Oleh Hasan Basri
Tanjung MA
Dalam buku Asbabun Nuzul yang disusun oleh KH Q Shaleh dkk (1995) menukil
riwayat mengenai asbabun nuzul (sebab turun) surah al-Kahfi ayat 23-24.
"Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: Sesungguhnya aku
akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut); 'Insya
Allah'." (QS al-Kahfi [16]:23-24).
Suatu hari, kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi
Mu'ith menemui seorang pendeta Yahudi di Madinah untuk menanyakan kenabian
Muhammad. Lalu, kedua utusan itu menceritakan segala hal yang berkaitan dengan
sikap, perkataan, dan perbuatan Muhammad.
Lalu, pendeta Yahudi berkata, "Tanyakanlah kepada Muhammad akan tiga
hal. Jika dapat menjawabnya, ia Nabi yang diutus. Akan tetapi, jika tak dapat
menjawabnya, ia hanyalah orang yang mengaku sebagai Nabi. Pertama, tanyakan
tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi
kepada mereka. Kedua, tanyakan juga tentang seorang pengembara yang sampai ke
Masyriq dan Maghrib dan apa yang terjadi padanya. Ketiga, tanyakan pula
kepadanya tentang roh."
Pulanglah utusan itu kepada kaum Quraisy. Lalu, mereka berangkat menemui
Rasulullah SAW dan menanyakan ketiga persoalan tersebut di atas. Rasulullah SAW
bersabda, "Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok." Rasul
menyatakan itu tanpa disertai kalimat "insya Allah".
Rasulullah SAW menunggu-nunggu wahyu sampai 15 malam, namun Jibril tak
kunjung datang. Orang-orang Makkah mulai mencemooh dan Rasulullah sendiri
sangat sedih, gundah gulana, dan malu karena tidak tahu apa yang harus
dikatakan kepada kaum Quraisy. Kemudian, datanglah Jibril membawa wahyu yang
menegur Nabi SAW karena memastikan sesuatu pada esok hari tanpa mengucapkan
"insya Allah". (QS al-Kahfi [18]:23-24).
Dalam kesempatan ini, Jibril juga menyampaikan tentang pemuda-pemuda yang
bepergian, yakni Ashabul Kahfi (18:9-26); seorang pengembara, yakni Dzulqarnain
(18:83-101); dan perkara roh (17:85).
Mufassir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Kitab Jaami'ul Bayan menjelaskan,
"Inilah pengajaran Allah kepada Rasulullah SAW agar jangan memastikan
suatu perkara akan terjadi tanpa halangan apa pun, kecuali menghubungkannya dengan
kehendak Allah SWT.
Sungguh agung makna kata "insya Allah" itu. Di dalamnya dikandung
makna paling tidak empat hal. Pertama, manusia memiliki ketergantungan yang
tinggi atas rencana dan ketentuan Allah (tauhid). Kedua, menghindari
kesombongan karena kesuksesan yang dicapai (politik, kekayaan, keilmuan, dan
status sosial.) Ketiga, menunjukkan ketawaduan (keterbatasan diri untuk
melakukan sesuatu) di hadapan manusia dan Allah SWT. Keempat, bermakna
optimisme akan hari esok yang lebih baik.
Bagaimana jika kata "insya Allah" dijadikan tameng untuk
memerdaya manusia atau dalih untuk melepaskan diri dari tanggung jawab?
Sesungguhnya kita telah melakukan dua dosa. Pertama, menipu karena menggunakan
zat-Nya. Kedua, kita telah menipu diri kita sendiri karena sesungguhnya kita
enggan menepatinya, kecuali sekadar menjaga hubungan baik semata dengan rekan,
kawan, atau relasi. Wallahu a'lam.
sumber http://www.republika.co.id