Pada 21 Juni
2007, terjadi peristiwa yang takkan pernah dilupakan para pemerhati Hak
Asasi Manusia Indonesia, yakni untuk kali pertamanya keanggotaan Komnas
HAM diisi oleh seorang tuna netra. Sosok tersebut adalah Saharuddin
Daming, seorang pria asal
Pare-Pare, Sulawesi Selatan.
Saharuddin lahir pada 28 Mei 1968, sebagai bungsu dari lima bersaudara. Pada usia 5 tahun, ayahnya meninggal dunia. Kejadian inilah yang mendorong Daming kecil untuk membantu ibunya dan keempat kakaknya mencari uang, sepulangnya dari sekolah. Hingga akhirnya mereka mampu untuk membeli sebuah rumah panggung khas Bugis.
Rumah yang baru dibeli tersebut masih harus diperbaiki karena ada beberapa bagian struktur rumah dan atap yang lepas. Ketika melakukan pembongkaran inilah, mata kanan Daming, secara tak sengaja, kemasukan serpihan halus atap nipah. Kejadian ini yang menjadi awal Saharuddin bermasalah dengan indera penglihatannya.
Serpihan halus dari nipah tersebut telah mengakibatkan mata kanannya mengalami kebutaan total. Bertumpu pada mata kirinya, ia melanjutkan kegemarannya untuk membaca buku. Sayangnya, kegiatan ini tidak didukung oleh penerangan yang memadai yang mengakibatkan mata kirinya juga menjadi buta total.
Dokter memvonis sistem saraf dari otak ke retina matanya lumpuh. Namun demikian, kejadian ini tidak mengakibatkan dirinya menjadi putus asa. Ia terus melanjutkan kegemarannya tersebut meski dengan menggunakan media lain, yaitu dalam bentuk Braille.
Kebutaannya sejak usia 10 tahun tak menghalangi Saharudin untuk meraih cita-cita. Sejak kecil Saharudin bersekolah di sekolah umum. Saat suatu hari kepala sekolahnya di SMA menyatakan ia harusnya ke sekolah luar biasa, Saharudin pun memberikan argumennya.
“Pak kalau sekolah saya luar biasa, nanti kuliah harus di universitas luar biasa juga, kerjanya di tempat luar biasa, dan gajinya luar biasa. Saya bilang begitu ,” tutur Saharudin diakhiri tawa.
Berpegang pada pengalaman pribadinya sebagai seorang tuna netra yang seringkali disisihkan, ia menjadi paham dan peka akan penindasan HAM. Hal inilah yang mendorongnya untuk bercita-cita menjadi anggota Komnas HAM sebagai salah satu upaya penyadaran publik akan hak-hak dasar sebagai manusia dan warga negara.
Ia akhirnya menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar tahun 1994, mulai aktif di LSM dan organisasi pemberdayaan penyandang cacat kemudian melanjutkan ke pendidikan advokat. Partisipasinya peserta ujian advokat dianggap tak lazim oleh Pengadilan Tinggi Makassar, kualitas atas jawaban ujian yang ia berikan diragukan dan ia dinyatakan tidak lulus. Saharuddin tidak tinggal diam, ia mengajukan protes ke Mahkamah Agung. Tindakan ini membuahkan hasil, ia berhasil dilantik menjadi advokat dengan status lulus susulan.
Dengan perjuangannya meyakinkan banyak pihak dalam dunia pendidikan dan HAM, dirinya berhasil menamatkan Magister Hukum di Universitas Hasanuddin pada tahun 2002 dan menjadi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin. Dan perlu dicatat, dia adalah tuna netra pertama di Indonesia yang menyandang gelar ini.
Semangat, ketekunan, dan kecerdasan telah mengantar Saharuddin, sebagai orang yang layak menduduki jabatan penting. Ia kini menjadi Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, atau Komnasham, periode 2007 hingga 2012.
Pare-Pare, Sulawesi Selatan.
Saharuddin lahir pada 28 Mei 1968, sebagai bungsu dari lima bersaudara. Pada usia 5 tahun, ayahnya meninggal dunia. Kejadian inilah yang mendorong Daming kecil untuk membantu ibunya dan keempat kakaknya mencari uang, sepulangnya dari sekolah. Hingga akhirnya mereka mampu untuk membeli sebuah rumah panggung khas Bugis.
Rumah yang baru dibeli tersebut masih harus diperbaiki karena ada beberapa bagian struktur rumah dan atap yang lepas. Ketika melakukan pembongkaran inilah, mata kanan Daming, secara tak sengaja, kemasukan serpihan halus atap nipah. Kejadian ini yang menjadi awal Saharuddin bermasalah dengan indera penglihatannya.
Serpihan halus dari nipah tersebut telah mengakibatkan mata kanannya mengalami kebutaan total. Bertumpu pada mata kirinya, ia melanjutkan kegemarannya untuk membaca buku. Sayangnya, kegiatan ini tidak didukung oleh penerangan yang memadai yang mengakibatkan mata kirinya juga menjadi buta total.
Dokter memvonis sistem saraf dari otak ke retina matanya lumpuh. Namun demikian, kejadian ini tidak mengakibatkan dirinya menjadi putus asa. Ia terus melanjutkan kegemarannya tersebut meski dengan menggunakan media lain, yaitu dalam bentuk Braille.
Kebutaannya sejak usia 10 tahun tak menghalangi Saharudin untuk meraih cita-cita. Sejak kecil Saharudin bersekolah di sekolah umum. Saat suatu hari kepala sekolahnya di SMA menyatakan ia harusnya ke sekolah luar biasa, Saharudin pun memberikan argumennya.
“Pak kalau sekolah saya luar biasa, nanti kuliah harus di universitas luar biasa juga, kerjanya di tempat luar biasa, dan gajinya luar biasa. Saya bilang begitu ,” tutur Saharudin diakhiri tawa.
Berpegang pada pengalaman pribadinya sebagai seorang tuna netra yang seringkali disisihkan, ia menjadi paham dan peka akan penindasan HAM. Hal inilah yang mendorongnya untuk bercita-cita menjadi anggota Komnas HAM sebagai salah satu upaya penyadaran publik akan hak-hak dasar sebagai manusia dan warga negara.
Ia akhirnya menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar tahun 1994, mulai aktif di LSM dan organisasi pemberdayaan penyandang cacat kemudian melanjutkan ke pendidikan advokat. Partisipasinya peserta ujian advokat dianggap tak lazim oleh Pengadilan Tinggi Makassar, kualitas atas jawaban ujian yang ia berikan diragukan dan ia dinyatakan tidak lulus. Saharuddin tidak tinggal diam, ia mengajukan protes ke Mahkamah Agung. Tindakan ini membuahkan hasil, ia berhasil dilantik menjadi advokat dengan status lulus susulan.
Dengan perjuangannya meyakinkan banyak pihak dalam dunia pendidikan dan HAM, dirinya berhasil menamatkan Magister Hukum di Universitas Hasanuddin pada tahun 2002 dan menjadi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin. Dan perlu dicatat, dia adalah tuna netra pertama di Indonesia yang menyandang gelar ini.
Semangat, ketekunan, dan kecerdasan telah mengantar Saharuddin, sebagai orang yang layak menduduki jabatan penting. Ia kini menjadi Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, atau Komnasham, periode 2007 hingga 2012.
Sumber http://www.kumpulberita.com