Jumat, 25 November 2011

Menyontek Bukanlah Pilihan


"eh Jul, nomor lima apa jawabannya?"
"bentar, nih lembar jawaban gw, keliatan kan?"
"yoi, ssssstttt... pengawas ngeliatin tuh..."
Berikut adalah sepenggal dialog pendek ketika seorang mahasiswa ingin menyontek disaat ujian. Ketika tugas dari dosen semakin menumpuk dan deadline tugas 'meneror' kita, apakah yang akan kita perbuat?
Pikiran dan gerakan semakin tak terkendali, pikiran kita sebenarnya mampu mengerjakan, namun hati kita berkata lain, 'nyontek sajalah'. Apa daya waktu tak mencukupi lagi dan akhirnya niat hati untuk nyontek nekat dilakukan demi sebuah nilai.

Ya, tidak perlu disanggah lagi kalau budaya menyontek sudah erat dengan kehidupan murid sekolah, mahasiswa, atau karyawan kantor. Menyontek disaat ujian, saat diberi pekerjaan rumah, atau saat membuat laporan keuangan kantor. Plagiarism merupakan masalah akut yang berbahaya bila dilakukan terus-menerus, selain menurunkan daya cipta otak kita, tapi juga bisa berdampak buruk bagi masa depan kita.

Sejak lama, institusi-institusi pendidikan Indonesia menerapkan aturan yang ketat dalam hal "contek-menyontek". Pemberian sanksi mulai tidak lulus mata kuliah, skorsing, dan bahkan di- 'DO' adalah sederetan ultimatum yang diberikan agar para pencontek jera. Namun apa daya ketika institusi harus mengawasi ujian mahasiswanya masing-masing yang jumlahnya puluhan sampai ratusan dengan berbagai metode 'menyontek' yang bermacam-macam.

Teknologi bukannya digunakan untuk kemajuan bangsa, namun menurunkan kualitas bangsa, bagaimana tidak, seorang mahasiswa dengan handphone berkamera 3 MP, dapat memfoto puluhan halaman textbook berisi rumus, kemudian dia gunakan untuk mengerjakan ujian closed book, belum lagi teknologi Bluetooth antar handphone, semakin memudahkan transfer 'jawaban' dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain dalam radius 40 meter.

Tujuannya hanya satu, yaitu menyontek untuk mendapat nilai bagus atau mendapat IP tinggi. Lantas, nilai atau IP mau diapakan kalau kemampuan diri sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut? Bukankah sama saja seperti kumpulan angka bermakna kosong? Makna nilai yang kita dapat bukanlah dari apa yang secara fisik terlihat, melainkan dari apa yang peroleh selama 'proses' mendapatkan nilai tersebut.

Menyontek bukanlah hal terpuji, selain membuat manusia menjadi malas berpikir, tapi juga menurunkan harkat kita sebagai manusia yang telah diberi akal budi oleh Tuhan, bukan?

Universitas-universitas di Indonesia termasuk ITB, menerapkan aturan yang keras bagi para plagiator mulai dari skorsing sampai DO. Namun demikian, makin hari, makin banyak saja plagiator-plagiator baru dengan modus-modus baru untuk mengecoh pengawas ujian. Ini berkaitan dengan budaya pelajar Indonesia yang masih memandang nilai dan ijazah sebagai orientasi belajar mereka. Tapi dengan alasan apapun, menyontek tetap tidak bisa dibenarkan. Seorang yang terbiasa menyontek di masa-masa awal sekolah dasar, akan terus membawa kebiasaan itu di masa pertumbuhan, bahkan hingga masa dewasanya jika tak ada perubahan yang betul-betul radikal dalam kehidupannya, misalnya pertobatan yang timbul setelah peristiwa hidup yang dianggap revolusioner dalam dirinya. Intinya, kebiasaan menyontek memupuk mental curang, tak percaya diri, oportunis dan mau enaknya sendiri.

Percaya atau tidak, inilah faktanya, di Monash University, Australia, kasus plagiarism dalam satu tahun ajaran hanya satu kasus, dan percaya atau tidak, pelaku kasus tersebut berasal dari Indonesia, hal ini tentu amat memalukan bagi negara kita , bukan? Menyontek memang sudah membudaya dalam masyarakat kita, namun bukan berarti kita terus mengembangkan budaya itu, seyogyanya mulai dini kita pebaiki diri kita untuk semakin percaya diri dan sadar bahwa nilai bukanlah segalanya, tapi yang utama adalah ‘proses’ belajar itu sendiri.

Universitas di Australia dan New Zealand sebagai contoh Curtin University dan Auckland University, telah menerapkan aturan yang sangat keras bagi para plagiator yaitu dengan penggunaan software TURNITIN (http://turnitin.com/static/index.html), yang dapat mendeteksi dan menilai tingkat plagiarism dari para mahasiswa terutama dalam tugas essay atau weekly report. Mereka tidak segan-segan untuk mengeluarkan mahasiswanya jika ketahuan menyontek tidak hanya dalam ujian namun juga dalam tugas. Apresiasi terhadap hasil karya individu amat diprioritaskan disini. Nilai yang didapat di raport atau di transkrip nilai, TIDAK menjamin bahwa Anda akan hidup sukses atau tidak, yang menjamin Anda hidup berhasil adalah diri Anda sendiri dan kemampuan Anda sendiri, banggakah kita jika mendapat nilai A hasil mencontek? Malukah kita kalau sebenarnya kita menipu diri kita sendiri atau bahkan menipu orangtua kita dengan hasil IPK 'semu'?


...what you’ve done today means a lot for you someday...
Sumber  http://www.kulinet.com