Kamis, 26 Januari 2012

Profesor Psikologi Terkenal Belanda Palsukan Data Bertahun-tahun


Prof. Diederik Stapel
Dunia pengetahuan Belanda dikejutkan dengan kasus penipuan yang dianggap terbesar dalam sejarah. Diederik Stapel, yang saat ini adalah mantan guru besar psikologi sosial, menyusun data-data dan penelitian palsu yang diterbitkan dalam puluhan artikel di majalah ilmu pengetahuan. Demikian lansir Radio Nederland (01/11/2011).


Guru besar psikologi Universiteit van Tilburg itu dinonaktifkan sejak awal September lalu, setelah ia terbukti menggunakan data palsu untuk publikasi ilmiahnya.

Hasil penyelidikan menunjukkan, Stapel, yang juga mengajar di Universiteit Groningen dan Universiteit van Amsterdam, ternyata mempublikasi tiga puluh tulisan di majalah ilmiah dengan data-data palsu. Saat ini penyelidikan juga dilakukan terhadap 130 artikel lainnya di majalah ilmiah dan 24 tulisan di buku-buku ilmiah.

Pim Levelt memimpin komisi yang menyelidiki kasus penipuan ini. Ia mengatakan kasus itu sangat besar, membingungkan dan merusak citra Belanda sebagai negara ilmu pengetahuan. Kasus ini tentu saja menarik perhatian dunia internasional.

Dibuang
Stapel antara lain terkenal di dunia sehubungan penelitiannya yang menyimpulkan bahwa orang yang mengkonsumsi daging akan menjadi lebih agresif. Selain itu ia juga menerbitkan artikel dalam majalah pengetahuan Science, soal eksprimen yang menyatakan orang cenderung melakukan tindak diskriminasi jika berada dalam lingkungan yang banyak sampahnya.

Sekarang penyelidikan-penyelidikan itu dan hasilnya bisa dibuang ke tempat sampah.

Para ilmuwan Belanda terkejut dengan skandal penipuan ilmiah ini. Universiteit Tilburg dan Groningen melaporkan kasus itu bersama. Sementara Universiteit van Amsterdam akan meninjau kembali apakah mereka mencabut gelar doktor yang diberikan kepada Stapel.

Terkejut
Ketua Persatuan Universitas Belanda, Sjibolt Noorda terkejut dengan besarnya skala kasus penipuan tersebut.

"Tak dapat saya mengerti, laporan yang baru diterbitkan tersebut, bahwa seseorang menipu secara sistematis. Ini bukan untuk waktu yang sebentar saja. Kejadian ini berlangsung selama bertahun-tahun dan ia melakukan eksperimen ini juga selama bertahun-tahun."

Stapel mempersiapkan penelitian bersama seorang asistennya dengan sangat cermat. Dan akhirnya membawa daftar pertanyaan seperti pengakuannya ke sekolah-sekolah. Beberapa pekan sesudahnya ia mempresentasikan penelitiannya itu di hadapan karyawannya. Jika ada seseorang yang menanyakan daftar pertanyaan itu, maka Stapel mengaku tidak memilikinya lagi, karena tidak bisa menyimpan semuanya.

Penyalahgunaan kekuasaan
Tapi penipuan Stapel tidak hanya mengenai hasil penelitian saja, kata penyelidik Levelt. "Stapel dengan kekuasaan yang dimilikinya mengintimidasi peneliti-peneliti muda. Jika ada seseorang yang terus bertanya-tanya maka ia mengatakan: 'Saya punya hak untuk dipercaya.' Namun yang lebih parah ia dapat berkata: 'Saya jadi ragu, apakah anda bisa mendapatkan promosi.'"

Menurut Levelt, penipuan hanya dilakukan oleh Stapel sendiri.

Komisi menyatakan para peneliti dan promovendi lainnya tidak terlibat atau tidak mengetahui tentang penipuan ini. Mengapa penipuan ini bisa berlangsung begitu lama? Komisi menyatakan terutama karena kerja Stapel yang rapih, manipulatif dan penyalahgunaan kekuasaan.

Namun universitas-universitas menyadari bahwa mereka juga kurang memperhatikan faktor-faktor ini. Diskusi pasti akan memanas. Karena bagaimana seseorang dapat melakukan praktek-praktek seperti itu dan tidak ada rekan kerjanya yang menyadari atau membongkar hal ini, dapat dikatakan memalukan dunia internasional.

Sementar itu Stapel sendiri menyesal. "Saya sadar, bahwa dengan kelakuan ini saya mengacaukan dan menimbulkan kemarahan di antara kolega dan memalukan dunia psikologi sosial. Saya malu dan saya menyesal," kata Stapel.

Ia juga menyatakan bahwa dirinya telah menerima bantuan untuk mencari tahu mengapa hal ini semua bisa terjadi.

Kaget
Farah Mutiasari Djalal, mahasiswa S2 Psikologi Sosial Universitas Tilburg asal Indonesia, mengonfirmasi bahwa para mahasiswa terkejut, kecewa sekaligus marah mendengar kabar penipuan Stapel. “Soalnya data-data yang dipalsukan Stapel dipakai oleh beberapa mahasiswa PhD dalam penelitian mereka,” tutur Farah. “Akibatnya, sejumlah kandidat PhD tertunda kelulusannya karena data mereka tidak shahih.”

“Dosen-dosen juga shock,” tambah Farah. “Mereka kecewa, nggak nyangka. Bahkan ada yang sampai menangis.” Toh, menurut Farah, dosen-dosen Universitas Tilburg lebih memilih bungkam jika mahasiswa — atau “pihak luar” – mempertanyakan kasus ini.

Kepercayaan
Untungnya, tidak ada mahasiswa Indonesia yang jadi korban. “Sampai sekarang sih, setahu saya, nggak ada mahasiswa Indonesia yang menggunakan data-data Stapel,” kata Inggar Larasati, kutip
Radio Nederland (02/11/2011).

Inggar menyayangkan skandal ini, “Apalagi profesor Stapel kan lumayan terkenal di dunia akademis Belanda.”

Akankah ulah Stapel ini merusak kepercayaan mahasiswa asing terhadap sistem pendidikan Belanda? “Kalau dipikir-pikir sih, iya,” jawab Inggar. “Karena reputasi Universitas Tilburg yang sebenarnya bagus, jadi tercoreng skandal ini.”

Di lain sisi Inggar bangga skandal ini terbongkar. “Dan yang membongkar mahasiswa! Ini menunjukkan sisi positif dari dunia akademis Belanda: mahasiswa berani dan diberi ruang untuk mengkritik dosen mereka, dalam hal ini untuk membongkar penipuan seorang guru besar. Artinya, hampir tidak ada hirarki dalam sistem pendidikan di Belanda. ”*

Sumber  http://www.hidayatullah.com/