Senin, 24 Oktober 2011

Anak Miskin yang Kaya Hati


 
Lalu Abdul Hafiz  adalah  anak bungsu  dari  empat bersaudara.  Ayahnya Mamiq Syamsul Hadi, berusia  67 tahun, adalah seorang pria tua yang sesekali bekerja  sebagai buruh  lepas. Ibunya bernama  Baiq Sakyah, seorang ibu rumah  tangga. Rumah  orang tuanya  berdinding  gedek (anyaman bambu) dan  beratap ilalang.


Jelas, Lalu Abdul Hafiz termasuk anak keluarga yang sangat miskin harta. Namun, untungnya hati dan jiwa Hafiz tidak ikut miskin. Hafiz termasuk dari kalangan anak-anak miskin yang memiliki kekayaan hati. Hafiz tidak mengeluh dengan kemiskinannya. Ia juga memiliki kepercayaan diri yang besar. Dalam salah satu wawancara yang ditayangkan di Metro TV pada 7 Agustus 2011 ia mengatakan, “Kunci sukses dalam belajar adalah sungguh-sungguh. Apapun yang kita pelajari akan dapat dipahami kalau sungguh-sungguh. Anak SD akan mampu mempelajari pelajaran SMP, atau pelajaran SMA atau pelajaran perguruan tinggi asal dipelajari dengan tekun dan sungguh-sungguh,” katanya dengan yakin.

Hafiz tidak mengada-ngada. Ia melakukan apa yang ia katakan. Setiap hari ia belajar paling sedikit 9 jam pada siang hari dan 4 jam pada malam harinya. Semua buku yang ada di perpustakaan sekolahnya habis dibacanya. Terutama buku-buku sains. Tak heran pada saat masih SMP dia sudah berhasil meraih medali perunggu alias juara tiga pada olimpiade astronomi internasional di Kyrgiztan tahun 2009.
Kemenangan itu membawa berkah baginya. Tawaran beasiswa pun datang dari berbagai penjuru. Sejak memasuki SMAN 1 Praya Kab. Lombok Tengah. Nusa Tenggara Barat pada tahun 2010, Hafiz sudah mendapat beasiswa dari Bupati setempat.

Hafiz bukan remaja egois. Ia mencintai keluarganya, terutama ayah ibunya dan kakak perempuannya yang sedang kuliah di IKIP, melebihi yang lain, termasuk dirinya sendiri. Hadiah yang diterima dari kemenangannya di Kyrgiztan dan beberapa hadiah lainnya ditabungnya dan dibuat merenovasi rumah gedek-nya plus untuk membiayai kuliah kakaknya. Padahal ingin sekali ia memiliki laptop sendiri agar dia tidak perlu meminjam pada temannya saat dia ingin akses internet. Kendati uang yang dia miliki hanya cukup untuk merenovasi rumah beratap genting dan berdinding bata tanpa kulit, namun ia bersyukur dengan rumah yang jauh lebih baik dari dulu. Sekarang ia dapat belajar lebih tenang tanpa memikirkan atap yang bocor saat hujan.

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah Lalu Abdul Hafiz, seorang anak miskin yang saat baru duduk di kelas XI di sebuah SLTA di NTB.

Pertama, tetaplah berfikir positif dan optimis walaupun keadaan ekonomi sangat memprihatinkan. Kemiskinan hendaknya tidak membuat seseorang putus asa dan malas belajar. Sebaliknya, keadaan ini harus dijadikan motivasi untuk semakin rajin belajar melebihi mereka yang hidup mapan. Allah mengingatkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (atau individu) sampai mereka merubahnya sendiri (QS Ar Ra’d 13:11).

Kedua, tetap berperilaku santun, peduli dan eling saat kita berada dalam posisi yang lebih baik. Tidak sedikit orang miskin yang “bagaikan kacang lupa kulitnya.” Saat sudah berhasil perilaku dan gaya berubah, menjadi lupa diri pada orang-orang yang telah membantunya atau pada orang-orang yang nasibnya seperti dirinya dulu. Sukses tidak hanya diukur oleh keberhasilan materi dan pencapaian prestasi, tapi juga oleh seberapa stabil mental seseorang baik saat dalam situasi prihatin maupun ketika nyaman. Sebab, cobaan Allah tidak hanya datang saat prihatin, tapi juga saat hidup kita sejahtera (QS Al Anbiya 21:35). []

Sumber  http://afatih.wordpress.com