Rabu, 21 Desember 2011

Kisah Relawan Merapi: Pratest Ujian Dokter di Merapi


 Saya terpaku di depan televisi, menyaksikan kedahsyatan gunung Merapi memuntahkan isi perutnya tanpa memikirkan nasib makhluk hidup sekitarnya. Tetesan air mata, jeritan dan isak tangis korban mengiris hati. Aksi relawan tim evakuasi --menyusuri jalur yang tertutup oleh pohon tumbang, memeriksa satu persatu rumah penduduk yang luluh lantak diterjang awan panas, bergerak meniti batang pohon yang dikelilingi debu vulkanik yang masih membara dan mengais tumpukan debu vulkanik untuk mencari jenazah-- benar-benar menggugah hati. Yaa Allaah, apa yang dapat saya lakukan untuk korban Merapi?


Tiba-tiba seluler bernyanyi, terpampang nama teh Iis (salah satu relawan senior MER-C). ”Safira, kamu bisa berangkat ke Yogya besok malam bantu korban merapi? Tim MER-C Yogya perlu tambahan bantuan seorang dokter,” tanyanya dari ujung telepon. “Bisaaa…aku izin ke ortu dulu ya,” jawabku langsung. Restu orang tua sangatlah penting.

Orang tua pun memberi lampu hijau, maka saya pun berkemas. Saya tak peduli kalau seminggu lagi ujian kompetensi dokter (red: UKDI - Ujian Kompetensi Dokter Indonesia), belum jelas pula kapan akan pulang, H-1 UKDI atau H-2 UKDI. Yang ada dalam pikiran saya, “Inilah saatnya kompetensi saya sebagai dokter baru lulus diuji. Bismillaahirrahmanirrahiim!”

Berangkatlah saya bersama teh Iis menumpang kereta Taksaka. Dalam perjalanan, saya mencoba mempelajari materi UKDI. Sungguh tidak fokus, yang ada dalam pikiran saya adalah saya takut teman-teman kuliah mengetahui saya ke Merapi padahal menjelang UKDI. Teman-teman saya sangat care dan mengkhawatirkan saya tidak lulus UKDI. Saya juga tidak memberi tahu ke orang tua bahwa saya seminggu lagi UKDI. “Teh Iis pun konfirmasi ke saya apakah saya tidak apa ikut ke Merapi sedangkan UKDI sebentar lagi?” Insya Allah...



Tiba lah saya dan teh Iis di stasiun Tugu, dijemput oleh pak Tuwarji (relawan non medis MER-C Yogya). Kami menuju ke markas MER-C Cabang Yogyakarta sambil menyimak cerita pak Tu (panggilan akrab pak Tuwarji). Ia bercerita mengenai Tim MERC mengevakuasi korban menerobos gumpalan kabut vulkanik menggunakan ambulans, dan betapa antusiasnya pak Tu dalam menolong korban Merapi sehingga bingkai kacamatanya patah.

Terharu dan bangga dengan relawan MER-C Cabang Yogyakarta yang bergerak sangat cepat sesaat setelah Merapi memuntahkan isi perutnya, inilah pelajaran yang saya dapat dari MER-C. Dalam menangani kasus emergensi, korbanlah yang utama, jangan jadikan urusan birokrasi memperparah korban.

Kami lalu berkoordinasi dengan tim MER-C Cabang Yogyakarta, menentukan lokasi pengungsian yang perlu dibantu. Meskipun banyak pihak yang membantu korban Merapi, namun masih banyak pengungsi di beberapa lokasi pengungsian belum dirangkul tim Medis. Kami pun bergegas ke lokasi-lokasi tersebut.

Obat-obatan, stetoskop dan alat pemeriksaan fisik standar semua sudah OK. Rekan-rekan tim juga OK. Pengungsi mengerubungi, membuat kami jadi semangat. Bahasa yang berbeda tak menghambat, malah menjadikan suasana lebih ramai dan menyenangkan.

Selain gangguan saluran pernapasan diderita sebagian besar pengungsi akibat debu vulkanik, gangguan tidur pun meneror pengungsi yang memang sedang menjalani ujian naik kelas dari Allah melalui letusan dahsyat sang Merapi. Harta benda tiada, belahan jiwa tak bernyawa.

Dari satu lokasi ke lokasi lain

Setelah dipastikan semua pengungsi yang perlu bantuan medis tertangani, kami menjelajahi lokasi lainnya mencari korban yang belum mendapatkan uluran tangan tenaga medis. Bila suatu lokasi pengungsian korban telah mendapatkan bantuan medis, maka MER-C mencari lokasi lain. Salah satu lokasi pengungsian adalah RS MER-C di Yogyakarta yang masih dalam tahap pembangunan, terletak di jalan Prambanan, Sleman.
Pengungsi yang berada di RS ini merupakan anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental (down syndrome). Rumah sakit yang dibangun MER-C ini bertujuan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat korban gempa bumi (tahun 2006) di Yogyakarta dan sekitarnya, dikhususkan untuk kasus yang memerlukan penanganan bedah.  Saat ini pembangunan sudah mencapai penyelesaian lantai 1 dari 3  lantai yang direncanakan. Pembangunan ini tidak dapat lepas dari bantuan masyarakat.

Korban Merapi tidak hanya menelan korban warga Yogyakarta namun juga Solo. Setelah memastikan korban Merapi Yogyakarta tertangani dengan baik, saya dan Teh Iis pun melanjutkan perjalanan ke Solo untuk bergabung dengan teman-teman relawan MER-C Solo. Terharu dan bangga juga nih pada tim MER-C Cabang Solo. Mereka juga sudah mendirikan posko di Boyolali dan melakukan mobile clinic ke beberapa titik untuk terlibat langsung dalam menangani korban Merapi di wilayahnya. Seperti di Yogyakarta, di Solo pun kami menjelajahi titik-titik pengungsian di Solo hingga larut malam.

Tidak terasa hampir seminggu saya berakrab ria dengan korban Merapi. Saatnya kembali ke Jakarta. Jalur udara ditutup, jalur kereta api pun bermasalah, hingga akhirnya saya dan the Iis berkejar-kejaran dengan jadwal bus menuju Jakarta. Kami tiba di Jakarta H-1 UKDI dengan menumpang bus selama 18 jam.  Alhamdulillaah saya dapat lulus UKDI melalui proses pre-test di Merapi. Satu pertanyaan tak terlupakan yang dilontarkan oleh sejawat saya setelah sejawat saya tersebut mengetahui saya ke Merapi

“Kok lo nekad ke Merapi pas mau UKDI? Emang lo dibayar berapa sama MER-C?” tanyanya. “Gue pengen pre test UKDI di dunia nyata. Bayaran dari MER-C besar banget ga terhitung, ga ada yang nyaingin, insya Allah buat tabungan di akhirat,” jawabku mantap.


dr. Safira Fannissa
Relawan Medis MER-C
http://www.republika.co.id