendapatkan kesunyian dan kedamaian. Untuk maksud perenungan dalam
biara-biara.
Islam Sebagai Landasan Budaya Jawa
Eksodus masyarakat Jawa dari pusat-pusat kerajaan Hindu dan Budha yang
tidak memberinya kehidupan yang aman, menuju daerah-daerah pelabuhan,
mengantarkan mereka bersentuhan dengan para pedagang Muslim dan para ulama.
Egalitarianisme Islam dan struktur keimanan yang mudah dimengerti, menyebabkan
rakyat Jawa berbondong-bondong masuk Islam. Periode ini merupakan gelombang
pertama Islamisasi di Pulau Jawa.
Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier, ada dua tahap penyebaran Islam di
Pulau Jawa, yaitu tahap pertama dimana orang menjadi Islam sekedarnya, yang
selesai pada abad ke 16. Tahap kedua adalah tahap pemantapan untuk betul-betul
menjadi orang Islam yang taat, yang secara pelan-pelan menggantikan kehidupan
keagamaan yang lama.
Sultan Agung Hanyokrokusumo, penguasa Mataram (1613-1645) mengawali tahap
pemantapan melalui pendidikan Islam secara massal kepada masyarakat Jawa. Di
setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca Al Qur’an, tatacara
beribadah dan tentang ajaran dasar Islam seperti rukun iman dan rukun Islam.
Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca al Qur’an, ia
akan malu bergaul dengan teman-temannya. Para guru agama ini diberi gelar kiai
anom oleh pihak kraton. Di tingkat kadipaten didirikan pesantren yang dipimpin
oleh kiai sepuh. Saat itu, juga dilakukan penerjemahan kitab-kitab besar
berbahasa Arab dalam kajian yang bersistem bandungan (halaqah). Kitab-kitab itu
meliputi kitab Fiqih, Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam dan Tasawuf. Juga Nahwu,
Sharaf dan Falaq. Sistem kalender juga disesuaikan dengan sistem Islam.
Sehingga budaya ilmu tidak hanya menjadi milik elite, tapi menjadi milik
masyarakat secara keseluruhan.
Akselerasi pemahaman Islam melalui sistem pendidikan massal inilah yang
menyebabkan Islamisasi di segala sisi kehidupan masyarakat. Konsep-konsep Islam
telah menjadi landasan kegiatan kemasyarakatan. Istilah upawasa (pasa),
sembahyang, suwarga, dan neraka hanya bisa ditafsirkan dengan
pengertian shaum, shalat, jannah dan naar. Islam juga
menancapkan budaya baru seperti adil, mikir yang tidak bisa dicari padanannya
dalam akar kata asli bahasa Jawa. Ta’awun yang dijabarkan dalam budaya
gotong royong adalah ciri khas masyarakat asli Jawa, juga tasamuh yang
diwujudkan dalam budaya tepa salira.
Ritus-ritus penting dalam masyarakat Jawa seperti kelahiran, perkawinan dan
kematian juga didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Masyarakat Jawa sudah
tidak mengenal bagaimana cara ijab qabul ala agama asli Jawa ataupun merawat
jenazah ala kejawen. Karena itu, dikotomi antara Islam dengan abangan yang
dipropagandakan anak didik orientalis maupun kalangan misionaris, tidak pernah
mendapatkan pijakan teoritis yang kuat. Sebab yang berlaku di Jawa, kata Andrey
Moller adalah ortopraks Islam, yakni meski pelan namun pasti terus bergerak
menuju Islam. Makanya, orang Jawa, baik itu dari kalangan priyayi maupun
abangan, di masa tuanya akan berubah menjadi santri yang rajin ke masjid,
yasinan dan khataman. Wallahu ’alam bish shawab.
Arif Wibowo
Artikel ini pernah dimuat di Majalah Hidayatullah
Sumber http://www.fimadani.com