Usaha pelegalan homoseks di Indonesia menunjukkan peningkatan yang
mengkhawatirkan. Di Indonesia sudah lama terdapat komunitas yang bernama ‘GaYa
Indonesia”, perkumpulan khusus kaum Gay. Keberadaan mereka memang tidak terlalu
terbuka, tapi menurut pengamatan aktivis kesehatan, perkembangannya sudah
menjamur.
Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu membuat sistem kontrol terhadap
penderita kelainan seksual tersebut. Di lain pihak, tantangan meredam
homoseksualitas itu makin besar, menyusul munculnya survey yang menstigmatisasi
bahwa melarang homoseks merupakan tindakan intoleran.
Kita patut khawatir, sebab tren homoseks untuk kalangan tertentu ternyata
bukan sesuatu yang eksklusif lagi atau dosa yang harus ditutup-tutupi. Kita
bisa simak, beberapa waktu yang lalu MA meloloskan Dede Oetomo (DO), aktivis
gay, sebagai calon anggota komisioner Komnas HAM. DO berani mengatakan
dihadapan jurnalis Islam, “Homoseksual tidak dosa jika dilakukan suka sama
suka”. DO juga mengaku, jika lolos jadi anggota komisioner Komnas HAM, ia akan
memperjuangkan LGTB (Lesbianisme, Gay, Transgender dan Biseksual).
Meski DO akhirnya tidak lolos jadi anggota Komisioner Komnas HAM, namun
bukan berarti kampanye legalisasi homoseks tidak akan mengkhawatirkan lagi.
Pada 28 Maret 2010 Polwiltabes Surabaya akhirnya membatalkan izin kongres
ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex
Association) di Surabaya. Bagi kalangan medis, kongres ILGA di Surabaya
tersebut dikhawatirkan memicu menjamurnya penyakit seksual. Norma-norma Islam
dan Kristen juga melarangnya. Penolakan aktivis kesehatan dan agamawan tersebut
rasional dan bisa dimengerti.
Namun baru-baru ini, Lembaga Survey Indonesia (LSI) merilis hasil survei di
Jakarta pada Minggu, 21 Oktober 2012 yang mengungkap banyaknya masyarakat yang
intoleran terhadap keberagaman. Sikap intoleran ditunjukkan dengan
ketidaknyamanan terhadap perbedaan agama, juga perbedaan orientasi seksual.
Masyarakat yang menolak homo dan lesbi disebut intoleran.
LSI menemukan bahwa intoleransi terhadap kaum homoseksual lebih tinggi dari
keengganan responden terhadap orang-orang mengikuti agama yang berbeda,
berselisih 15,1 persen. Untuk survei, LSI mewawancarai 1.200 responden antara 1
Oktober dan 8 Oktober. Para responden malah lebih suka tinggal bersebelahan
dengan apa yang mereka anggap sebagai pengikut aliran sesat seperti Syi’ah dan
Ahmadiyah, bukan dengan gay atau lesbian. Survei menunjukkan bahwa 41,8 persen
dan 46,6 persen dari responden merasa tidak nyaman tinggal di samping pengikut
Syiah atau Ahmadiyah.
Opini yang hendak dibentuk dari survey LSI tersebut adalah bahwa orang yang
tidak menyukai perilaku homoseks sebagai kelompok yang tidak toleran. Benarkah
hal ini bentuk intoleransi? Maki kita kembalikan kepada perspektif agama dan
kesehatan. Homoseks dan lesbi dalam pandangan agama, baik Islam dan Kristen
sebagai bentuk tindak kejahatan. Secara medis-psikologis, homoseks termasuk
kelainan seksual.
Kitab Bibel mengutuk keras pelaku homoseks, karena dinilai perbuatan keji
tidak manusiawi. Kitab Imamat 20:30 mengatakan: “Bila seorang laki-laki tidur
dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya
melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka
tertimpa kepada mereka sendiri”.
Dalam Bibel versi King James tertulis, “Jika seorang pria berbaring dengan
pria lain, sebagaimana ia berbaring dengan seorang wanita, keduanya telah
melakukan kejahatan: mereka harus dihukum mati; darah mereka harus
ditumpahkan”.
Dalam pandangan Islam, homoseks disebut liwath, termasuk dosa besar
dan perbuatan kotor yang keluar dari fitrah suci. Ia juga merupakan kelainan.
Rasulullah saw bersabda, “Terlaknatlah orang yang mencela ayahnya,
terlaknatlah orang yang mencela ibunya. Terlaknatlah orang yang menyembelih
bukan karena Allah, terlaknatlah orang yang merubah batas tanah, terlaknatlah
orang yang membisu (tidak mau memberi petunjuk) terhadap orang yang buta yang
mencari jalan. Terlaknatlah orang yang menyetubuhi binatang dan terlaknatlah
orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth (homoseks) ”(HR. Ahmad). Dalam
hadis lain Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti
(menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” (HR Ibnu Majah).
Imam Syaf’i berfatwa bahwa, pelaku homoseksual harus dijatuhi hukuman mati,
baik palaku (subjek) maupun yang diperlakukan (objek) sodomi, sebagaimana yang
tersurat dalam hadits.
Pandangan normatif agama tidak berbedah jauh dengan perspektif medis.
Secara medis homoseks dan lesbi memicu penyakit menular berbahaya, yaitu
siphilis, gonorrhoea, dan AIDS. Praktik tersebut juga memicu menurunnya daya
pikir disebabkan oleh menurunnya fungsi simpul-simpul syaraf. Prof. Dr. Malik
Badri, pakar psikologi asal Sudan, menyarankan agar pelaku-pelaku homoseks dan
lesbi diterapi khusus. Pengobatannya dilakukan secara simultan dan bertahap.
Tidak ada celah dalam agama dan medis untuk pelegalan
homoseksualitas. Dalam perspektif agama disebut sebuah tindakan kriminil
(jarimah) sedang dalam medis-psikologis perbuatan homoseks merupakan
kelainan.
Pertanyaannya, bagaiman mungkin LSI menilai masyarakat intoleran gara-gara
menolak tindak kriminil dan kelainan seks seperti homoseks ini?
Di sinilah persoalannya. Toleransi dalam cara pandangan LSI ternyata
berideologi relativisme. Pihak Danny JA Foundation, lembaga yang menaungi LSI
juga menyatakan orang berorientasi seksual sejenis masih tidak diterima
masyarakat. Artinya, tidak boleh ada penghukuman salah terhadap orang
berorientasi seksual sejenis. Relativisme mengajarkan tidak ada pendapat yang
paling benar. Relativisme melampaui toleransi, karena mencurigai kebenaran,
bahkan meragukan kebenaran itu sendiri. Jika kebenaran dicurigai, maka sama
saja dengan intoleran terhadap kebenaran. Berarti wacana intoleran terhadap
homoskes sesungguhnya sesungguhnya intoleran terhadap kebenaran agama.
Makanya, pemerintah harus tegas. Jika tidak ada undang-undang
penindakan tegas, pelaku homoseks akan merasa aman-aman saja. Masyarakat harus
dilindungi, generasi ke depan perlu mendapat edukasi tentang hal ini. [] (15)