Sepeninggal
Gusdur, banyak yang 'latah' bicara pluralisme. Mulai dari orang-orang tingkat
atas (para tokoh Nasional) sampai rakyat yang ada di akar rumput.
Mantan Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi memiliki definisi
tersendiri tentang pluralisme. Menurutnya, yang dimaksud tidak lain adalah
pluralisme sosiologis, bukan pluralisme teologis. Dalam pluralisme sosiologis
ini, tegas beliau, terdapat kebersamaan 'umat' beragama dalam komunitas
keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika
atau unity and diversity. Setiap agama di luar teologi dan ritualnya
pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu, tegas
Hasyim kepada Republika di Jakarta, Senin (4/12).
Namun, apakah
ruang gerak "pluralisme" ini benar-benar hanya pada ranah sosial? Apa
sebenarnya pluralisme itu? Apakah memang ada perbedaan antara pluralisme
sosiologis dan pluralisme teologis? Mari kita lihat!
Kebingungan
para liberalis tentang pluralisme
Alih-alih
tanggungjawab untuk menjaga dan mempererat persatuan masyarakat Indonesia,
orang-orang liberal kembali angkat bicara agar faham pluralisme bisa diterima
masyarakat. Wacana yang semula sempat mengendap karena ada fatwa haram dari
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 itu, mereka 'utak-atik' lagi. Di
sini, kita mulai melihat "apa sebenarnya faham ini."
Dalam
tulisannya Pluralisme Pasca-Gus Dur (Kompas, 4 Januari 2010), Zuhairi
Misrawi berbicara banyak masalah pluralisme ini. Kita mulai melihat bentuknya.
Ia memulai tulisannya dengan 'keluhannya' terhadap fatwa haram MUI terhadap
faham pluralisme. Menurutnya, fatwa ini cukup berpengaruh di 'akar rumput'.
Makanya, ia resah dan gelisah. Sebab hal ini, lanjutnya, dapat mengganggu upaya
membangun harmoni dan kebersamaan. Karena itu, fatwa itu ia anggap sebagai
tantangan serius.
...Orang-orang liberal mencampuradukkan antara pluralisme sosiologis dengan
pluralisme teologis...
Membaca tulisan
Zuhairi ini, terlihat jelas betapa ia menjadikan "kusut" masalah
pluralisme ini. Ia mencampuradukkan -yang oleh banyak orang dibedakan- antara
pluralisme sosiologis dengan pluralisme teologis.
Mula-mula,
dalam melihat 'masa depan' pluralisme di Indonesia, Zuhairi meneropongnya dari
keluarnya fatwa MUI tanggal 29 Juli 2005 yang mengharamkan Pluralisme Agama.
Menurutnya, fatwa tersebut acap kali dijadikan landasan untuk melarang kegiatan
dan memejahijaukan kelompok minoritas dalam intra-agama dengan menggunakan
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama.
Pandangannya ini menimbulkan pertanyaan serius. Apalagi, dalam banyak
kesempatan, Zuhairi membuktikan pernyataannya ini. Kita ambil kasus terdekat,
Ahmadiyah, yang mendapat penolakan dari MUI melalui pertimbangan Undang-Undang
tersebut. Dalam kasus ini, dengan lantang Zuhairi Misrawi menolak fatwa MUI
ini.
Jika ditarik
lebih dalam, pemikiran Zuhairi tersebut lahir dari keyakinannya bahwa tidak ada
truth claim. Masing-masing orang bebas beragama dan berkeyakinan.
Zuhairi tidak mau memahami bahwa, soal Ahmadiyah adalah soal aqidah. Ini jelas,
sebab Ahmadiyah berdiri atas dasar 'aqidah Ahmadiyah' yang bertumpu pada soal
klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Namun, karena memandang semua agama
posisinya sama, maka Zuhairi tidak bisa atau tidak mau membedakan 'mana yang
sesat dan mana yang benar'. Semuanya sama. Padahal, pada saat yang
bersamaan, ia sedang tidak memberi kebebasan kepada yang lain, umat Islam untuk
melaksanakan keyakinan mereka. Ia memaksa umat Islam menjadi pluralis,
liberalis. Dus, ide pluralisme membuat Zuhairi bingung dan mengajak
orang lain untuk ikut-ikutan 'berbingung ria.'
Di sini Zuhairi
membuktikan bahwa pada dasarnya, pluralisme sosiologis dan pluralisme teologis
-sebagaimana yang akan penulis buktikan lebih lanjut- maksudnya sama, tidak
berbeda seperti yang dikira oleh kebanyakan masyarakat. Makanya, di kalangan
orang-orang liberal, penggunaan dua istilah tersebut tidak dibeda-bedakan. Jika
pun mereka melakukan pembedaan, itu sebatas untuk membuat 'seolah-olah' faham
tersebut "baik-baik" saja. Namun yang cukup menggelikan, agar
'permohonannya' kepada MUI untuk mencabut 'fatwa haram' terhadap faham
pluralisme, Zuhairi menyamakan masalah pluralisme yang sedang dihadapi MUI
dengan diktum pendapat lama (qaul qadim) Imam Syafi'i selama beliau di
Irak dan pendapat baru (qaul jadid)-nya ketika menetap di Mesir. Satu
lompatan analogi yang dipaksakan. Beginilah orang liberal menjelaskan
"hakikat" pluralisme itu.
Tentu, pendapat
Zuhairi di atas bertolak belakang dengan maksud pluralisme yang diperjuangkan
NU, sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) KH. Hasyim Muzadi. Bahkan, dalam masalah fatwa haram dari MUI terhadap
faham pluralisme misalnya, NU menjadi salah satu ormas Islam yang mendukungnya.
Dan jauh sebelum fatwa itu keluar, tepatnya dalam muktamar NU ke-31, NU telah
menyatakan sikapnya tegasnya, yakni menolak pluralisme. Tidak cukup itu, dalam
Forum kiai-kiai NU di Bahtsul Masail se Jawa dan Madura kembali mengeluarkan tausiyah
(pernyataan) yang mendukung fatwa MUI tersebut. Ini menunjukkan bahwa dalam hal
ini, Zuhairi tidak sedang berada di barisan yang sama dengan NU.
Walhasil,
pluralisme itu bukan hanya doktrin sosial, sebab ia akan selalu menyentuh aspek
teologis. Mengapa demikian? Mari kita telusuri lebih lanjut!
Definisi dan
doktrin Pluralisme
Di Barat,
pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling
dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern. Sejak awal,
postmodernisme ini menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya. Di mana
dalam hal ini, postmodernisme menjadikan pluralisme sebagai senjatanya.
Sebenarnya, postmodernisme itu sendiri dihidupkan oleh semangat pluralisme,
kata Akbar S Ahmed dan Ernest Gelner. Tujuannya, kata Peter L Berger,
pluralisme itu sebagai ganti sekularisme yang dianggap gagal. Dan dari perut
pluralisme inilah, faham 'pluralisme agama' lahir.
... pluralisme
itu sebagai ganti sekularisme yang dianggap gagal. Dan dari perut pluralisme
inilah, faham 'pluralisme agama' lahir...
Dalam The
Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language diungkap bahwa
pluralisme dipahami dalam dua makna, pertama, adanya pengakuan terhadap
kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Artinya, toleransi yang
dimaksud adalah di mana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan
berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan
orang lain. Kedua, pluralisme berupa doktrin, yakni: a). pengakuan
terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) dalam masalah kebenaran, tidak ada
jalan untuk mengatakan hanya ada satu kebenaran tunggal tentang suatu masalah,
c) berisi ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu
sama benarnya, d) teori yang sejalan dengan relativisme dan sikap curiga
terhadap kebenaran (truth), e) dan terakhir, pandangan bahwa di sana
tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (no
view is true, or that all view are equally true). (Lihat juga dalam
Oxford Advanced Lear ners’ Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary
of Philosophy).
Dari sisi
definisi saja dapat diketahui bahwa pluralisme itu sendiri sudah mengandung
pandangan relativitas dalam kebenaran, atau setidaknya, curiga terhadap
kebenaran. Pluralisme ini tidak berpegang pada suatu dasar apa pun. Tidak boleh
ada kebenaran tunggal. Bahkan dalam satu pengertian, pluralisme mengajarkan
bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.
Dalam bukunya, The
Desecularization of the World, Peter Ludwig Berger menyatakan, pluralisme
dengan dukungan globalisasi akan mengubah pengalaman keberagamaan individu.
Lambat laun, ia akan menggeser posisi agama, sebab menjadi fakta kehidupan
sosial dan kesadaran individual. Agama tidak lagi menjadi sandaran, baik di
tingkat internasional dengan globalisasinya dan nasional dengan demokrasi
liberalnya. Akhirnya, otoritas menjadi hak setiap individu. Jika demikian,
posisi pluralisme bagi masyarakat lebih kuat dari pada agama, ungkap Berger.
Jelasnya, pluralisme menjadi agama baru.
Sementara itu,
ungkapan lebih tegas disampaikan oleh Diana L.Eck dalam The Challenge of
Pluralism.
Menurutnya, pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat
beragama, tidak pula sekedar menerima pluralitas (diversity). Lebih jauh
ia membayangkan bahwa, pluralisme merupakan penyatuan agama-agama, yakni
realitas keagamaan yang plural (baca: From Diversity to Pluralism). Karena itu,
ia menyarankan agar menerima kebenaran yang ada pada agama lain. Baginya,
masing-masing agama memiliki wilayah kebenaranya sendiri. Artinya, Diana
meyakini bahwa semua agama itu sama benarnya, yang satu tidak lebih benar dari
yang lain. Relativisme menjadi ciri khas pemikiran Diana ini. Jika demikian,
sesungguhnya 'sasaran utama' pluralisme adalah agama. Artinya, pluralisme itu
tidak bergerak di ranah sosial semata, tapi juga mencakup ke aspek teologis.
Oleh karena itu, pluralisme dan pluralisme agama adalah dua faham yang sama.
Selanjutnya,
pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran besar, yaitu aliran
Kesatuan Transenden Agama-agama (transenden unity of religious) yang
dicetuskan oleh Fritjhof Schuon dan aliran Teologi Global (global theology) yang
dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith.
Dalam aliran
Kesatuan Transenden Agama-agama (transenden unity of religious), Schuon
menawarkan ide 'pembacaan' agama menjadi dua tingkat, tingkat eksoterik dan
esoterik. Perbedaan antar agama ada pada tingkat eksoterik (lahiriah),
sedangkan pada aspek esoterik, agama-agama itu menyatu, memiliki Tuhan
yang sama sekaligus abstrak dan tak terbatas, terangnya.
Secara kasat
mata, pandangan ini sangat bertentangan dengan prinsip tauhid dalam
Islam. Di mana ia malah mengajak kita, umat Islam untuk berbuat syirik. Selain
itu, dalam idenya ini, Schuon tidak begitu mementingkan aspek eksoterik.
Jelas-jelas ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal, aspek eksoterik
(syari'ah) itu adalah salah satu misi utama kenabian. Bentuk-bentuk ibadah yang
tidak sesuai dengan yang Rasulullah Saw contohkan tidaklah sah. Lebih dari itu,
dalam Islam tidak dikenal pemisahan kedua aspek tersebut. Satu sama lain
terkait. Untuk mencapai tingkat esoterik yang benar, seorang muslim/muslimah
harus melaksanakan syariah secara benar, sebagaimana yang dicontohkan Nabi SAW.
Demikian halnya
dengan aliran Teologi Global (global theology), juga memiliki problem
serius. Menurut aliran ini, agama-agama yang ada harus menyesuaikan diri dengan
kondisi dan perkembangan sosial budaya masyarakat hari ini. Maksudndya
masyarakat yang plural. Universalisasi ideologi Barat adalah tujuan yang hendak
dicapai (baca: Dr. Amir al-Roubaie). Demi universalisasi ini, John Hick dan
juga Diana L Eck 'melebur' batas agama-agama (ekslusivisme). Akibatnya, ada
perubahan radikal dalam masalah Ketuhanan, yaitu dari 'banyak agama' banyak
Tuhan, menjadi 'banyak agama' satu Tuhan. Sementara dalam hal pengetahuan akan
'Tuhan dan kebenaran', Hick mengatakan bahwa itu sifatnya relatif (baca: An
Interpretation of Religion).
..Pluralisme
bukan toleransi. Ia lebih tepat dimaknai sebagai relativisme kebenaran. Semua
agama benar karena menuju Tuhan yang sama...
Melihat uraian
ini, pluralisme bukan toleransi. Ia lebih tepat dimaknai sebagai relativisme
kebenaran. Semua agama benar karena menuju Tuhan yang sama. Miris.
Fenomena
meninggalkan tauhid demi pluralisme
Melihat ini,
menarik menilik 'apa' yang disampaikan oleh Prof. Dr. M. Amien Rais, tokoh
senior Muhammadiyah. Beliau secara tegas mengkritik tokoh-tokoh dan aktivis
Muhammadiyah yang sudah meninggalkan wacana Tauhid dengan bicara dan
menyebarkan faham Pluralisme secara 'kebablasan (wawancara di Majalah
Tabligh, edisi Maret 2010).
Menyadari ini,
para tokoh nasional hendaknya berhati-hati dalam menggunakan istilah
pluralisme. Apalagi mengajak orang lain untuk menjalankannya. Di atas
segalanya, mereka harus lebih mengedepankan isu ”iman”, bukan lainnya. Dalam
masalah pluralisme ini misalnya, jangan hanya karena "dipaksakan",
lalu istilah itu begitu saja dipakai. Sebab, setiap istilah itu tidaklah
'tergeletak' begitu saja. Ia mengandung nilai-nilai, konsep dan ideologi bangsa
yang melahirkannya. Jika datang dari Barat misalnya, maka ia mewakili
nilai-nilai mereka (Barat). Demikian juga dengan istilah pluralisme.
Kita meyakini,
tanpa menggunakan istilah yang 'keren-kerenan', bangsa kita bisa terus
menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Sejak awal, Islam mengakui dan
menghargai perbedaan. Sampai-sampai, perbedaan dalam masalah agama tidak boleh
menghalangi seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya. Namun, untuk
masalah keimanan dan kemusyrikan, kita tidak mentolerir. Maksudnya, kita
menginginkan perdamaian dan kerukunan. Tetapi, tauhid lebih penting.
Faktanya, Islam mampu melakukan ini.
...Singkatnya, tidak dapat disangkal bahwa, pluralisme itu adalah
faham syirik...
Islam mengakui
perbedaan dan dialog. Namun bukan berarti kita harus melebur agama ini. Jika
peleburan ini yang terjadi, justru kerukunan tidak akan pernah tercapai. Karena
itu, jika ide 'pluralisme' diteruskan, semua agama dirugikan. Sebab, mereka
tidak lagi bisa menjalankan ajaran agamanya. Tetapi, dipaksa untuk ikut aturan
yang dibuat manusia, yaitu pluralisme yang berfungsi sebagai 'agama baru'. Singkatnya,
tidak dapat disangkal bahwa, pluralisme itu adalah faham syirik.
Wallahu A'lamu bi ash-Shawab.
[Penulis adalah
alumnus ke-2 Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor Ponorogo 2009, sekarang
sedang menyelesaikan Program Pasca Sarjana di Universitas Darussalam Gontor
Ponorogo, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah].
sumber http://www.voa-islam.com/