Selasa, 23 Oktober 2012

Karena Mengimani al-Quran dan As Sunnah, Kami Intoleran!

Oleh: Imam Nawawi

SEBAGAI negara majemuk, perbedaan nilai dan keyakinan adalah suatu keniscayaan. Tetapi, sepanjang perjalanan bangsa, pertikaian atau pun kerusuhan yang terjadi atas nama agama, senantiasa dipicu dan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan sesaat. Bak sebuah tunggangan istimewa, isu-isu atas nama agama di Indonesia menjadi ‘daya tarik’ pihak asing yang ingin mendiskreditkan umat Islam.


Baru-baru ini, Lembaga Survey Indonesia (LSI) bekerjasama dengan Yayasan Denny JA, mempublikasikan hasil surveynya perihal sikap toleransi bangsa Indonesia terhadap keberagamaan orang lain, yang diklaimnya menurun.

Bahkan dalam siaran berita Metro TV, penyiar berita dengan terang mengatakan, “31 persen masyarakat Indonesia saat ini sudah tidak toleran terhadap keberagaman agama di Indonesia. Hal ini meningkat setiap tahunnya” (www.metrotvnews.com).

Survei yang dilakukan selama tujuh hari itu, dengan jumlah 1.200 responden mencatatkan hasil bahwa 15 hingga 80 persen publik Indonesia tidak bisa menerima bertetangga dengan orang lain yang berbeda identitas.

Sementara itu, catatan lain mengatakan bahwa riset terbaru itu menemukan angka 67,8 Persen masyarakat Indoensia merasa tidak nyaman bertetangga dengan orang yang berbeda agama, 61,2 persen dengan orang Syiah, 63,1 persen dengan orang Ahmadiyah, dan 65,1 dengan orang homoseks (gay).

Bahkan lebih jauh, survey itu juga menyimpulkan bahwa, semakin rendah pendidikan maka semakin rendah toleransi terhadap perbedaan. Begitu pula dengan fakta semakin rendahnya pendapatan, akan berpengaruh pada rendahnya intoleransi.

Dengan kata lain, survey itu menyimpulkan bahwa banyaknya masyarakat Indonesia yang rendah pendidikannya, dan rendah pendapatannya (miskin), adalah kelompok sosial yang cenderung intoleran. Jika dikomparasikan dengan jumlah penduduk miskin di negeri ini, maka sejumlah itulah penduduk Indonesia yang intoleran terhadap keberagamaan orang lain.

Lebih jauh, kita bisa menebak. Bahwa segala hal yang memberitakan, memblow-up, aspirasi 31 persen penduduk yang dikatakan LSI sebagai intoleran, apalagi terkait dengan isu-isu agama, bisa dikatakan sebagai media yang pro-intoleransi terhadap keberagamaan di negeri ini.

Jelas kesimpulan ini sangat dipaksakan dan cenderung simplisistis, demikian tanggapan Sekjen MIUMI, Bachtiar Nashir dan beberapa pemikir Muslim lainnya pada media ini.

Menurutnya, hasil survey LSI yang mengatakan Indonesia memiliki tingkat intoleransi yang terus bertambah tiap tahunnya, karena menolak lesbian, gay, biseks  dan transgender dinilai sangat berbahaya. Selain itu, memposisikan toleransi kepada LGBT jelas tidak tepat karena LGBT adalah penyakit sosial yang harus disembuhkan. Sementara itu, tokoh pemikir Muslim asal Gontor, Gus Hamid mengatakan bahwa hasil survey itu menyesatkan dan tidak adil.

Menurut pengertian LSI, sikap masyarakat Indonesia yang dikenal religius yang tidak menerima aliran Syiah dan Ahmadiyah yang dianggap sesat ulama serta kelompok yang memiliki kelainan orientasi seksual seperti gay dianggap perilaku intoleran!

Artinya, jika semua orang Indonesia menerima pikiran LSI ini, kesimpulannya adalah, 200 juta penduduk Indonesia ini sudah rusak.

Makna Toleransi

Toleransi jelas tidak sama dengan pluralisme. Makna asal dari toleransi itu adalah menghargai keyakinan orang lain dengan tetap memposisikan keyakinan orang lain tidak sama dengan keyakinan diri sendiri.

Sedangkan pluralisme, mengakui keyakinan orang lain sebagai kebenaran. Jadi, relativisme, tidak ada yang benar mutlak. Inilah cara berpikir aktivis liberal di seluruh dunia. Siapa yang masih menilai keyakinan dirinya sebagai yang terbaik dan benar, sementara keyakinan orang lain sebagai salah atau sesat, maka orang tersebut dikatakan sebagai orang yang intoleran.

Logika inilah yang nampaknya digunakan oleh LSI dalam melakukan suatu survey tentang intoleransi beragama. Padahal, logika seperti itu tidak bisa dikatakan sebagai logika toleransi. Jika, semua keyakinan orang lain harus kita terima sebagai sama benar dengan keyakinan yang dimiliki seseorang, maka perbedaan itu sudah tidak ada. Ketika perbedaan telah melebur dalam bentuk penerimaan total dalam satu konsep kebenaran, maka tidak perlu yang namanya toleransi.

Tepat apa yang didefinisikan sebagai toleransi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang di antaranya menyebutkan bahwa toleransi itu adalah ‘batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yg masih diperbolehkan’. Dan, dalam konteks ini Islam adalah agama yang sangat toleran. Sejauh tidak bersinggungan dengan masalah akidah, maka Islam memberikan toleransi.

Hal ini bisa dilihat dari komposisi Madinah di masa Rasulullah yang dihuni oleh berbagai macam suku dan agama. Di sana tidak saja ada Muslim, tetapi ada juga Yahudi, Nashrani, dan Majusi.

Islam memberikan hak hidup kepada mereka di atas nilai-nilai kesepakatan yang dijunjung bersama dalam Piagam Madinah. Dan, masih ada sekian banyak deretan fakta sejarah tetang sikap toleransi umat Islam terhadap penganut agama yang lain.

Akan tetapi, fakta itu sepertinya tidak terlihat dalam cara berpikir aktivis liberal di Indonesia yang cenderung membeo caa berpikir orientalis. Wajar jika kemudian Gus Hamid dalam pernyataannya di hidayatullah.com menilai survey LSI itu sebagai survey yang tidak adil. Sebagaimana tidak adilnya cara berfikir negara Barat selama ini. Dan, jika dikomparasikan dengan Indonesia, Barat sebenarnya jauh lebih intoleran daripada Indonesia.

Menurutnya, selama ini Barat menolak pembangunan menara masjid, melarang jilbab, melarang adzan lewat menara, bahkan mencaci-maki Nabi Muhammad. Tetapi semua dianggap sebagai sikap toleran. Sementara di Indonesia, ketika umat Islam menolak perilaku menyimpang seperti LGBT justru dianggap intoleran.

Pluralisme Bukan Toleransi

Pluralisme adalah satu cara berpikir yang menganggap semua agama itu sama. Jadi, tidak ada agama yang boleh mengatakan ajarannya yang benar dan lain sesat. Semuanya sama, sama-sama benarnya.

Paham inilah yang sebenarnya hendak disusupkan pada kata toleransi. Seperti kita ketahui, Indonesia adalah target dari program pluralisme global. Kata toleransi memiliki kekuatan pengaruh yang sangat kuat, karena intoleran itu identik dengan asosial, tidak bisa bekerjasama, dan tidak bisa menghargai orang lain.

Pertanyaannya, apakah toleransi itu harus seperti yang dimaksudkan oleh LSI, yang berarti kita harus membiarkan, bahkan menerima cara berpikir kelompok-kelompok yang jelas tidak diakui secara akidah dalam Islam, seperti Syi’ah, Ahmadiyah, dan juga LGBT?

Jika itu yang dimaksud maka, yang benar bukan 31 persen penduduk Indonesia intoleran terhadap keberagamaan di Indonesia, yang tepat adalah 31 persen penduduk Indonesia menolak pluralisme.

Jadi, LSI, entah sadar atau tidak, sengaja merusak istilah yang sudah pakem dengan harapan beralih berpihak pada wacana kaum liberal. Sebab, jika LSI masih mengatakan surveynya itu sebagai bentuk intoleransi umat Islam yang religius, maka sebenarnya LSI sedang intoleran terhadap orang yang tidak sama dengan cara berpikir mereka sendiri.

Dengan kata lain, jika kita (umat Islam) meyakini Ahmadiyah itu sesat karena mengakui Nabi lain setelah Muhammad  sebagai sikap intoleran seperti kesimpulan LSI, ya benar, kami (umat Islam) memang intoleran.

Dan jika karena meyakini al-Quran dan Al Hadits yang melarang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT)  dianggap tindakan intoleran oleh Barat, maka jawabannya benar. Ya, hampir 200 juta kaum Muslim Indonesia yang meyakini al-Quran ini intoleran! [baca juga: Hamid: Lebih Baik Dianggap Intoleran]

Dan sebaiknya, semua kaum Muslim beramai-ramai mengatakan, "Ya, kami memang intoleran!"*
Penulis aktif dalam kajian INISIASI
http://www.hidayatullah.com/read/25560/23/10/2012/karena-mengimani-al-quran-dan-as-sunnah,-kami-intoleran!.html