Oleh: Imam Nawawi
SEBAGAI negara majemuk, perbedaan nilai dan keyakinan adalah
suatu keniscayaan. Tetapi, sepanjang perjalanan bangsa, pertikaian atau pun
kerusuhan yang terjadi atas nama agama, senantiasa dipicu dan ditunggangi oleh
kepentingan-kepentingan sesaat. Bak sebuah tunggangan istimewa, isu-isu atas
nama agama di Indonesia menjadi ‘daya tarik’ pihak asing yang ingin
mendiskreditkan umat Islam.
Baru-baru
ini, Lembaga Survey Indonesia (LSI) bekerjasama dengan Yayasan Denny JA,
mempublikasikan hasil surveynya perihal sikap toleransi bangsa Indonesia
terhadap keberagamaan orang lain, yang diklaimnya menurun.
Bahkan dalam
siaran berita Metro TV, penyiar berita dengan terang mengatakan, “31 persen
masyarakat Indonesia saat ini sudah tidak toleran terhadap keberagaman agama di
Indonesia. Hal ini meningkat setiap tahunnya” (www.metrotvnews.com).
Survei yang
dilakukan selama tujuh hari itu, dengan jumlah 1.200 responden mencatatkan
hasil bahwa 15 hingga 80 persen publik Indonesia tidak bisa menerima
bertetangga dengan orang lain yang berbeda identitas.
Sementara
itu, catatan lain mengatakan bahwa riset terbaru itu menemukan angka 67,8
Persen masyarakat Indoensia merasa tidak nyaman bertetangga dengan orang yang
berbeda agama, 61,2 persen dengan orang Syiah, 63,1 persen dengan orang
Ahmadiyah, dan 65,1 dengan orang homoseks (gay).
Bahkan lebih
jauh, survey itu juga menyimpulkan bahwa, semakin rendah pendidikan maka
semakin rendah toleransi terhadap perbedaan. Begitu pula dengan fakta semakin
rendahnya pendapatan, akan berpengaruh pada rendahnya intoleransi.
Dengan kata
lain, survey itu menyimpulkan bahwa banyaknya masyarakat Indonesia yang rendah
pendidikannya, dan rendah pendapatannya (miskin), adalah kelompok sosial yang
cenderung intoleran. Jika dikomparasikan dengan jumlah penduduk miskin di
negeri ini, maka sejumlah itulah penduduk Indonesia yang intoleran terhadap
keberagamaan orang lain.
Lebih jauh,
kita bisa menebak. Bahwa segala hal yang memberitakan, memblow-up, aspirasi 31 persen penduduk yang
dikatakan LSI sebagai intoleran, apalagi terkait dengan isu-isu agama, bisa
dikatakan sebagai media yang pro-intoleransi terhadap keberagamaan di negeri
ini.
Jelas
kesimpulan ini sangat dipaksakan dan cenderung simplisistis, demikian tanggapan
Sekjen MIUMI, Bachtiar Nashir dan beberapa pemikir Muslim lainnya pada media
ini.
Menurutnya,
hasil survey LSI yang mengatakan Indonesia memiliki tingkat intoleransi yang
terus bertambah tiap tahunnya, karena menolak lesbian, gay, biseks dan
transgender dinilai sangat berbahaya. Selain itu, memposisikan toleransi kepada
LGBT jelas tidak tepat karena LGBT adalah penyakit sosial yang harus
disembuhkan. Sementara itu, tokoh pemikir Muslim asal Gontor, Gus Hamid
mengatakan bahwa hasil survey itu menyesatkan dan tidak adil.
Menurut
pengertian LSI, sikap masyarakat Indonesia yang dikenal religius yang tidak
menerima aliran Syiah dan Ahmadiyah yang dianggap sesat ulama serta kelompok
yang memiliki kelainan orientasi seksual seperti gay dianggap perilaku
intoleran!
Artinya,
jika semua orang Indonesia menerima pikiran LSI ini, kesimpulannya adalah, 200
juta penduduk Indonesia ini sudah rusak.
Makna Toleransi
Toleransi
jelas tidak sama dengan pluralisme. Makna asal dari toleransi itu adalah
menghargai keyakinan orang lain dengan tetap memposisikan keyakinan orang lain
tidak sama dengan keyakinan diri sendiri.
Sedangkan
pluralisme, mengakui keyakinan orang lain sebagai kebenaran. Jadi, relativisme,
tidak ada yang benar mutlak. Inilah cara berpikir aktivis liberal di seluruh
dunia. Siapa yang masih menilai keyakinan dirinya sebagai yang terbaik dan
benar, sementara keyakinan orang lain sebagai salah atau sesat, maka orang
tersebut dikatakan sebagai orang yang intoleran.
Logika
inilah yang nampaknya digunakan oleh LSI dalam melakukan suatu survey tentang
intoleransi beragama. Padahal, logika seperti itu tidak bisa dikatakan sebagai
logika toleransi. Jika, semua keyakinan orang lain harus kita terima sebagai
sama benar dengan keyakinan yang dimiliki seseorang, maka perbedaan itu sudah
tidak ada. Ketika perbedaan telah melebur dalam bentuk penerimaan total dalam
satu konsep kebenaran, maka tidak perlu yang namanya toleransi.
Tepat apa
yang didefinisikan sebagai toleransi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang
di antaranya menyebutkan bahwa toleransi itu adalah ‘batas ukur untuk
penambahan atau pengurangan yg masih diperbolehkan’. Dan, dalam konteks ini
Islam adalah agama yang sangat toleran. Sejauh tidak bersinggungan dengan
masalah akidah, maka Islam memberikan toleransi.
Hal ini bisa
dilihat dari komposisi Madinah di masa Rasulullah yang dihuni oleh berbagai
macam suku dan agama. Di sana tidak saja ada Muslim, tetapi ada juga Yahudi,
Nashrani, dan Majusi.
Islam
memberikan hak hidup kepada mereka di atas nilai-nilai kesepakatan yang
dijunjung bersama dalam Piagam Madinah. Dan, masih ada sekian banyak deretan
fakta sejarah tetang sikap toleransi umat Islam terhadap penganut agama yang
lain.
Akan tetapi,
fakta itu sepertinya tidak terlihat dalam cara berpikir aktivis liberal di
Indonesia yang cenderung membeo caa berpikir orientalis. Wajar jika kemudian
Gus Hamid dalam pernyataannya di hidayatullah.com menilai survey LSI itu sebagai survey yang tidak adil.
Sebagaimana tidak adilnya cara berfikir negara Barat selama ini. Dan, jika
dikomparasikan dengan Indonesia, Barat sebenarnya jauh lebih intoleran daripada
Indonesia.
Menurutnya,
selama ini Barat menolak pembangunan menara masjid, melarang jilbab, melarang
adzan lewat menara, bahkan mencaci-maki Nabi Muhammad. Tetapi semua dianggap
sebagai sikap toleran. Sementara di Indonesia, ketika umat Islam menolak
perilaku menyimpang seperti LGBT justru dianggap intoleran.
Pluralisme Bukan Toleransi
Pluralisme
adalah satu cara berpikir yang menganggap semua agama itu sama. Jadi, tidak ada
agama yang boleh mengatakan ajarannya yang benar dan lain sesat. Semuanya sama,
sama-sama benarnya.
Paham inilah
yang sebenarnya hendak disusupkan pada kata toleransi. Seperti kita ketahui,
Indonesia adalah target dari program pluralisme global. Kata toleransi memiliki
kekuatan pengaruh yang sangat kuat, karena intoleran itu identik dengan
asosial, tidak bisa bekerjasama, dan tidak bisa menghargai orang lain.
Pertanyaannya,
apakah toleransi itu harus seperti yang dimaksudkan oleh LSI, yang berarti kita
harus membiarkan, bahkan menerima cara berpikir kelompok-kelompok yang jelas
tidak diakui secara akidah dalam Islam, seperti Syi’ah, Ahmadiyah, dan juga
LGBT?
Jika itu
yang dimaksud maka, yang benar bukan 31 persen penduduk Indonesia intoleran
terhadap keberagamaan di Indonesia, yang tepat adalah 31 persen penduduk
Indonesia menolak pluralisme.
Jadi, LSI,
entah sadar atau tidak, sengaja merusak istilah yang sudah pakem dengan harapan
beralih berpihak pada wacana kaum liberal. Sebab, jika LSI masih mengatakan
surveynya itu sebagai bentuk intoleransi umat Islam yang religius, maka
sebenarnya LSI sedang intoleran terhadap orang yang tidak sama
dengan cara berpikir mereka sendiri.
Dengan kata
lain, jika kita (umat Islam) meyakini Ahmadiyah itu sesat karena mengakui Nabi
lain setelah Muhammad sebagai sikap intoleran seperti kesimpulan LSI, ya
benar, kami (umat Islam) memang intoleran.
Dan jika
karena meyakini al-Quran dan Al Hadits yang melarang lesbian, gay, biseksual
dan transgender (LGBT) dianggap tindakan intoleran oleh Barat, maka
jawabannya benar. Ya, hampir 200 juta kaum Muslim Indonesia yang meyakini
al-Quran ini intoleran! [baca juga: Hamid: Lebih Baik Dianggap Intoleran]
Dan
sebaiknya, semua kaum Muslim beramai-ramai mengatakan, "Ya,
kami memang intoleran!"*
Penulis aktif dalam kajian INISIASI
http://www.hidayatullah.com/read/25560/23/10/2012/karena-mengimani-al-quran-dan-as-sunnah,-kami-intoleran!.html