Minggu, 29 Januari 2012

Bangsa Kehilangan Rasa Malu

Ibarat mobil remnya sudah blong. Tak ada lagi cara menghentikan laju mobil. Sedangkan sopirnya terus menekan pedal gas. Kencang. Tidak peduli mobil menabrak apa saja dan siapa saja didepannya. Menghancurkan apa saja. Sopir terus menginjak pedal gas, sampai mobil hancur lebur berkeping, dan sopirnya mati. Baru berhenti.


Itulah kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini. Terus melaju tanpa batas. Terus berlari kencang, tanpa kendali. Melesat bagai meteor. Karena tidak ada lagi rasa "khauf" (takut). Rasa takut sudah pupus. Diganti dengan keinginan dan ambisi terhadap kenikmatan duniawi. Indonesia seperti dikatakan oleh Busyro Muqaddas, sebagai : "Bangsa hedonis".

Keserakahan, ketakamakan, kemaksiatan, kesesatan, kedurhakaan, dan segala penyimpangan menjadi "aqidah" mereka. Tidak ada lagi aturan hidup yang menjadi pegangan. Agama (Islam) yang mereka anut, sudah mereka tinggalkan.

Padahal, sekarang di seluruh daratan Eropa, perayaan Natal dan Tahun Baru, di tengah lelehan salju Desember yang beku, kehidupan mereka sangat buram. Satu-satunya negara yang rakyatnya masih mampu berbelanja dan merayakan  Natal dan Tahun Baru, hanyalah Jerman.

Selebihnya, negara-negara di zona Eropa, rakyatnya hanya duduk di depan tungku pemanas di rumahnya. Sambil merenungi kehidupan mereka yang bangkrut. Mereka yang menjadikan "Tuhannya" kenikmatan dunia sudah berakhir.

Negara yang paling tua lahirnya imperialisme dan kapitalisme yaitu Portugal dan Spanyol, serta tempat lahirnya kapitalisme (demokrasi)  paling tua, Yunani, sudah jatuh tersungkur, masuk ke jurang kemiskinan,  tidak akan bangkit selamanya. Negara-negara sekuler yang menuhankan kenikmatan materi dan duniawi itu, sekarang hanya dapat merenungi nasibnya. Separuh rakyatnya menganggur, dan kehilangan pekerjaan, akibat krisis utang dan ekonomi.  Bukan hanya itu. Uni Eropa terancam bubar.

Mata uang uero sudah tidak lagi layak menjadi alat tukar. Negara-negara zone euro ingin kembali ke mata uang mereka masing-masing. Ini semua menjadi indikator tempat lahirnya bagi para pemuja syahwat dan kenikmatan sudah tamat. Kanselir Jerman, Angela Merkel, sudah tidak mungkin mau melakukan "bail out" bagi negara-negara Eropa yang sudah miskin. Angela Merkel yang berjanji mau menggelontorkan dananya sebesar 400 miliar euro, akhirnya meninggalkan janjinya itu, karena Merkel harus berhadapan dengan rakyatnya.

Bandingkan. Indonesia yang "income" perkapita rakyatnya masih dibawah $ 1000 dollar,  saat merayakan Natal dan Tahun Baru, melebihi negara-negara yang maju, yang "income" perkapitanya sudah lebih $ 10.000 dolar.

Pesta kembang api membahana diangkasa menyambut tahun baru Masehi. Di kampung yang miskin di pinggiran Jakarta, rakyat yang membakar petasan tak henti-henti. Memekakkan telinga. Hiburan yang disuguhkan menyambut tahun baru, sangat luar biasa, dari pusat ibukota sampai kampung-kampung di Padeglang, yang dekat dengan gunungpun menyambut tahun baru. Dari pesta yang diiringi orkes dangdut dengan penyanyi mesum, sampai hotel-hotel yang mewah, tempat peristirahatan semuanya menyambut tahun baru Masehi.

Tentu yang mengherankan dari mana uang yang mereka dapatkan itu? Begitu banyak orang yang dengan "enteng" membuang uang mereka, hanya sekadar merayakan Natal dan Tahun Baru. Apakah mereka yang merayakan Tahun Baru, itu adalah para pekerja keras yang sukses, dan orang-orang yang benar-benar berduit? Inilah pertanyaan kunci. Untuk melihat kehidupan bangsa ini secara anatomis?

Sebenarnya, ekonomi Indonesia tumbuh diatas 6,5 persen, hanya faktor konsumsi di dalam negeri. Bukan karena meningkatnya eksport dan perdagangan luar negeri. Artinya, setiap bulan puluhan ribu mobil yang terjual, setiap bulan ratusan ribu motor yang terjual, setiap bulan ratusan rumah estate dan apartemen yang terjual, semuanya dengan kredit.

Hotel-hotel terus tumbuh pesat dengan tingkat hunian yang tinggi, resort-resort tempat istirahat orang kaya terus dibangun, ritel dari manca negara terus merambah sampai ke kampung-kampung, yang menghancurkan pedagang kecil, dan pembelinya terus meningkat.

Barang kebutuhan sekunder terus membanjiri pasar, dan tidak sepi pembeli. Karena itu, kemudian pihak asing, meningkatkan status "grade investment" bagi Indonesia. Artinya, negara yang tetap aman menaruh kapital dan modal. Indonesia dianggap aman untuk membayar utang.

Tetapi, jangan lupa bahwa negeri ini, negeri yang bangsanya sudah kehilangan rasa malu. Negeri yang yang pemimpin dan rakyatnya urat malunya putus.

Lihat, negeri ini yang menganut sistem ideologi Pancasila, korupsi sudah menjadi "habit" para penyelenggara negara dan pejabat publik. Korupsi seperti sudah seperti  penyakit yang tidak mungkin lagi dapat diberantas. Ibaratnya seperti penyakit kanker stadium empat, yang menyerang otak manusia. Kemaksiatan dan dosa sudah menjadi "hobi" di negeri ini.

Bandingkan dengan Cina yang atheis, koruptor dihukum mati. Sedangkan di Indonesia para koruptor mendapatkan remisi (potongan hukuman). Vonis hukumannyapun  ringan, dan masih diberi remisi. Karena itu, Indonesia menjadi surga para koruptor. Di Malaysia "ruswah" (sogok/suap),  tidak begitu nampak. Di Indonesia. Segala urusan harus menggunakan "ruswah". Mengurus orang matipun di Indonesia masih harus menggunakan "ruswah".

Mengapa seluruh asset bangsa ini sekarang dikuasai Cina? Karena pejabat Indonesia sudah dapat ditakar oleh orang Cina, berapa "ruswah" yang harus dibayar kepada mereka untuk izin dan  proyek? Di Malaysia sekecil apapun membawa barang "haram" narkotik, digantug, tanpa basa-basi. Terhadap siapapun. Di Indonesia yang mempunyai pabrik narkoba yang memproduksi berton-ton narkotik, bisa bebas dan menjalankan lagi bisnisnya. Barang buktinya bisa dijual.

Bandingkan, di Indonesia, banyak anak tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka ke sekolah lebih tinggi, karena mereka tidak dapat membayar uang sekolah/kuliah, karena orang tuanya miskin.

Di Cina, sejak zamannya Deng Xiao Ping, setiap tahunnya 100.000 mahasiswa di kirim sekolah ke Eropa dan Amerika. Malaysia setiap tahunnya 50.000 mahasiswa di kirim ke Eropa, Amerika, Jepang, dan Timur Tengah.

Sehingga, sekarang Cina dan Malaysia menjadi negara maju, dan sudah banyak orang yang bergelar doktor. Sedangkan di Indonesia, uang negara (RABN), banyak habis digunakan untuk plesiran pejabat dan anggota DPR, yang melakukan "Studi banding", yang tidak jelas hasilnya.

Perhatikan, negara agraris yang luas wilayahnya, melebihi daratan Eropa, seluruh kebutuhan pangan dan buah-buahan harus diimport. Mengapa? Karena import itu, dapat menambahkan tebalnya kantong bagi para pejabat, dan kroni-kroninya. Padahal, Kementerian Pertanian itu, dua periode dipimpin seorang menteri dari partai dakwah, yang konon mempunyai kepedulian kepada rakyat. Petani semakin jembel dan marginal. Menyedihkan.

Di kementerian kehakiman hukum dan hak-hak asasi menusia, pelanggaran terhadap HAM, terus berlangsung. Orang yang  dibunuh polisi semakin banyak. Termasuk mereka yang dituduh teroris. Tempat rehabilitasi dan tahanan seperti penjara, justeru menjadi pusat peredaran narkoba. Dari dulu sampai sekerang. Kementerian Tenaga Kerja, setiap hari hanya menerima laporan kasus-kasus pemerkosaan tkw yang terlantar di luar negeri. Masih banyak lagi kasus lainnya. Tetapi, melihat semua itu pejabat tidak ada rasa  malunya.

Malu sama dengan "haya" yang berasal dari kata "hayatun" yang berarti  kehidupan. Ibnu Qayyim, mengatakan, "Orang yang sudah tidak memiliki rasa malu, berarti orang itu sudah mati". Perbuatan dosa dan maksiat itu, menghilangan rasa malu. Bukan hanya menghilangkan rasa malunya kepada sesama manusia,  tetapi juga rasa malunya terhadap Allah Azza Wa Jalla.

Di seluruh Indonesia, jutaan orang keluar rumah sejak sebelum Ashar, hingga dini hiri, tanpa melaksanakan shalat, menyambut tahun baru Masehi. Masjid kosong melompong.  Shalat Subuh jamaahnya tinggal beberapa gelintir. Menyambut tahun baru Masehi, berbanding lurus dengan melakukan kemaksiatan terhadap Allah Rabbu Alamin secara  kolektif.

Seorang Ketua MUI Jawa Timur, mengatakan, bahwa di Pantai Kenjeran, Surabaya, berserakan "kondom", usai perayaan Tahun Baru. Entah di Jakarta.

Bangsa Indonesia, para pemimpinnya dari atas sampai bawah, sudah kehilangan rasa malu. Tidak malu berbuat salah dan dosa terhadap manusia dan Allah Rabbul Alamin. Rakyatnya ikut pula terjerumus ke dalam kehidupan materialisme yang memperbudak mereka. Semuanya membuat hilangnya rasa malu.

Manusia yang sudah tidak mempunyai rasa malu akan menjadi sampah kehidupan. Tidak ada gunanya. Mereka akan berbuat apa saja, sesuai dengan kemauannya, yang didorong naluri syahwatnya. Wallahu'alam.

http://www.eramuslim.com