Kamis, 05 Januari 2012

Perjalanan Mahasiswi Terbaik Meski Hanya Memiliki Satu Kaki

foto wisuda UIN Jakarta
“Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”(QS. Al Baqarah [2] : 155)
Airmata para dosen jatuh. Standing applause di ruang teater Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) membahana. Di antara mereka sampai tidak ada yang sanggup berdiri.
Tiada kebanggaan dimiliki seorang dosen dan keluarga menyaksikan ujian hidup sesosok mahasiswi dengan predikat Indeks Prestasi (IP) tertinggi meski selama bertahun-tahun dihantam keterbatasan.

Sejarah telah tercatat. Melly dianugerahi alumni terbaik FIDKOM 2010 pada saat pelepasan Wisudawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kendati selama ini hidup dengan satu kaki. Sebelah kakinya harus diamputasi setelah penyakit kanker tulang menyerangnya di pertengahan kuliah.
Ya meski begitu, Melly tidak mau menyerah pada kenyataan. Ia mendapat gelar cumlaude jauh di atas para mahasiswa lainnya, termasuk mahasiswa yang kedua kakinya masih lengkap.
Melly akhirnya keluar setelah memberi pidato sambutannya di ruangan teater Profesor Aqib Suminto. Ia dipapah dengan kursi roda. Memang tidak ada lagi gerak enerjiknya, tapi semua mahasiswa UIN mengelu-elukan namanya.
Lebih dari Ahmadinejad ketika mengunjungi UIN Jakarta 2008 silam. Sedangkan beberapa dosen masih terdiam, hanya lelehan air mata turun dari keikhlasan hati melepas Melly dari UIN. Melly tersenyum, tangannya terkepal.
Di hatinya, ia puas berhasil membuktikan kepada semua orang bahwa jarak antara keterbatasan diri dan kecintaan terhadap ilmu lebih tipis dari kulit bawang!
Perjalanan Awal Melly
Nama aslinya adalah Nurmeilita. Tipikal mahasiswi berkerudung lebar yang tidak percaya bahwa hidup tidak bisa ditaklukan. Bahwa satu-satunya cara menaklukan ketakutan adalah dengan menghadapinya.
Sayyid Quthb berkelamin feminim yang menyatakan lebih baik mati daripada menyerah pada keterbatasan. Namanya kini tertanam pada seluruh mahasiswa FIDKOM. Bahwa Allah, Kita, dan Arti Sebuah Perjuangan adalah keniscayaan.
Alumni salah satu SMA Negeri favorit di Bekasi ini memang unik. Kalau banyak jebolan SMA memilih untuk kuliah di kampus umum, Melly lebih memilih kuliah di UIN. Itupun bukan di Fakultas Kedokteran, Sains, dan MIPA.
Ia memilih jalur Ilmu Dakwah dengan jurusan Konseling Islam. Dengan akal yang masih polos, banyak orang bertanya padanya, “Mau cari mati dengan gaya apa seorang siswa lulusan SMA masuk ke Fakultas Keislaman di UIN yang ketat dalam studi keagamaan. Modal Rohis kuliah di sini belum cukup. Hasan Al Banna bisa menjadi Sartre di UIN.”
Maklum kala itu UIN Jakarta mendapat kekhawatiran tingkat tinggi setelah para mahasiswa jurusan Akidah Filsafat di UIN Sunan Gunung Djati Bandung melakukan penistaan terhadap Allah.
Kala itu stigma kampus kami berubah dari Institut Agama Islam Negeri (sebelum menjadi UIN) diplesetkan menjadi “Ingkar Allah Ingkar Nabi”. Cibiran itu terasa betul. Lebih pedas dari cabai rawit sekalipun.
Melly kali pertama masuk UIN Jakarta pada tahun 2004. Memulai karir sebagai mahasiswa semester satu seperti pada umumnya: polos, manut kata senior dan pasrah mengikuti Program Pengenalan Studi dan Almamater (Propesa atau Ospek sebagaimana kita mengenalnya).
Saat tiba giliran bagi tiap mahasiswa baru memberikan pandangan tentang jurusan barunya di UIN, Melly tampil memberikan beberapa patah kata. Dari situ orang sudah berkesimpulan bahwa Melly bukan orang sembarangan.
Gaya bicaranya bukan seperti anak SMA. Ia sudah berani membeberkan bahasa-bahasa ilmiah di tiap kalimat pembukanya. Tampaknya ia sadar, ia bukan lagi anak remaja.
Detik-detik Menghadapi Ujian
Setelah berjalan satu tahun kedepan, Melly berkembang menjadi mahasiswi UIN yang berbeda. Kecintaannya terhadap ilmu membawanya menjadi mahasiswi yang melebihi usianya.
Melly seperti bukan mahasiswi UIN berumuran 19 tahun pada umumnya. Kecintaannya terhadap ilmu membuatnya sering terlihat nongkrong di perpustakaan ketimbang menghabiskan waktu di bioskop. Mengutak-atik isi buku tinimbang larut dalam pergaulan semu.
Nilai semester awalnya selalu di atas 3,5. Berkat kecerdasannya, sebagai presiden BEM (Sistem di UIN mengharuskan menyebut pemimpin BEM, dengan sebutan presiden bukan ketua) penulis mengamanahkannya untuk mengisi pos Departemen Keilmuan.
Sebuah departemen yang tentunya terhitung danger bagi tiap-tiap BEM di UIN. Departemen ini harus aktif mengadakan seminar, kuliah umum, pelatihan, hingga diskusi-diskusi mingguan yang temanya pun tidaklah ringan.
Selain tema keIslaman, beberapa kali kajian ini juga membahas tentang Pendekatan Rasional Emotif, Behavioris, hingga Logoterapi. Kami ingin mahasiswa memiliki frameworkseimbang antara kuat dengan spirit keislaman tapi tidak awam jika suatu saat dihantam oleh gagasan Barat. Dan Melly menikmati itu.
Ia memang sangat menyukai diskusi dengan nalar kritisnya yang tajam. Maklum Melly besar di Lembaga Dakwah Kampus, ia memiliki framework Islam yang cukup kuat untuk tidak begitu saja menerima pandangan di luar Islam.
Waktu berganti waktu hingga kemudian Melly mulai mengidap penyakit misterius. Teman-temannya tidak lagi melihatnya di kampus. Aura tidak sedap mulai meliputi perasaan kami semua. Kabar angin tidak begitu jelas memberitahu di mana keberadaan Melly saat itu.
Hingga kemudian kami mendapat informasi, Melly kini menderita kelumpuhan dalam arti sebenarnya. Ya mahasiswi penikmat panjat gunung itu terbaring tidak bisa kemana-mana.
Kakinya terdiam tak dapat bergerak, sedangkan di dalam kerudungnya kerontokan mulai meliputi mahkotanya satu per satu. Mata kami tercengang mendengar berita menyakitkan itu.
Kawan-kawan kami pun kemudian bergegas mengunjunginya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat. Setelah membuka pintu kamar, rekan-rekan sekelas Melly menutup mulut kecilnya.
Mereka jatuh haru berderai air mata melihat sosok gadis enerjik dan periang tersebut telah terkulai lemah. Sebagian civitas akademika mahasiswa Konseling Islam tidak mampu berkata apa-apa. Jiwa kami terbungkam.
Melly yang kami kenal sebagai mahasiswi solehah sedang diberi ujian mahadahsyat oleh Allah. Sampai-sampai kami beranggapan inikah akhir dari perjalanan hidup Melly? Melihat beratnya ujian yang ia alami.
Ketegaran Seorang Pecinta Ilmu Yang Pantang Menyerah
Uniknya, keharuan dari para sahabat dengan cepat ia tepis. Melly dengan gaya tomboynya menyadarkan kawan-kawan untuk tidak bersusah payah menangisi dirinya. Melly adalah tipikal wanita tegar, ia benci air mata.
Apalagi sengaja disuguhkan untuk dirinya. Bahkan berkali-kali Melly harus menyadarkan temannya bahwa ia tidak seburuk yang kami perkirakan. Walau Melly sadar betul kankernya bisa merenggut nyawanya sewaktu-waktu. “Tapi sumpah, Mel baik-baik aja kok.” ucapnya menyiratkan ia tidak ingin kita semua larut dalam kesedihan panjang.
Di tengah keterbatasan itu, ada cita-cita yang tidak ikut lumpuh seperti kakinya. Sekalipun kondisinya amat lemah, namun kecintaannya terhadap ilmu membuatnya tetap ingin melanjutkan kuliah.
Meski pada akhirnya, ia harus siap menganggung beban: bolak-balik ke perpus, naik lift dengan kursi roda, mengejar mata kuliah meski harus bertarung dengan harapan! Itu belum dihitung rasa sakitnya. Namun bukan Melly jika menyerah pada kenyataan. Ia telah berikrar untuk tidak menangis.
Keinginan terkuatnya adalah memberikan kado manis kepada Allah dan keluarga tercinta tentang makna terindah seorang pecinta ilmu. Meski tak berapa lama lagi ia hanya memiliki satu kaki. Beberapa kali ia sempat mendiskusikan skripsinya dengan penulis. Kala itu penulis sendiri sudah dalam tingkat akhir menyelesaikan kuliah.
Penulis memang memiliki pengalaman diskusi panjang dengan Melly. Menurut penulis, Melly adalah salah satu mahasiswi yang cukup berani hadir untuk diskusi dengan mahasiswa yang lebih senior.
Tidak hanya di situ, sebelumnya Melly sadar. Ia harus diuji kembali oleh beberapa nilai kuliahnya yang belum ia ambil di semester tujuh. Termasuk mata kuliah lainnya yang mesti mengulang di semester awal. Hingga jika ditotal keseluruhan ada tujuh mata kuliah yang harus ia ambil.
Bayangkan di tengah kondisi kaki tak bisa digerakkan, ia tetap rajin ke kampus menyelesaikan segala kekurangannya. Dan itu benar-benar dilakukannya lebih dari ikhlas, meski jarak Bekasi-Ciputat terlalu jauh bagi seorang perempuan yang diuji dengan keterbatasan.
Namun sekali lagi, kesabaran dan kekuatan memupuskan segala ketakutannya. Melly yakin Allah akan memperlakukannya dengan baik, jika ia selalu berusaha dan berdoa, meski ia kini berkursi roda.
Seiring berjalannya waktu, ujian Allah betul-betul menyentuh titik terlemah tubuhnya. Melly harus menerima kenyataan pahit bahwa dokter pengasuhnya di RSCM memberi tahu sang keluarga bahwa kaki si buah hati harus segera diamputasi.
Dengan penuh ketegaran, Melly memasrahkan dirinya kepada Allah. Aktifis dakwah kampus ini bersiap hidup dengan kaki pincang. Kanker bisa jadi adalah keladi yang menggagalkan kehidupannya. Tapi Melly paham betul bahwa kita harus selalu berbaik sangka kepada Allah. Melly boleh kecewa, tapi tidak untuk kecewa kepada Allah.
Setelah operasi selesai dilaksanakan, Melly sadar dari pembiusannya. Dengan kekuatan mentalnya, ia memberanikan diri mengangkat kepala untuk melihat kakinya. Melly tersenyum meratapi sebelah kakinya telah menghilang.
Namun ia tetap tidak mau menyerah. Bagaimanapun hidup harus terus berlanjut. Tak berapa lama ia kemudian mengerjakan segala tugas kuliah di pembaringan RSCM. Ya tujuh mata kuliah yang belum sempat usai ia ambil, karena keburu menjalani operasi. Semuanya berjalan beriringan di tengah rintihannya menahan rasa sakit pasca operasi.
Setelah semua mata kuliahnya selesai, ujian kembali datang. Ia ingat masih ada satu lagi hutangnya kepada kampus, yakni membuat skripsi. Subhanallah lagi-lagi Melly tak putus asa.
Ia sama sekali tak berniat melempar handuk lalu memilih berkutat dengan rasa sakitnya. Bayangkan Melly pun juga tidak memelas kepada pihak kampus agar ia dibebaskan dari skripsi. Inilah yang melatarbelakangi penulis tidak menyesal memberinya posisi Departemen Keilmuan kepadanya saat penulis menjadi Presiden BEM.
Bahkan di BEM, Melly juga ikut membantu bidang departemen yang lain. Dalam acara training motivasi, safari dakwah, mabit, pelatihan, ta’aruf mahasiswa baru, dan sebagainya. Melly selalu hadir di situ.
Ibarat kata Melly selalu memberi semangat jika BEM kami “kurang darah”. Sampai di situ, kami sama sekali tidak terfikir tentang bakal ujian apa yang akan menimpanya. Tidak ada satupun tanda-tanda mengarah kesana.
Kado Terindah Dari Allah
Akhirnya dengan kerja kerasnya selama ini, Melly berhasil menyelesaikan skripsi dengan baik. Semuanya dilakukan di kasur pembaringan, lengkap dengan rasa sakit yang terus menggerogoti tubunya. Keletihan pasca operasi dan proses menjalani Kemoterapi tiap harinya.
Melly kemudian menjalani Sidang Munaqosyah. Di hadapan para penguji, ia menjelaskan tentang penelitiannya. Dosen tidak merasakan betapa di tengah presentasinya, Melly sebenarnya menahan rasakan sakitnya. Senyum Melly membuat orang lupa bahwa ia masih menjalani Kemoterapi secara intens di RSCM.
Semua keluarga hanya bisa takjub dalam hati betapa Melly begitu trengginas menjawab pertanyaan penguji. Mereka bangga bukan karena Melly adalah mahasiswi pintar, mereka juga bukan bangga karena sang buah hati adalah bidadari cinta yang berhasil bertahan di tengah kondisi tak berperi, tapi mereka bangga telah dikaruniai seorang buah hati yang kuat imannya dan tak pernah sekalipun terlontar dari mulutnya tentang arti kekecewaannya kepada Allah.
Sampai pada waktu setelah selesai sidang, ia tidak sadar bahwa nilai skripsinya tergolong tinggi. Baginya, ia sudah cukup bersyukur dengan bisa menyelesaikan skripsi ini. Namun sapa nyana, logika seorang Melly masih jauh di bawah rencana Allah.
Kejutan itu datang, saat ia diwisuda. Melly mendapat kabar gembira bahwa ia telah berhasil mencatatkan dirinya sebagai mahasiswa dengan indeks prestasi tertinggi di fakultas (cumlaude) dan berhak atas gelar alumni terbaik.
Ya mahasiswi satu-satunya dalam sejarah UIN yang mendapatkan gelar mahasiswa terbaik meski hanya memiliki satu buah kaki. Satu-satunya mahasiswa yang tidak memberi ruang bagi air mata untuk menyerah.
Melly adalah bukti bahwa tauhid bukan sekedar kata kunci, tapi juga kata kerja. Kerja nyata untuk membangun harapan kepada Allah setelah diuji dengan pemaknaan.
Saya mengucapkan tasbih berkali-kali. Bagaimana mungkin orang yang saya kenal hidup dengan keterbatatsan, meski bolak-balik RSCM-Ciputat untuk Kemotrapi, kendati menahan sakit dalam mengerjakan skripsi, harus tetap semangat walau harapan diguncang kenyataan.
Melly bisa memiliki IP cumlaude dan menduduki peringkat IP tertinggi Se-FIDKOM serta yakin Allah di belakang ini semua. Melly adalah kata. Fragmentasi keterpecahan rasa takut untuk menjadi energi. Jangan pernah katakan tidak pada keterbatasan.
Ketika saya mengkonfirmasi kepada Ketua Jurusan apakah gelar terbaik itu hanyalah kado dari Dekanat atas jerih payahnya selama ini. Ketua Jurusan itu menampik dengan keras. Ia mengatakan bahwa Melly lulus murni, tanpa ada bantuan keringanan nilai atas simpati dosen meski secuil.Subhanallah. Inikah janji Allah atas seorang pecinta ilmu yang mengerahkan segala daya ikhtiarnya hanya kepada Allah.
Kita mungkin kemudian mencoba bertanya, bagaimana dengan masa depan Melly seterusnya. Sebagai seorang wanita, adalah lumrah bahwa mungkin cinta adalah kata yang jauh jika melihat kondisinya.
Saat itu saya membuka HP dan mengirim pesan selamat kepadanya. Saya kemudian malah terkejut saat diberi tahu bahwa ada bonus dari Allah untuk dirinya. Bahwa ternyata ia telah menikah sesaat setelah dirinya diwisuda.
Seorang dosen dari IPB telah berhasil memikat hatinya.Subhanallah dengan kondisi seperti ini, Melly masih sanggup menikah dan yakin bahwa keadilan Allah adalah nyata.
Saya kemudian bertanya-tanya inikah yang dijanjikan Allah tentang orang-orang yang bersabar, tentang kisah orang-orang yang memakai akalnya untuk berfikir, bukan untuk kecewa. (Pz)
Sumber http://muslimah.eramuslim.com