Minggu, 01 Januari 2012

Siapa Bilang Orang Indonesia Ramah?


Status FaceBook yang sayatulis kemarin itu tidak mendapatkan tanggapan. Mungkin saya mengunggahnya sewaktu yang lain sedang sibuk. Padahal, sebenarnya pertanyaan itu menggelitik. Apalagi dilihat dari sudut pandang sosiologi misalnya.

Selama ini, kita didoktrin oleh guru-guru terutama sewaktu SD bahwa bangsa kita ini ramah. Benarkah?

Sewaktu berkunjung ke Bali misalnya, keramahan macam apa yang Anda dapatkan? Saya berkali-kali melihat di berbagai tempat wisata, para pedagang lebih ramah kepada turis asing daripada domestik. 
Kalaupun saya hendak mendapatkan keramahan itu, harganya mahal. Harus menyewa hotel berbintang minimal empat dengan menunjukkan kemakmuran kita barulah keramahan itu didapat.

Coba lakukan tes kecil. Ajaklah siapa pun yang Anda temui berkenalan (dengan catatan usia Anda sudah bukan ABG lho, karena di usia itu biasanya kita lebih terbuka). Di mana saja (di terminal, di dalam bus, di acara seminar, dll.). Hampir pasti Anda akan mendapatkan sikap defensif lebih dulu. Kalau pun orang itu mau diajak berkenalan, biasanya tampak enggan dan terpaksa. Apalagi lawan jenis.
:)
Saya berkali-kali mendapatkan pengalaman empiris bahwa keramahan orang Indonesia hanya ada di desa-desa atau kota-kota kecil. Sementara di kota-kota urban justru sulit didapat. Bahkan, semenjak Orde Baru tumbang, ada implikasi negatif yaitu konflik horizontal meruyak. Ditambah dengan pengkondisian adanya teroris berkeliaran, orang jadi gampang curiga pada orang lain yang tidak dikenalnya atau orang baru di lingkungannya.

Kondisi terbaik untuk berkenalan justru di seminar yang bersifat networking. Namun ada anomali besar saat ada acara bertajuk networking day yang dihadiri partner saya pekan lalu. Dalam acara yang digagas oleh sebuah radio tersebut, partner saya menyebutkan bahwa dirinya yang berhasil mendapatkan setumpuk kartu nama berkali-kali ditanya dengan heran oleh peserta lain, “Kok bisa sih dapat kartu nama sebanyak itu?” Partner saya memberi kesaksian bahwa kebanyakan orang (bahkan termasuk para pengisi acara yang terkenal) hanya berusaha mencari teman-teman yang dikenalnya dan tidak membuka diri berkenalan dengan orang-orang baru.

Sikap defensif bisa ditunjukkan dan tampak dengan banyak cara. Salah satu yang paling utama adalah gesture dan cara bicara. Tangan dilipat di depan dada (bahasa Jawanya “sedakep”) atau bicara sepotong-sepotong saat disapa/ditanya merupakan pertanda jelas secara psikologis yang bersangkutan defensif.

Satu pertanda lain yang jelas adalah acara televisi yang berpola ada aktor/aktris minta pertolongan dari sembarang orang di jalan. Bila ada yang mau menolong, maka akan diberi hadiah uang cukup besar. Biasanya, pertolongan yang diminta memang kepada orang yang juga tampak susah hidupnya, misalnya pedagang kecil. Sementara jenis pertolongan yang dimintakan biasanya juga agak tidak masuk akal. Misalnya mengantarkan aktor/aktris ke kota lain atau menjual seikat rambutan seharga Rp 100.000,00. Biasanya, dari sekian banyak yang dimintai tolong, hanya ada 1 yang mau menolong dengan ikhlas. Itu pun setelah mencari hampir seharian dan menemui puluhan -bahkan lebih- orang untuk dimintai tolong.

Bagi saya, kesemua itu merupakan pertanda jelas bahwa sebenarnya keramahan orang Indonesia patut dipertanyakan. Maka, marilah memulai dari diri sendiri dengan menjadi pribadi yang lebih ramah. OK?

http://lifeschool.wordpress.com