Bercermin pada Cermin itulah hal yang
tiap hari seseorang lakukan, entah itu pagi siang atau malam, bahkan ada
sebagian orang terutama cewek yang menghabiskan waktunya berjam berjam didepan
cermin apalagi ABG yang baru puber kasmaran ataupun seseorang yang lagi jatuh
hati atau juga jatuh cinta.
Cermin bisa membantu seseorang mengenal dan menilai kekurangan dari
fisiknya sendiri dari mulai berdandan gaya berpakaian, bahkan gayu rambut tata
rias dan sebagainya alias multifungsi., tapi tahukah kamu sejarah cermin?
Sebelum sampai pada bentuknya yang sekarang, manusia telah mencoba berbagai bahan dan cara. Salah satunya dari batu obsidian asah yang bisa dilihat di Museum Arkeologi Konya dan Museum Peradaban Anatolia di Ankara, Turki. Sedangkan di zaman Romawi dan Abad Pertengahan di Eropa berupa lempengan logam - perunggu, timah, atau perak. Cermin-cermin itu memantulkan sinar dari permukaannya yang diasah halus-halus.
Sekitar akhir abad ke-12, para pandai kaca di Venesia mulai mengembangkan campuran timah dan air raksa yang bisa memantulkan bayangan. Para empu cermin di Venesia itu mendirikan serikat kerja pada 1569, yang keanggotaannya ditandai dengan kaca silinder tiup yang diratakan, diasah, dan dilengkapi lembar pantul dari campuran timah dan air raksa. Pada pertengahan abad ke-17, keterampilan membuat cermin dari kaca yang dilapisi ini menyebar ke London dan Paris.
Di akhir abad ke-17, cermin telah menjadi karya mahal. Ia menjadi penghias Istana Versailles. Tidak lagi telanjang, tapi berbingkai. Bahkan, bingkai cermin justru menjadi penanda zaman. Bahan bingkai merentang dari gading, perak, kayu eboni, cangkang kura-kura yang dipernis dengan zaitun dan kenari, hingga manik-manik dan jahitan.
Dari perbingkaian ini muncullah seniman macam Grinling Gibbons (1642 - 1721) dengan bingkai berpahatnya. Juga perancang Inggris, Robert dan James Adams, yang membentangkan perapian untuk membuat efek tertentu pada cermin. Rancangan bingkai juga terus berkembang, tak harus selalu digantung di dinding, bisa dibuatkan kaki supaya berdiri. Pembuatan cermin dalam jumlah banyak dan bentuk yang lebih kecil menjadikannya kian murah hingga terjangkau kantung orang kebanyakan.
Sementara para bangsawan dan rakyat jelata memperlakukan cermin sebagai hiasan ruang atau untuk membantu mematut diri, sejumlah ilmuwan seperti Roger Bacon (1220 - 1292) dan Isaac Newton pada 1668 lebih menyoroti kemampuannya mengumpulkan sinar. Bersama lensa, cermin dimanfaatkan dalam penyempurnaan pembuatan teropong. Di masa perang atau penjelajahan alam, cermin juga bisa dimanfaatkan sebagai kode rahasia atau 'bahasa' berkat pantulan sinar mentari yang jatuh di permukaannya. Ketika cermin digerak-gerakkan, pantulan sinarnya bisa dilihat dari kejauhan.
Kimia pelapis kaca pun berkembang. Justus von Liebig pada 1835 menemukan lapisan perak logam yang dirayakan sebagai teknik modern dalam pembuatan cermin. Pada masa sekarang, cermin umumnya dibuat dengan memerciki lapisan tipis aluminium atau perak cair ke satu sisi kaca. Ada banyak teknik pembuatannya, tapi banyak yang yakin bahwa cermin yang sempurna masih tetap cermin yang terbuat dari endapan timah dengan teknik sempro
Sebelum sampai pada bentuknya yang sekarang, manusia telah mencoba berbagai bahan dan cara. Salah satunya dari batu obsidian asah yang bisa dilihat di Museum Arkeologi Konya dan Museum Peradaban Anatolia di Ankara, Turki. Sedangkan di zaman Romawi dan Abad Pertengahan di Eropa berupa lempengan logam - perunggu, timah, atau perak. Cermin-cermin itu memantulkan sinar dari permukaannya yang diasah halus-halus.
Sekitar akhir abad ke-12, para pandai kaca di Venesia mulai mengembangkan campuran timah dan air raksa yang bisa memantulkan bayangan. Para empu cermin di Venesia itu mendirikan serikat kerja pada 1569, yang keanggotaannya ditandai dengan kaca silinder tiup yang diratakan, diasah, dan dilengkapi lembar pantul dari campuran timah dan air raksa. Pada pertengahan abad ke-17, keterampilan membuat cermin dari kaca yang dilapisi ini menyebar ke London dan Paris.
Di akhir abad ke-17, cermin telah menjadi karya mahal. Ia menjadi penghias Istana Versailles. Tidak lagi telanjang, tapi berbingkai. Bahkan, bingkai cermin justru menjadi penanda zaman. Bahan bingkai merentang dari gading, perak, kayu eboni, cangkang kura-kura yang dipernis dengan zaitun dan kenari, hingga manik-manik dan jahitan.
Dari perbingkaian ini muncullah seniman macam Grinling Gibbons (1642 - 1721) dengan bingkai berpahatnya. Juga perancang Inggris, Robert dan James Adams, yang membentangkan perapian untuk membuat efek tertentu pada cermin. Rancangan bingkai juga terus berkembang, tak harus selalu digantung di dinding, bisa dibuatkan kaki supaya berdiri. Pembuatan cermin dalam jumlah banyak dan bentuk yang lebih kecil menjadikannya kian murah hingga terjangkau kantung orang kebanyakan.
Sementara para bangsawan dan rakyat jelata memperlakukan cermin sebagai hiasan ruang atau untuk membantu mematut diri, sejumlah ilmuwan seperti Roger Bacon (1220 - 1292) dan Isaac Newton pada 1668 lebih menyoroti kemampuannya mengumpulkan sinar. Bersama lensa, cermin dimanfaatkan dalam penyempurnaan pembuatan teropong. Di masa perang atau penjelajahan alam, cermin juga bisa dimanfaatkan sebagai kode rahasia atau 'bahasa' berkat pantulan sinar mentari yang jatuh di permukaannya. Ketika cermin digerak-gerakkan, pantulan sinarnya bisa dilihat dari kejauhan.
Kimia pelapis kaca pun berkembang. Justus von Liebig pada 1835 menemukan lapisan perak logam yang dirayakan sebagai teknik modern dalam pembuatan cermin. Pada masa sekarang, cermin umumnya dibuat dengan memerciki lapisan tipis aluminium atau perak cair ke satu sisi kaca. Ada banyak teknik pembuatannya, tapi banyak yang yakin bahwa cermin yang sempurna masih tetap cermin yang terbuat dari endapan timah dengan teknik sempro
Read more: http://aspal-putih.blogspot.com