- Oleh Siti Muyassaratul Hadfidzoh
TAHUN ajaran
baru kampus menjadi momentum sangat strategis bagi mahasiswa baru untuk
menentukan pilihannya: menjadi aktivis atau akademikus?
Dunia
aktivis kampus semakin hari semakin menipis peminatnya. Kalaupun menjadi
aktivis, itu hanya
sampai pada jenjang permulaan (atau sekadar kader dasar)
saja. Karena semakin sibuk kuliah dan tugas dari dosen, para mahasiswa akhirnya
lebih senang sibuk di dalam kamar, mengerjakan tugas kampus, dan menghabiskan
waktu menonton televisi.
Ketatnya
aturan dunia kampus menjadi alasan paling utama mahasiswa untuk tidak aktif
dalam dunia pergerakan. Mereka khawatir tidak lengkap absensinya, atau khawatir
nilainya buruk, gamang tidak bisa ikut ujian, bahkan khawatir dimarahi orang
tua. Dunia mahasiswa yang melempem ini semakin menggejala dalam gerak kampus
kita, sehingga dunia pergerakan saat ini miskin kader militan yang bisa
menggerakkan nalar kritis dalam menganalisis fakta sosial kemasyarakatan.
Sementara
pejabat kampus sendiri juga tak begitu hirau dengan nasib dunia pergerakan yang
makin menyusut. Pejabat kampus lebih senang sibuk dengan aktivisme kampus yang
birokratis dari pada menggerakkan jiwa pemberani kaum mahasiswa sebagai agen
perubahan sosial (agent of social change). Para pejabat kampus justru
seringkali merebut kursi atau proyek untuk menambah pundi-pundi kekayaannya.
Terbukti, para pejabat kampus sekarang makin necis dalam life style, kuat dalam
pencitraan, tetapi miskin dalam etos pembebasan.
Di tengah
kondisi kampus yang makin mabuk dengan citra dan materi inilah, dorongan
menjadi aktivis yang terus berjuang untuk publik makin menyusut. Bahkan bukan
saja menyusut, melainkan malah menjadi takut, karena terdapat pameo bahwa
menjadi aktivis bisa lama kuliahnya, atau bahkan bisa diburu negara.
Pameo-pameo yang tidak lazim ini disebar-luaskan oleh oknum ‘’pembunuh
aktivis’’ yang menginginkan matinya aktivisme kampus untuk melanggengkan para
pemegang status quo kekuasaan.
Fakta inilah
yang harus kita refleksikan bersama di tengah kondisi bangsa yang carut marut
ini. Rezim kekuasaan juga semakin semena-mena, sehingga aktivis kampus
sebenarnya menemukan momentumnya untuk bangkit melakukan perubahan, baik dalam
tataran vertikal maupun horisontal. Dari sini, kalau mahasiswa itu kritis,
pastilah akan tergerak mengepalkan tangan bersama aktivis lainnya untuk membela
kebenaran yang diyakininya.
Saatnya
sekarang membangun citra bangun dunia aktivisme yang bisa memikat kaum
mahasiswa lainnya untuk berjuang bersama membela sebuah kebenaran yang
ideologis. Saatnya menjadi aktivis sebagai sebuah kebanggaan, bukan sebagai
cemoohan yang kumuh dan menakutkan. Untuk itu, perlu upaya reformulasi atas
dunia aktivisme agar sesuai dengan target akademik sekaligus juga bisa sesuai
dengan agenda pergerakan.
Reformulasi ini penting agar dunia aktivisme selalu
melakukan proses pembaharuan, tidak terpaku dengan aktivisme masa lalu, dan
bisa menjawab kebutuhan zaman yang terus berubah setiap saat.
Kecakapan Pribadi
Menurut Prof
Yudian Wahyudi, Dekan Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, menjadi aktivis di
dunia saat ini, bukan saja dengan nalar kritis, jiwa pemberani, dan terjun di
jalan raya, melainkan juga harus diimbangi dengan prestasi akademik yang baik.
Akademik yang baik bisa menjadi lompatan cepat kaum aktivis untuk bisa meraih
kemampuan setinggi mungkin. Yudian mengajarkan agar mahasiswa bisa bercita-cita
kuliah di berbagai perguruan tinggi dunia, misalnya Harvard, Yale, Oxford, dan
sebagainya. Memasuki aktivisme sekaligus dunia akademik yang berkualitas akan
menjadikan aktivisme semakin bermakna dan bisa menjawab problematika sosial
yang sedang berkecamuk. Ini dilakukan Yudian sendiri dengan ikut serta dalam
civitas academica Harvard Law School.
Berambung
gondrong atau celana sobek-sobek bukanlah harga mati sebagai ciri khas seorang
aktivis. Formulasi masa depan lebih membutuhkan kecakapan pribadi yang mumpuni
dalam membangun jaringan sosial yang baik disertai kemampuan akademik yang
baik. Jangan sampai terjebak dalam aksiomatika yang normatif, sehingga
mengabaikan formula lain yang sangat membantu dalam kesuksesan seorang aktivis.
Dunia akademik sangat membantu dunia aktivisme untuk melapangkan jalan
perjuangan yang lebih baik dan strategis dalam menata jaringan yang lebih
mapan. Kemapanan jaringan bisa menjadi agenda utama dalam menggerakan perubahan
sosial kemasyarakatan. Inilah yang perlu dicamkan dari dunia aktivisme
sekarang.
Jaringan
yang kuat inilah memang yang menjadi daya tarik paling bagus dalam dunia aktivisme.
Sangat berbeda dari mereka yang hanya berkutat dengan tugas kampus dan
aktivisme kamar kos, yang hanya melihat dunia kampus sepojok bangku kuliah
saja. Aktivis kamar kos ini kerap gagap menghadapi fakta sosial, karena
kehidupan kampusnya jauh sekali dengan fenomena sosial di sekelilingnya.
Sementara aktivis lapangan begitu leluasa menggerakkan kakinya dalam menjalin
berbagasi relasi sosial yang didapatkan tatkala aktif dalam pergerakan kampus.
Jaringan sosial jelas sangat membantu menggerakkan kesuksesan diri di tengah
gejolak sosial saat ini.
Banyaknya
kemudahan jaringan tatkala menjadi aktivis inilah yang perlu dipahami dalam
dunia pergerakan. Khususnya dengan para calon mahasiswa yang sedang akan
menjejakkan kakinya di perguruan tinggi. Jangan sampai para calon mahasiswa
takut terlebih dahulu dengan berbagai pameo negatif ikhwal dunia aktivis.
Sebelum
mencoba dan merasakan nikmatnya sebagai aktivis, rasanya tidak sah untuk
berbicara ikhwal pameo negatif dunia aktivisme. (24)
—Siti Muyassarotul Hafidzoh, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Sumber http://suaramerdeka.com