Hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang mengatakan Indonesia memiliki
tingkat intoleransi karena menolak lesbian, gay, biseks dan transgender
dinilai sangat berbahaya. Selain itu, memposisikan toleransi kepada LGBT jelas
tidak tepat karena LGBT adalah penyakit sosial yang harus disembuhkan.
Pernyataan ini disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Intelektual dan
Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ,Bachtiar Nasir.Lc .
“Bertoleransi dengan LGBT itu sama saja kita dipaksa untuk menganggap LGBT
itu suatu hal yang normal dan halal. Justru survey LSI itu yang intoleran kepada
umat Islam,” jelas Bachtiar Nasir kepada hidayatullah.com, Senin (22/10/2012).
Senada dengan Bachtiar, pemerhati masalah gender Henri Shalahuddin menilai
survey LSI tersebut suatu hal yang konyol dan sarat kepentingan liberalisasi.
Henri dengan tegas mengatakan setelah isu Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak
laku maka kelompok liberal saat ini memainkan isu LGBT dan Hak Asasi Manusia
(HAM) untuk merusak tatanan masyarakat Indonesia.
“Ada pihak asing yang mendanai kampanye LGBT dan isu HAM dengan omong
kosong intoleransi ini semata-mata agar masyarakat mau menerima LGBT dan gaya
hidup liberal,” jelasnya.
Henri menambahkan jika ada pendapat yang mengatakan LGBT itu tidak membahayakan
adalah sangat salah. Pasalnya seorang pasangan LGBT memiliki orientasi kriminal
yang lebih berbahaya ketika mereka kehilangan pasangannya. Fakta ini sudah bisa
dibuktikan dengan maraknya kasus-kasus pembunuhan sesama LGBT yang didasari
rasa cemburu yang berlebihan.
“Bukan hanya itu saja, berapa kasus penyimpangan seksual seperti itu yang
akhirnya menyodomi anak-anak dibawah umur? Apa ini masih dianggap normal?”
jelas Henri lagi.
Jadi menurut Henri, sangat tidak tepat jika toleransi ditempatkan untuk
menyamaratakan hak LGBT di tengah-tengah masyarakat. Kelompok LGBT tidak
memiliki kaidah salah dan benar, mereka tidak peduli masalah dosa atau tidaknya
sebuah perbuatan.
Hal-hal seperti itu saja menurut Henri sangat bertentangan dengan norma
masyarakat Indonesia. Di situlah pula ia menambahkan ruang kriminalisasi sangat
terbuka lebar ketika masyarakat dipaksa untuk menerima LGBT layaknya orang yang
normal.
“Mereka di depan masyarakat berperilaku baik, tapi di belakang mereka ingin
merubah mindset masyarakat tentang agama mereka sendiri, bukankah mereka memang
sudah intoleran lebih dulu ketika memaksakan pendapat bahwa LGBT adalah halal
ke dalam aturan agama kita?,” tambah Henri lagi.
Seperti diketahui, belum lama ini LSI bekerjasama dengan Yayasan Denny JA
melakukan riset tentang meningkatnya populasi yang tidak nyaman terhadap
keberagaman di Indonesia.
Dalam riset terbaru ditemukan, 67,8 Persen masyarakat Indoensia merasa
tidak nyaman bertetangga dengan orang yang berbeda agama, 61,2 persen dengan
orang Syiah, 63,1 persen dengan orang Ahmadiyah, dan 65,1 dengan orang homoseks
(gay).
"Temuan survei ini, menyimpulkan bahwa semakin meningkat sikap
toleransi terhadap keberadaan orang lain yang berbebeda identitas
sosialnya," kata Novriantono di kantor LSI Rawamangun, Ahad (21/10/2012)
.
Menurut pengertian LSI, sikap masyarakat Indonesia yang dikenal religius
yang tidak menerima aliran Syiah dan Ahmadiyah yang dianggap sesat ulama serta
kelompok yang memiliki kelainan orientasi seksual seperti gay dianggap perilaku
intoleran.*