HARI Jum’at, 27 Oktober 2012, tepat di saat umat Islam merayakan Idul Adha,
sebuah berita terdengar cukup menyentak. Tim Densus 88 menangkap 11 orang
terduga “teroris”. Tertuduh ditangkap pada hari yang sama di tempat yang
berbeda. Yang perlu kita perhatikan semua, adalah kata “terduga”, bukan
tersangka.
Anda juga tidak perlu menebak atau bertaruh siapa sosok para “terduga
tersebut”. Ini adalah kalimat retorik yang tak pantas dijawab, karena sudah
mafhum bahwa semua tertuduh, terduga dan tersangka “terorisme” adalah seorang
Muslim.
Juga tak usah diperdebatkan bahwa selama ini, terduga “teroris” dari
kalangan Islam saja. Anda tak percaya? Coba saja buka lembaran-lembaran sejarah
penangkapan para tertuduh teroris. Mana itu para pelaku separatis Organisasi
Papua Merdeka (OPM) meski mereka banyak mengancam elemen-elemen pengaman NKRI
macam Polisi dan TNI?
Mana pula peluru Densus bersarang ditubuh separatis RMS? Minimal dikaki.
Saya rasa, dengan segala peralatan canggih, pengaman tingkat expert, dan
pendidikan aksi militer contra terrorism hasil didikan AS tak bakal
membuat mereka tega untuk menangkap mereka yang secara hakiki
berstatus tersangka (bukan tertuduh). Apalagi melukai mereka meski dalam taraf
mencubit, saya kira. Toh selama mereka bukan Muslim, kegiatan militer para
separatis itu –aksi terror para pengacau tatanan Negara—itu tak bakal disebut
sebagai kegiatan teror dan pelakunya bukan terduga teroris, apalagi tersangka
teroris.
Kembali pada berita penangkapan 11 orang terduga teroris itu tidak
spektakuler bagi saya. Apanya yang spektakuler? Toh selama ini para separatis
OPM dan RMS itu masih berkeliaran dan tidak juga mereka tindak. Saya sangat
mengapresiasi Densus 88, jika mereka mampu menindak organisasi yang saya sebut
tadi, sebagaimana tindakan mereka terhadap orang-orang tertuduh teroris yang
selama ini dinisbatakan dari kalangan Muslim.
Tulisan diatas adalah pengantar kekecewaan saya. Kecewa karena media begitu
mudahnya dalam pemberitaan mereka menyebut-nyebut kata “teroris”. Begitu juga,
kekecewaan ini lahir akibat ceteknya “kacamata rasa adil” para jurnalis kita.
Begitu mudahnya mereka memberitakan ini dan itu, tapi kadangkala
seringkali dihinggapi pemberitaan berdasar egositas dan jauh dari kadar
objektivitas yang seharusnya mereka junjung tinggi-tinggi. Lebih-lebih,
pemeberitaan itu sering sepihak. Ya sepihak, karena sering hanya laporan dari
aparata keamaan. Bukan berdasarkan investigasi sendiri dalam waktu cukup lama
dan akurat.
Aksi penangkapan para “terduga” ini boleh saja benar demi pengamanan
Negara. Sebab, sejarah selalau berkaitan dengan kekuasaan. Siapa berkuasa,
dialah yang akan menguasai sejarah dan elemen-elemen terkait. Mungkin, termasuk
stigma dan wacana.
Dan berita terbaru dari media adalah; soal HASMI, sebuah organisasi dakwah
yang ikut dikaitakan sebagai “kelompok teroris” atau terkait dengan jaringan
teroris.
Sosok HASMI
HASMI adalah sebuah organisasi dakwah Islam singkatan dari “Harakah
Sunniyyah untuk Masyarakat Islami”. Bukan “Harokah Sunni untuk Masyarakat Indonesia”
sebagaimana diungkap oleh Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Suhardi Aliyus pada
sabtu, 27 Oktober kemarin.
HASMI merupakan ormas Islam resmi yang terdaftar di Kemdagri Dirjen Kesbangpol dengan no. 01-00-00/0064/D.III.4/III/2012 yang didirikan sejak tahun 2005. HASMI merupakan Ormas yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah umum. (press release Ketua Hasmi, Dr. Muhammad Sarbini, M.H.I ,27 Oktober 2012)
HASMI merupakan ormas Islam resmi yang terdaftar di Kemdagri Dirjen Kesbangpol dengan no. 01-00-00/0064/D.III.4/III/2012 yang didirikan sejak tahun 2005. HASMI merupakan Ormas yang bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan dakwah umum. (press release Ketua Hasmi, Dr. Muhammad Sarbini, M.H.I ,27 Oktober 2012)
Boleh jadi “HASMI”, Harokah Sunni untuk Masyarakat Indonesia itu memang
organisasi “teror” sebagaimana yang media sebutkan. Hanya saja, penyebutan
akronim singkatan “HASMI” tanpa penjelasan, pasti menjadi pertanyaan banyak
orang. Ini “HASMI” yang mana?
Ujungnya, akan membuat masyarakat melakukan generalisasi terhadap
organisasi dakwah HASMI dan bisa menimbulkan efek trauma. Setidaknya phobia
terhadap dakwah mereka.
Islam adalah agama, tapi bukan berarti semua agama adalah Islam. Bukan begitu?
Islam adalah agama, tapi bukan berarti semua agama adalah Islam. Bukan begitu?
Fallacies (sesat pikir) semacam ini sungguh luar biasa, belum lagi efek argumentum ad
populum yang digunakan media secara general bisa menghasut masa secara luas.
Saya bukan anggota HASMI dan bukan berarti saya tidak mempunyai hubungan
dengan mereka. Anda, atau teman Anda, saudara Anda juga bukan berarti tak
memiliki hubungan dengan HASMI. Namun sebagaimana ormas lain, sepengetahuan
saya, HASMI adalah lembaga dakwah dan bukan organisasi radikal sebagaimana yang
ikut dicapkan oleh media.
Kasus HASYMI mengingatkan saya terhadap kasus JAT (Jama’ah Anshorut
Tauhid) yang terus disebut-sebut aparat sebagai organisasi yang memiliki
hubungan dengan “teroris”. Sekalipun memiliki hubungan sebab beberapa
anggotanya terlibat dalam aksi teror, belum tentu organisasi itu telah
bermutasi menjadi organisasi teror. Bukankah JAT juga selalu dikait-kaitkan
dengan prejudice yang acak, ngawur, asal dan tak berdasar?
Saya tidak tahu secara pasti apakah tren ‘menuding secara tendensius’ ini
memiliki tujuan-tujuan terselubung. Bukannya saya tidak tahu, tapi saya
berharap bukan salah satu bagian dari mereka karena saya ikut-ikutan secara
tendensius menuding mereka tanpa mengkaji terlebih dahulu. Hanya saja, ‘trend’
yang aneh ini muncul semuanya pada lembaga dakwah maupun organisasi dakwah.
Minimal lembaga yang berkaitan dengan dakwah. Secara sederhana begitu.
Bukankah kita semua telah menyaksikan tudingan terhadap Rohis, FPI,
HTI, JAT dan terakhir HASMI? Anehnya semua adalah ormas Islam. Lebih aneh
lagi, organisasi-organisasi itu (tanpa melibatkan Rohis), rajin mengusung ide
penerapan hukum syari’ah dalam tatanan hukum negara. Aneh? Memang aneh!
Akhir-akhir ini apapun yang berhubungan dengan syari’ah mendapatkan tuduhan
yang lumayan keji. Sebuah majalah nasional memberitakan masalah hukum syar’i di
Aceh dengan “ngaco”.
Sekarang belum hilang hangat ingatan kita, memuncak lagi tudingan tak
berdasar ini. Apakah mereka-mereka itu memiliki tujuan lain selain
memberangus dakwah islam? Intinya begitu. Saya rasa tidak mungkin jika tujuan
mereka-mereka ini bukanlah hendak mematikan dakwah Islam, dakwah penerapan
syari’ah dan apapun dalam tataran ideologis ummat Islam.
Memang, bisa jadi ada kemungkinan lain pengaruh media dalam pemberitaan
ini. Contohnya pengalihan isu. Tapi, toh faktanya telalu banyak kita saksikan
hasutan-hasutan di media, artikel ngawur yang data dan faktanya tidak bisa
dipertanggungjawabkan tentang syariat Islam, dan seribu satu penggiringan opini
pada satu tujuan pokok, yakni memberangus dakwah Islam dan mengucilkan
pelakunya serta orang-orang yang berhubungan dengannya.
Aih, jikalau salah satu ayam yang terkena virus bukan berarti menyamakan asumsi bahwa semua ayam itu tanpa terkecuali terkena virus. Bukan begitu? Wallahu a’lam bis showwab
Aih, jikalau salah satu ayam yang terkena virus bukan berarti menyamakan asumsi bahwa semua ayam itu tanpa terkecuali terkena virus. Bukan begitu? Wallahu a’lam bis showwab
Ditulis
Hamba Allah yang fakir,
Afandi Satya. K
Mahasiswa Sastra Arab 2011
Universitas Indonesia
Hamba Allah yang fakir,
Afandi Satya. K
Mahasiswa Sastra Arab 2011
Universitas Indonesia