Oleh: Nuim Hidayat
BARU-BARU
ini masyarakat dikejutkan berita
tentang sekolah Katolik Blitar yang menolak menyediakan guru agama non Katolik
di sekolahnya. Meski Kantor Kementrian Agama menegurnya, mereka tetap menolak.
Padahal ada sekitar 60 persen lebih siswa di sekolah-sekolah itu beragama non
katolik.
Di Blitar ada lima sekolah Katolik.
Sekolah Dasar Yos Sudarso, Sekolah Menengah Pertama Yos Sudarso, Sekolah
Menengah Pertama Yohanes Gabriel, Sekolah Menengah Kejuruan Santo Yusuf dan
Sekolah Menengah Atas Katolik Diponegoro.
Mereka menyatakan bahwa sejak dulu
mereka tidak menyediakan guru agama non Katolik. “Para pendahulu kami
mendirikan sekolah itu memang untuk anak-anak Katolik,” kata Koordinator Staf
Yayasan Yoga Blitar, Yohanes. (Lihat Koran Tempo, 4 Februari 2013).
Selama ini, kata Yohanes, tidak
pernah ada persoalan di sekolah itu. Meski jumlah siswa non Katolik 60
persen lebih, mereka dianggap nyaman mengikuti kegiatan belajar, termasuk
kewaji ban mengikuti jam pelajaran agama Katolik.
Sikap pengelola sekolah Katolik ini
rupanya mendapat teguran keras dari Dinas Pendidikan dan Kementrian Agama Kota
Blitar. Pada 24 November 2012, keluar Surat Edaran Bersama Dinas Pendidikan dan
Kantor Kementrian Agama Kota Blitar. Pemerintah mewajibkan semua sekolah di
kota Blitar melaksanakan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan
Menteri Agama Nomor 16 tahun 2010, yang salah satu pasalnya mengatur hak setiap
murid mendapatkan pendidikan agama yang dianut. [baca: 6 Sekolah
Kristen Blitar Harus Sediakan Hak Pendidikan Islam bagi Siswa Muslim]
Hal itu tercantum Pasal 12 UU
Sisdiknas No 20 tahun 2003. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa:
“Setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak: mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkanoleh pendidik yang seagama…”
Jadi seharusnya setiap sekolah
bagaimanapun ciri khasnya, harus menyediakan guru agama sesuai dengan agama
muridnya. Tapi Sekolah Katolik di Blitar tetap ngotot menolak aturan dan
teguran itu. Kantor Kementrian Agama sampai mengeluarkan teguran hingga tiga
kali.
Karena sekolah-sekolah Islam di sana
mematuhi aturan itu, menyediakan pengajar agama non Islam untuk siswa non Islam.
Menurut Koran Tempo, sebenarnya Wali Kota Blitar Samanhudi sudah berancang-ancang
memberikan sanksi kepada sekolah Katolik yang membandel ini, dari teguran
sampai pencabutan izin. Tapi langkahnya mandek, karena ia diperingatkan oleh
DPP PDIP.
Memang dalam sejarahnya, PDIP adalah
fraksi yang paling ngotot menolak UU Sisdiknas 2003 itu. Saat RUU Sisdiknas
dibahas di DPR tahun 2003 dulu, PDIP dan sejumlah organisasi-organisasi Kristen
Katolik menolak RUU itu. Mereka menolak RUU itu dengan tiga alasan:
Pertama,
Tujuan RUU Sisdiknas menyimpang dari
Tujuan Nasional di dalam Pembukaan UUD 45, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan
keagamaan melanggar pasar 28 E ayat 1 UUD 1945, karena masalah keagamaan
merupakan hak asasi manusia sebagai hak individu yang tidak boleh diatur oleh
siapapun termasuk pemerintah. Ketiga RUU Sisdiknas sangat miskin filosofi dan
substansi.
Yang menolak RUU Sisdiknas saat itu
sekurang-kurang 38 lembaga yang kebanyakan berasosiasi ke Kristen Katolik. Di
antaranya: Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik, Badan Kerjasama Perguruan Tinggi
Kristen Indonesia, DKW Garda Bangsa Jatim, FAM Trisakti, Forum Peduli
Tarumanegara, Indonesia Conference on Religion and Peace, Lakpesdam NU, Majelis
Nasional Pendidikan Katolik, Majelis Pendidikan Kristen, PB PMII, Persatuan
Gereja Indonesia dan lain-lain. (lihat buku Imperialisme Baru, Nuim
Hidayat).
Dan saat itu di media massa terjadi
polemik berbulan-bulan tentang RUU Sisdiknas ini. Bila Harian Kompas saat itu
menolak penuh RUU itu dengan mengerahkan pakar-pakarnya untuk menulis, maka
harian Republika sebaliknya. Republika saat itu mendukung penuh RUU Sisdiknas
yang di dalamnya antara lain mengatur tentang hak murid untuk mendapatkan pelajaran
agama sesuai yang dianutnya. Bahkan Tabloid Mingguan Warta Kristiani no 13 tahun 2003, membuat judul cover besar di halaman
depannya: “NKRI Terlalu Mahal untuk Dipertaruhkan: Diduga Kelompok Cendekiawan
Tertentu ada dibalik RUU Sisdiknas”.
Meski fraksi PDIP saat itu
berusaha menggagalkan, akhirnya semua fraksi sepakat RUU Sisdiknas itu
menjadi Undang-Undang pada 11 Juni 2003. Dan mestinya ketika telah
menjadi Undang-Undang, semua warganegara atau lembaga harus mematuhinya. Bila
Sekolah Katolik di Blitar menolak aturan yang tertera jelas dalam Undang-Undang
itu, lantas apa kemauan mereka sebenarnya?
Penulis
adalah Dosen STIE Husnayain, Jakarta