Senin, 04 Februari 2013

Industri Sapi Alami Resesi, AS Tekan Indonesia Buka Kran Impor Sapi


Ketika ditemukan kasus penyakit sapi gila di California tahun lalu, Pemerintah Indonesia menunjukkan ketidaksukaan dan kemudian menjadi negara pertama yang menolak sapi dari Amerika Serikat. Akibatnya penjualan daging sapi ke AS ke Indonesia anjlok menjadi hampir tidak ada. Demikian diberitakan Star Telegram, kelompok media Mc Clatchy Newspaper.


Menyikapi ketidakpuasan produsen ternak utamanya di California dan Texas, pemerintah AS melakukan perlawanan: sebelum membawanya ke WTO, pemerintah Obama menekan Indonesia untuk membuka pasar dan 240 juta penduduknya untuk produk ekspor AS. Jika tidak, akan ada konsekuensinya.

 “Tidak ada dasar ilmiah untuk menolak sapi AS,” ujar John Harris, pemilik peternakan sapi Harris Ranch Beef Co., sebuah usaha turun temurun di California sejak 1930-an. Senada dengan itu, Kevin Kester, seorang peternak yang juga generasi kelima dari usaha keluarga di Parkfield, Calif., mengatakan aksi penolakan Indonesia sebagai “aksi politik latah” –reaksi seketika/refleks- red.–.

Dengan ekspor sapi mencapai hampir 13 persen dari seluruh pasar industri sapi AS tahun lalu, pelaku industri sapi mengatakan mereka bergantung pada ekspor untuk bertahan. Pejabat AS dalam industri ini mengatakan pasar luar negeri menjadi sangat penting untuk menjual bagian potongan sapi yang tidak laku di dalam negeri. Jepang misalnya, tertarik pada lidah sapi. Hal ini menaikkan nilai dagang daging sapi AS ke Jepang sebesar 19 persen pada tahun 2012. Senin (28/1) Perwakilan Dagang AS Ron Kirk mengatakan AS menyepakati perjanjian dengan Jepang untuk menghapus beberapa pembatasan pada penjualan sapi. Langkah yang dapat mendatangkan tambahan penjualan untuk AS hingga ratusan juta dollar di tahun mendatang, imbuhnya. Industri sapi punya pengaruh yang besar untuk ekonomi AS karena menyerap 1,4 juta pekerjaan. Tahun 2011, 742.000 ekor sapi seantero AS menghasilkan 44 miliar dollar.

Kedubes Indonesia di Washington DC tidak akan membahas kasus pembatasan kuota impor ini, namun mengatakan akan memperhatikan aksi AS dan akan merespon di waktu yang tepat. “Pemerintah Indonesia tidak bermaksud untuk membatasi impor, namun untuk memastikan semua barang yang diimpor aman untuk konsumsi dan aman untuk lingkungan,” terang pihak kedubes.Meskipun Indonesia memiliki ekonomi terbesar di Asia Tenggara, perdagangan AS menunjukkan bahwa Indonesia hanya menyumbang 0,6 persen dari ekspor daging AS selama 2011 atau bernilai sekitar 17 juta dollar. Dan impor dari AS ini memenuhi 20 persen daging sapi yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Bersamaan dengan pembatasan kuota impor sapi ini, Indonesia juga membuat tidak senang industri pertanian AS dengan menerbitkan aturan baru yang membuat AS sulit untuk menjual berbagai macam produk termasuk buah segar, sayuran, jus, bunga dan buah kering. Ini menghadirkan kegelisahan di Washington. Indonesia masuk lima besar importir buah apel Washington dan menyumbang pasar AS sebesar 57 juta dolar untuk ceri, pir, dan buah lainnya dari Pacific Northwest.

Selama kunjungan ke Indonesia tiga tahun lalu, Mark Powers, wakil presiden Northwest Horticulural Council di Washington, mendapati pedagang buah kaki lima di Jakarta menjual apel merah dari Washington. Sekarang, jelas Powers, ekspor ke Indonesia turun 67 persen sejak November 2012. Ini sama saja dengan kerugian setidaknya dua juta dollar bagi petani apel di Washington.

Tekanan AS ke Indonesia berasal dari masa sulit bagi industri sapi di dalam negeri pemasok sapi terbesar dunia ini. Bahkan Texas, negara bagian dengan eskpor terbesar, mulai menunjukkan tanda-tanda masalah. Bulan lalu, Cargill dari Minnesota mengatakan akan menghentikan produksi pemrosesan daging sapinya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan dan membuat 2000 orang mengganggur, utamanya karena penurunan pasokan sapi disebabkan oleh musim kering. Jumlah pasokan saat ini merupakan yang terkecil sejak tahun 1952.

Secara keseluruhan, ekspor sapi AS mencapai 5,4 miliar pada 2011 dan diharapkan lebih tinggi untuk tahun 2012 (angka untuk bulan Desember 2012 belum tersedia). Meskipun angka ekspor sapi meningkat 2 persen selama 11 bulan pertama di 2012, jumlah sapi yang diekspor berkurang sebesar 11 persen, demikian menurut US Meat Export Federation (USMEF). Untuk Indonesia sendiri, terjadi penurunan sebesar 91 persen untuk Januari-November 2012 dibandingkan periode yang sama pada 2011.

Hanya dua negara yang mengeluarkan kebijakan melarang impor sapi dari AS karena penyakit sapi gila tahun lalu: Indonesia dan Thailand. Para pejabat di industri sapi AS mengatakan larangan di Indonesia telah diganti dengan kebijakan kuota yang ketat dan persyaratan yang memaksa eksportir AS untuk mendapatkan perizinan yang membuat hampir tidak mungkin untuk produsen ternak untuk menjual produk mereka.

Selain mengkhawatirkan tentang kuota impor, produsen ternak AS juga menghadapi persoalan lain dalam menjual daging ke negara Muslim terbesar ini. Indonesia mensyaratkan daging sapi impor untuk disembelih sesuai tuntunan Islam. Artinya, eksportir harus memperoleh sertifikat penyembelihan secara Islam. Pejabat industri sapi AS menanggapi biasa, mengatakan hal itu hanya merupakan syarat untuk melakukan bisnis di pasar khusus seperti di negeri Muslim.

Menanggapi kebijakan kuota Indonesia, para pejabat AS mengatakan Indonesia telah melanggar aturan perdagangan global dengan melindungi industri pertanian/peternakannya dari persaingan. Jika kedua belah pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa secara mandiri, AS akan meminta WTO untuk membuat panel penyelesaian sengketa pada Maret nanti. Ketika mengungkapkan hal itu, John Kirk mengeluhkan bahwa Indonesia telah membuat “rezim perizinan impor yang rumit dan sepihak”.

“Kami akan terus menjelaskan kepada rekan dagang kami bahwa kami akan berjuang mendukung tiap profesi di AS yang dirugikan oleh pembatasan yang tidak adil dari luar negeri,” bela Kirk.

Banyak anggota Kongres mendorong Kirk untuk bertindak. Juni nanti, dua anggota DPR Washington menginisiasi surat kemudian ikut ditandatangani oleh 19 anggota DPR lainnya, mendesak pemerintah AS untuk “mengejar semua peluang” untuk memaksa Indonesia menerima lebih banyak produk ekspor mereka.

Ini bukan pertama kalinya AS dan Indonesia berseteru dalam dunia dagang. Indonesia pernah protes ke WTO atas pelarangan rokok yang memiliki rasa akibat perubahan regulasi tembakau di AS tahun 2009. Indonesia menilai regulasi tersebut diskriminatif terhadap produk rokok dari Indonesia. Peternak udang di pantai selatan AS juga sedang bersitegang dengan Indonesia, meminta pemerintah AS untuk mengenakan bea masuk untuk produk udang Indonesia yang diekspor ke AS.