Sabtu, 02 Februari 2013

Rindu pemimpin partai Islam sebersih Natsir


Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq ditahan KPK. Luthfi diduga menerima suap Rp 1 miliar dari PT Indoguna Utama terkait izin impor daging sapi. Sebuah ironi partai dakwah yang mengusung slogan bersih dan peduli.

Posisi Luthfi sebagai pemimpin partai Islam barangkali sama dengan
Mohammad Natsir dulu. Natsir menjadi Ketua Umum Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) tahun 1949-1958. Masyumi adalah Partai Islam terbesar kala itu.


Pada Pemilu 1955, Natsir membawa Masyumi di posisi kedua dengan 7.903.886 suara atau 20,92 persen. Beda tipis dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang menjadi pemenang dengan 8.434.653 suara, atau 22,32 persen.

Di pemerintahan, Natsir menjadi menteri penerangan dua kali tahun 1946-1947 dan 1948-1949. Dia juga menjadi Perdana Menteri tahun 1950-1951. Dengan sistem pemerintahan parlementer di Indonesia saat itu, otomatis Natsir menjadi orang nomor satu.

Natsir diakui dunia sebagai politikus Islam handal. Dia menjadi presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.

Tapi tak pernah terbesit pun niat Natsir untuk menerima suap. Natsir dikenal sebagai menteri dengan jas bertambal. Walau pejabat negara, hidupnya pas-pasan. Bahkan anak buahnya sempat urunan untuk membelikan Natsir kemeja yang layak. Bayangkan, seorang menteri dan ketua parpol sampai harus dibelikan baju oleh anak buahnya.

Dalam 'Seri Buku Tempo, Natsir, politik santun di antara dua rezim' dikisahkan suatu hari ada seorang tamu yang datang ke rumah Natsir. Tamu itu berniat memberikan sebuah mobil Chevrolet Impala. Pada tahun 1956 mungkin Chevrolet Impala itu sekelas Toyota Royal Saloon yang biasa digunakan pejabat RI saat ini.

Anak-anak Natsir yang menguping pembicaraan tamu dan ayah mereka, sangat gembira. Terbayang betapa nikmatnya mengendarai Chevrolet Impala yang besar dan mewah itu. Tapi harapan mereka buyar. Natsir dengan halus menolak pemberian itu. Lemaslah mereka.

"Mobil itu bukan hak kita. Lagipula yang ada masih cukup," ujar Natsir menghibur anak-anaknya. Saat itu Natsir masih menjadi pejabat negara. Dia masih menjadi Ketua Fraksi Masyumi. Kontras benar dengan gaya para pemimpin fraksi saat ini yang bergaya necis dan bermobil mentereng.

Bukan hanya mobil, keluarga Natsir pun kesulitan membeli rumah. Saat menjadi menteri bertahun-tahun mereka harus menumpang hidup di paviliun sahabat Natsir, Prawoto Mangkusaswito, di kampung Bali, Tanah Abang. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Nasir menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim.

Maka tepat sekali puisi yang ditulis budayawan Taufiq Ismail untuk mengenang 100 tahun Natsir. Dalam buku 100 tahun Mohammad Natsir: berdamai dengan sejarah karangan Lukman Hakiem yang diterbitkan Republika. Taufiq melukiskan kerinduan Indonesia pada tokoh santun dan jujur seperti Natsir.

"Bagi rakyat dia adalah menteri yang jasnya bertambal. Mobil pribadinya DeSoto,
berwarna kusam, dan menggeleng ketika ditawari Chevvy Impala. Dialah perdana menteri yang menolak kelebihan dana taktis yang disumbangkannya ke koperasi pegawai. Dialah pemimpin ummat yang kantong kemejanya bernoda bekas tinta. Perdana menteri yang pernah boncengan dengan sopirnya naik sepeda, yang ahli warisnya tak mampu membayar pajak peninggalan rumahnya di kawasan Menteng."