Sabtu, 21 Januari 2012

Eksklusif Hana Tajima: Busana Muslim Itu Universal

Frustasi dengan ketiadaan variasi, sejumlah kaum muda Muslim Inggris – sebagian besar mualaf – mencurahkan diri dengan mendesain pakaian sendiri dan membuka jalan tengah, yakni menghadirkan busana yang manis dan elegan, tak hanya indah namun juga Islami. Salah satu nama  adalah Hana Tajima Simpson.


Ia memeluk Islam pada usia 17 tahun ketika menimba ilmu tentang fesyen di Exeter. Darah Jepang yang mengalir dari ayahnya dan Inggris dari sang ibu membuat Hana tumbuh dengan budaya campuran kental. Kedua orangtuanya pun seniman, sehingga lingkungan penuh kreativitas bukan barang baru baginya.

Nama Hana Tajima dengan cepat menyeruak di kalangan pecinta busana Muslim setelah blognya, Style Covered, mendunia. Kini, blog Hana sedikitnya didatangi 2.000 pengunjung dari seluruh dunia per hari. Pengunjungnya terutama wanita yang mencari tips dan ide bagaimana tampil anggun, bergaya tapi tetap santun dengan jilbab.

Keputusan untuk terjun mendesain didorong perjalanan pribadinya menuju Islam. Pertama kali berjilbab ia merasa sangat kesulitan. Dalam berbagai kesempatan wawancara ia mengaku pernah kehilangan kepribadian karena meniru apa yang dikenakan teman Muslimnya. Saat itu ia menganggap abaya hitam khas Arab adalah satu-satunya pilihan dan sebuah keharusan. Butuh waktu dan eksperimen sebelum ia menemukan satu gaya yang membuatnya nyaman.

Penampilan dan gaya berbusana Hana bisa dibilang fresh dan sangat anak muda. Hana gemar memadumadankan pakaian yang sebenarnya tak asing baik bagi Muslim atau non-Muslim, mulai blazer, celana palazzo, jins pipa lebar, maxi dress, sepatu bot gaya oxford, pump heel, bahkan gaun milik sang nenek. Kelebihan yang patut diacungi jempol adalah kejelian dan kecerdasan estetika saat mengombinasikan warna, tekstur dan corak busana koleksinya. Unik, tapi tidak norak.

Keunikkan Hana ditangkap oleh media  arus besar. Beberapa kali wajahnya menghiasi media papan  atas seperti Independent (Juli,2010), BBC (Mei, 2010), dan juga media fesyen sekelas Elle, Vogue (Mei, 2011), dan jurnal kritik fesyen Inggris terkemuka, Address. Dalam Elle edisi Kanada, (April 2011)  Hana bahkan disandingkan—bila tak bisa dibilang ditandingkan—dengan desainer pemberontak asal Iran, Tala Raasi yang dikenal dengan desain-desain bikininya dalam warna ekspresif.

Kini di London Utara, ia bersama suaminya, Nibras, mendirikan label bajunya sendiri. Maysaa, nama label tersebut, yang dalam bahasa arab memiliki arti 'berjalan dengan martabat', sudah melayani konsumen onlinenya lebih dari satu setengah tahun. Dalam obrolan melalui surat elektronik dengan Republika Online, Hana memberikan pandangannya:

Bisakah anda ceritakan sekilas mengenai peralihan anda menjadi Muslim?
Saya selalu tertarik terhadap cara orang memahami dunia. Saat tahun pertama kuliah, ketika itu pula saya memiliki teman Muslim. Saya belajar filsafat dan dalam waktu senggang saya membaca banyak buku tentang agama. Sejauh yang saya ingat saya selalu meyakini keabadian, asal dari mana kita bermula. Ketika saya membaca Al Ikhlas pertama kali, saya berpikir surat itu sangat sempurna dan memiliki penjelasan indah tentang keabadian tersebut. Semakin saya banyak membaca berbagai buku tentang Islam semakin saya temukan kebenaran yang segelombang dengan saya, hingga akhirnya tiba pada titik ketika saya tidak bisa lagi berkata bahwa saya bukan Muslim.

Pada mulanya saya berpandangan rigid terkait ibadah, hingga saya merasa seperti memiliki daftar panjang yang tak bisa saya lakukan. Saya bisa begitu sangat ketat demi 'tidak gagal' dalam ibadah sehingga hampir seperti obsesi. Kini pun saya masih berhati-hati untuk tetap menjalankan kewajiban saya, namun dalam kehidupan banyak sesuatu yang terjadi yang mungkin menghalangi. Bisnis terutama, bisa memakan waktu berjam-jam dan kita bisa terjebak dalam permainan kejar-kejaran hingga sepanjang hidup. Jadi ini adalah persoalan keseimbangan yang tepat dan sekaligus memahami dengan persis mengapa kita melakukan itu. Begitu sampai pada pemahaman tersebut, saya tak lagi menganggap ibadah sekedar ritual atau kebiasaan, itu sesuatu yang berarti.

Anda menuturkan langsung mengenakan jilbab di hari pertama bersyahadat. Apa yang membuat anda memutuskan itu mengingat banyak mualaf wanita kadang membutuhkan waktu?
Saya merasa tak seperti membuat keputusan sama sekali karena begitu pas dengan apa yang saya pahami tentang Islam. Yang saya rasakan saat itu, berjilbab adalah bagian dari kebenaran dan dorongan itu demikian kuat hingga melampaui kecemasan saya soal mengenakan jilbab itu sendiri. Saya tidak bilang itu mudah, namun bagi saya itu jauh lebih mudah ketimbang tak melakukan apa yang saya yakini seharusnya dilakukan.

Apa yang anda rasakan terhadap diri anda dan lingkungan (keluarga, teman) setelah mengenakan jilbab? Apakah anda pernah menemui kesulitan?
Keluarga saya dari pertama hingga kini sangat mendukung. Mereka bisa melihat saya bahagia dan khususnya saat ini ketika saya kian mapan dan mendalami Islam, apalagi ketika saya meleburkan dengan kepribadian saya, mereka tulus bangga kepada saya.  Sebagian besar teman dekat saya masih tetap dekat, beberapa menghilang begitu kita bergerak di lingkaran berbeda. Memang, saya beberapa kali terlibat dalam tipe obrolan 'apa sih yang kamu perbuat?', namun mereka juga berusaha memahami. Begitu mereka mampu melihat bahwa saya tak kehilangan kepribadian, mereka sepenuhnya menerima saya apa adanya.

Saya melihat anda mendefinisikan 'gaya anda' (my style) lewat blog dan Facebook. Apakah itu gaya Anda pertama kali ketika berjilbab ataukah Anda pernah mengalami proses transformasi dalam berbusana dengan jilbab?
Saya tidak berpikir transformasi adalah kebenaran hanya dalam mengenakan jilbab. Selama hidup saya mengalami banyak perubahan gaya, membuat (banyak) kesalahan hingga menemukan cara untuk menjadi diri sendiri. Perubahan terbesar adalah ketika saya mengenakan jilbab. Saat itu saya sama sekali tak tahu apa yang saya lakukan sehingga mengadopsi mentah-mentah cara berpakaian yang bukan diri saya. Butuh waktu agar bisa cukup percaya diri untuk melihat lebih ke dalam diri saya hingga sampai pada penemuan gaya baru ini. Terus terang itu proses menyenangkan dan salah satu langkah dalam kurva pembelajaran.

Anda berkata  gaya dan kesantunan tak bisa dipisahkan dalam desain. Namun juga ada elemen penting lain dalam Islam yakni rendah hati dan tak berlebihan (dalam hal membelanjakan uang pula), apa pandangan anda tentang itu?
Saya sepenuhnya setuju. Bisa dipastikan saya tak memiliki pribadi fesyen. Saya tidak tahu apa yang sedang ngetren, atau tren apa yang bakal meledak nanti. Saya pikir fesyen dan gaya adalah dua hal berbeda. Fesyen berlebihan dan mengutamakan konsumerisme dan semua pada satu hal, berteriak 'lihat saya, lihat saya'. Namun gaya, dalam pemahaman terbaik saya, adalah cerminan luar dari  diri anda.

Dari prespektif estetika saya juga anti-gemerlap. Saya suka mengenakan sesuatu karena berarti dan bukan karena ada nilai uang. Itu benar-benar konyol, maksud saya uang bisa jadi milik siapa pun dan itu tak dimiliki berdasar luar biasanya dan berharganya anda. Setiap orang memiliki jiwa. Itu hal paling penting dan itu yang seharusnya kita ekspresikan.

Ada banyak cara membuat seorang wanita merasa cantik tanpa membuat ia terlihat seksi. Seluruh konsep bahwa menjual keseksian hanyalah alat yang berlebihan dalam industri fesyen. Wanita bukan tentang jelek atau seksi, melainkan lapisan-lapisan cantik yang 'rindu' dikeluarkan dari dirinya.

Kini adan memiliki label MAYSAA  Apa misi dan pemikiran kreatif dibalik label tersebut? Apa yang anda Tawarkan?
Saya tidak benar-benar berpikir 'ini yang pasar inginkan' melainkan inilah yang saya ingin buat. Saya terobsesi dengan batasan kabur dan mencoba membebaskan dari definisi di dalam istilah industri. Saya membuat pakaian untuk semua wanita, bagi siapa pun yang merasa memiliki koneksi dengan karya saya. Ini sangat pribadi dan spesifik dan bukan hanya karena saya Muslim. Dan bila garis busana saya panjang dan gayanya longgar, itu lantaran menurut saya indah. dan tentu karena saya sendiri pun ingin mengenakannya

Anda posisikan karya anda bukan hanya untuk wanita Muslim tapi juga non-Muslim. Bagaimana anda membuat konsumen tertarik

Dengan ambiguitas. Saya cinta ambiguitas yang mungkin tak hinggap di wajah-wajah sebagian besar pemasaran. Saya paham pentingnya memiliki istilah seperti 'fesyen Muslim' dan 'fesyen jilbab', tapi sebisa mungkin kami menggantukan terhadap pakaian adalah yang benar-benar kami promosikan. Busana Muslim sejatinya bersifat universal.

Islam adalah agama yang luar biasa majemuk dalam hal kebudayaan. Saya cinta ketika Idul Fitri kita bisa menyaksikan variasi berbagai busana. Terlahir dari dua campuran kebudayaan tentu berpengaruh terhadap desain saya. Tak ada manfaat bila kita mendebatkan antara tradisi budaya dan tradisi Islam. Maksud saya akan sulit bila dilihat dari sudut pandang itu. Namun jika tradisi itu adalah bagian dari diri kita maka akan timbul berbagai ekspresi alami yang luar biasa.
Sumber http://www.republika.co.id/