Selasa, 30 Oktober 2012

Kampanye Homoseksualitas Mengkhawatirkan


Usaha pelegalan homoseks di Indonesia menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Di Indonesia sudah lama terdapat komunitas yang bernama ‘GaYa Indonesia”, perkumpulan khusus kaum Gay. Keberadaan mereka memang tidak terlalu terbuka, tapi menurut pengamatan aktivis kesehatan, perkembangannya sudah menjamur.


Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu membuat sistem kontrol terhadap penderita kelainan seksual tersebut. Di lain pihak, tantangan meredam homoseksualitas itu makin besar, menyusul munculnya survey yang menstigmatisasi bahwa melarang homoseks merupakan tindakan intoleran.

Kita patut khawatir, sebab tren homoseks untuk kalangan tertentu ternyata bukan sesuatu yang eksklusif lagi atau dosa yang harus ditutup-tutupi. Kita bisa simak, beberapa waktu yang lalu MA meloloskan Dede Oetomo (DO), aktivis gay, sebagai calon anggota komisioner Komnas HAM. DO berani mengatakan dihadapan jurnalis Islam, “Homoseksual tidak dosa jika dilakukan suka sama suka”. DO juga mengaku, jika lolos jadi anggota komisioner Komnas HAM, ia akan memperjuangkan LGTB (Lesbianisme, Gay, Transgender dan Biseksual).

Meski DO akhirnya tidak lolos jadi anggota Komisioner Komnas HAM, namun bukan berarti kampanye legalisasi homoseks tidak akan mengkhawatirkan lagi.

Pada 28 Maret 2010 Polwiltabes Surabaya akhirnya membatalkan izin kongres ILGA (International Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender dan Intersex Association) di Surabaya. Bagi kalangan medis, kongres ILGA di Surabaya tersebut dikhawatirkan memicu menjamurnya penyakit seksual. Norma-norma Islam dan Kristen juga melarangnya. Penolakan aktivis kesehatan dan agamawan tersebut rasional dan bisa dimengerti.

Namun baru-baru ini, Lembaga Survey Indonesia (LSI) merilis hasil survei di Jakarta pada Minggu, 21 Oktober 2012 yang mengungkap banyaknya masyarakat yang intoleran terhadap keberagaman. Sikap intoleran ditunjukkan dengan ketidaknyamanan terhadap perbedaan agama, juga perbedaan orientasi seksual. Masyarakat yang menolak homo dan lesbi disebut intoleran.

LSI menemukan bahwa intoleransi terhadap kaum homoseksual lebih tinggi dari keengganan responden terhadap orang-orang mengikuti agama yang berbeda, berselisih 15,1 persen. Untuk survei, LSI mewawancarai 1.200 responden antara 1 Oktober dan 8 Oktober. Para responden malah lebih suka tinggal bersebelahan dengan apa yang mereka anggap sebagai pengikut aliran sesat seperti Syi’ah dan Ahmadiyah, bukan dengan gay atau lesbian. Survei menunjukkan bahwa 41,8 persen dan 46,6 persen dari responden merasa tidak nyaman tinggal di samping pengikut Syiah atau Ahmadiyah.

Opini yang hendak dibentuk dari survey LSI tersebut adalah bahwa orang yang tidak menyukai perilaku homoseks sebagai kelompok yang tidak toleran. Benarkah hal ini bentuk intoleransi? Maki kita kembalikan kepada perspektif agama dan kesehatan. Homoseks dan lesbi dalam pandangan agama, baik Islam dan Kristen sebagai bentuk tindak kejahatan. Secara medis-psikologis, homoseks termasuk kelainan seksual.

Kitab Bibel mengutuk keras pelaku homoseks, karena dinilai perbuatan keji tidak manusiawi. Kitab Imamat 20:30 mengatakan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”.

Dalam Bibel versi King James tertulis, “Jika seorang pria berbaring dengan pria lain, sebagaimana ia berbaring dengan seorang wanita, keduanya telah melakukan kejahatan: mereka harus dihukum mati; darah mereka harus ditumpahkan”.

Dalam pandangan Islam, homoseks disebut liwath, termasuk dosa besar dan perbuatan kotor yang keluar dari fitrah suci. Ia juga merupakan kelainan.

Rasulullah saw bersabda, “Terlaknatlah orang yang mencela ayahnya, terlaknatlah orang yang mencela ibunya. Terlaknatlah orang yang menyembelih bukan karena Allah, terlaknatlah orang yang merubah batas tanah, terlaknatlah orang yang membisu (tidak mau memberi petunjuk) terhadap orang yang buta yang mencari jalan. Terlaknatlah orang yang menyetubuhi binatang dan terlaknatlah orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth (homoseks) ”(HR. Ahmad). Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” (HR Ibnu Majah).

Imam Syaf’i berfatwa bahwa, pelaku homoseksual harus dijatuhi hukuman mati, baik palaku (subjek) maupun yang diperlakukan (objek) sodomi, sebagaimana yang tersurat dalam hadits.

Pandangan normatif agama tidak berbedah jauh dengan perspektif medis. Secara medis homoseks dan lesbi memicu penyakit menular berbahaya, yaitu siphilis, gonorrhoea, dan AIDS. Praktik tersebut juga memicu menurunnya daya pikir disebabkan oleh menurunnya fungsi simpul-simpul syaraf. Prof. Dr. Malik Badri, pakar psikologi asal Sudan, menyarankan agar pelaku-pelaku homoseks dan lesbi diterapi khusus. Pengobatannya dilakukan secara simultan dan bertahap.

Tidak ada celah dalam agama dan medis untuk pelegalan homoseksualitas.  Dalam perspektif agama disebut sebuah tindakan kriminil (jarimah) sedang dalam medis-psikologis perbuatan homoseks merupakan kelainan.

Pertanyaannya, bagaiman mungkin LSI menilai masyarakat intoleran gara-gara menolak tindak kriminil dan kelainan seks seperti homoseks ini?

Di sinilah persoalannya. Toleransi dalam cara pandangan LSI ternyata berideologi relativisme. Pihak Danny JA Foundation, lembaga yang menaungi LSI juga menyatakan orang berorientasi seksual sejenis masih tidak diterima masyarakat. Artinya, tidak boleh ada penghukuman salah terhadap orang berorientasi seksual sejenis. Relativisme mengajarkan tidak ada pendapat yang paling benar. Relativisme melampaui toleransi, karena mencurigai kebenaran, bahkan meragukan kebenaran itu sendiri. Jika kebenaran dicurigai, maka sama saja dengan intoleran terhadap kebenaran. Berarti wacana intoleran terhadap homoskes sesungguhnya sesungguhnya intoleran terhadap kebenaran agama.

Makanya, pemerintah harus tegas.  Jika tidak ada undang-undang penindakan tegas, pelaku homoseks akan merasa aman-aman saja. Masyarakat harus dilindungi, generasi ke depan perlu mendapat edukasi tentang hal ini. [] (15)