Sabtu, 14 Januari 2012

Solusi Bodoh dan Zalim Ala Garuda Indonesia


Saya pemegang tiket Garuda Indonesia kelas ekonomi untuk kepulangan Jakarta pada 13 Januari 2012 dari Surabaya dengan kode penerbangan GA 321 pukul 15.30 WIB.

Ketika membeli tiket itu di Bandara Juanda, beberapa saat setelah mendarat dari Jakarta dengan penerbangan GA 310 pada 12 Januari, saya bersama dengan seorang teman bahkan telah sekaligus memesan seat yang berdekatan. Seluruh bukti print out ada di tangan saya.


Pada hari keberangkatan, yaitu tanggal 13 Januari, beberapa jam sebelum penerbangan kami mendatangi kantor Garuda di Hotel Bumi Surabaya untuk city check in. Tetapi betapa mengejutkan karena ternyata di komputer Garuda tiket saya dinyatakan berstatus flown, sudah terpakai sehari sebelumnya pada jam yang sama.
Kami dilayani oleh staf bernama Amira dengan mondar-mandir, mungkin, berkonsultasi dengan atasannya. Saya menunjukkan boarding pass penerbangan tanggal 12 Januari dari Jakarta serta identitas yg diperlukan, berikut kartu keanggotaan GFF Garuda Indonesia-Citi.
Setelah sekitar dua jam tidak jelas solusinya, dan waktu semakin mepet untuk penerbangan sesuai jadwal tiket, saya kemudian dipersilakan bertemu dengan Ibu Eryn.
Namun hampir sama dengan bawahannya ia juga awalnya berulang-ulang menyatakan keheranannya dan bertanya apakah saya atau teman saya tidak pergi ke Bandara pada jam itu.
Ia pun menjelaskan bahwa petugas yang meloloskan tiket saya tersebut sedang tidak bertugas. Saya katakan, tidak penting bagi saya siapa orang itu. Karena yang saya ingin dapatkan adalah bagaimana sistem di korporasi ini menyelesaikan persoalan yang menimpa saya sebagai pelanggan akibat kecerobohan operasional mereka.
Saya beberapa kali bertanya adakah unsur kesalahan saya dalam soal ini. Ibu Eryn selalu menegaskan kesalahan bukan di pihak saya.
Lantas ia menelepon sesorang, yang belakangan saya ketahui adalah Bapak Putut Avrohandri, dari bagian customer service di Bandara Juanda. Dalam pembicaraan tersebut, Ibu Eryn tampak membenarkan saran dari orang yang diajaknya bicaranya itu. “Ya saya juga suggest begitu,” ujarnya.
Yang dimaksud suggest tersebut adalah: Saya harus membeli tiket baru untuk bisa kembali ke Jakarta. Dengan agak emosional saya mengatakan bahwa solusi yang ditawarkan itu tidak mencerminkan solusi dari level manajemen yang punya otoritas.
Seorang staf paling rendah pun di kantor itu akan dengan gampang menawarkan ide tersebut tanpa berpikir. Ibu Eryn berjanji jika nanti masalah ini sudah bisa ditelusuri pihaknya akan mengirimkan refund kepada saya.
Saya timpali, bahwa itu juga solusi yang bodoh. Kalau Garuda serius mau membantu dengan menerbitkan tiket baru tanpa saya harus membayar Garuda tidak akan rugi sedikit pun, toh suatu saat dana refund itu akan kembali ke Garuda juga.
Dalam hal ini saya ingin memberi catatan terhadap apa yang terjadi, sebagaimana juga sudah saya sampaikan pada Bapak Putut di Bandara Juanda.
Pertama, telah terjadi kesalahan ganda yang fatal oleh Garuda dengan menerbangkan orang dengan identitas yang berbeda sekaligus tidak pada jadwal yang sesuai dengan tiket. Akibatnya orang yang berhak atas tiket tersebut dirugikan.
Kedua, Garuda sebagai korporasi besar ternyata tidak memiliki sistem/mekanisme memperbaiki kesalahan dan membuat solusi untuk menyelesaikan permasalahan. Terbukti tidak ada yang bisa dilakukan Garuda. Tidak ada tawaran untuk menyediakan tiket pengganti.
Saya akhirnya bisa pulang karena saya membeli tiket baru untuk flight GA 329. Itu berarti Garuda melakukan kezaliman karena tidak ada niat baik untuk menolong walaupun pihaknya telah merugikan customer. Customer disuruh untuk menyelesaikan sendiri masalahnya, padahal yang membuat masalah itu adalah Garuda.
Kepada Redaksi, terimakasih atas dimuatnya surat pembaca ini dan saya berharap para pelanggan Garuda dapat mengambil pelajaran dari kejadian ini.
Semoga Garuda Indonesia sebagai flag carrier milik nasional dapat memperbaiki kinerjanya.
Ahmad Fadillah
Karawaci ,Tangerang Banten
Sumber  http://web.inilah.com