Minggu, 04 September 2011

Pilih Aktivis atau Akademikus?


  • Oleh Siti Muyassaratul Hadfidzoh
TAHUN ajaran baru kampus menjadi momentum sangat strategis bagi mahasiswa baru untuk menentukan pilihannya: menjadi aktivis atau akademikus? 

Dunia aktivis kampus semakin hari semakin menipis peminatnya. Kalaupun menjadi aktivis, itu hanya
sampai pada jenjang permulaan (atau sekadar kader dasar) saja. Karena semakin sibuk kuliah dan tugas dari dosen, para mahasiswa akhirnya lebih senang sibuk di dalam kamar, mengerjakan tugas kampus, dan menghabiskan waktu menonton televisi.

Ketatnya aturan dunia kampus menjadi alasan paling utama mahasiswa untuk tidak aktif dalam dunia pergerakan. Mereka khawatir tidak lengkap absensinya, atau khawatir nilainya buruk, gamang tidak bisa ikut ujian, bahkan khawatir dimarahi orang tua. Dunia mahasiswa yang melempem ini semakin menggejala dalam gerak kampus kita, sehingga dunia pergerakan saat ini miskin kader militan yang bisa menggerakkan nalar kritis dalam menganalisis fakta sosial kemasyarakatan. 

Sementara pejabat kampus sendiri juga tak begitu hirau dengan nasib dunia pergerakan yang makin menyusut. Pejabat kampus lebih senang sibuk dengan aktivisme kampus yang birokratis dari pada menggerakkan jiwa pemberani kaum mahasiswa sebagai agen perubahan sosial (agent of social change). Para pejabat kampus justru seringkali merebut kursi atau proyek untuk menambah pundi-pundi kekayaannya. Terbukti, para pejabat kampus sekarang makin necis dalam life style, kuat dalam pencitraan, tetapi miskin dalam etos pembebasan. 

Di tengah kondisi kampus yang makin mabuk dengan citra dan materi inilah, dorongan menjadi aktivis yang terus berjuang untuk publik makin menyusut. Bahkan bukan saja menyusut, melainkan malah menjadi takut, karena terdapat pameo bahwa menjadi aktivis bisa lama kuliahnya, atau bahkan bisa diburu negara. Pameo-pameo yang tidak lazim ini disebar-luaskan oleh  oknum ‘’pembunuh aktivis’’ yang menginginkan matinya aktivisme kampus untuk melanggengkan para pemegang status quo kekuasaan.   
 
Fakta inilah yang harus kita refleksikan bersama di tengah kondisi bangsa yang carut marut ini. Rezim kekuasaan juga semakin semena-mena, sehingga aktivis kampus sebenarnya menemukan momentumnya untuk bangkit melakukan perubahan, baik dalam tataran vertikal maupun horisontal. Dari sini, kalau mahasiswa itu kritis, pastilah akan tergerak mengepalkan tangan bersama aktivis lainnya untuk membela kebenaran yang diyakininya. 

Saatnya sekarang membangun citra bangun dunia aktivisme yang bisa memikat kaum mahasiswa lainnya untuk berjuang bersama membela sebuah kebenaran yang ideologis. Saatnya menjadi aktivis sebagai sebuah kebanggaan, bukan sebagai cemoohan yang kumuh dan menakutkan. Untuk itu, perlu upaya reformulasi atas dunia aktivisme agar sesuai dengan target akademik sekaligus juga bisa sesuai dengan agenda pergerakan. 

Reformulasi ini penting agar dunia aktivisme selalu melakukan proses pembaharuan, tidak terpaku dengan aktivisme masa lalu, dan bisa menjawab kebutuhan zaman yang terus berubah setiap saat. 

Kecakapan Pribadi

Menurut Prof Yudian Wahyudi, Dekan Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, menjadi aktivis di dunia saat ini, bukan saja dengan nalar kritis, jiwa pemberani, dan terjun di jalan raya, melainkan juga harus diimbangi dengan prestasi akademik yang baik. Akademik yang baik bisa menjadi lompatan cepat kaum aktivis untuk bisa meraih kemampuan setinggi mungkin. Yudian mengajarkan agar mahasiswa bisa bercita-cita kuliah di berbagai perguruan tinggi dunia, misalnya Harvard, Yale, Oxford, dan sebagainya. Memasuki aktivisme sekaligus dunia akademik yang berkualitas akan menjadikan aktivisme semakin bermakna dan bisa menjawab problematika sosial yang sedang berkecamuk. Ini dilakukan Yudian sendiri dengan ikut serta dalam civitas academica Harvard Law School.   

Berambung gondrong atau celana sobek-sobek bukanlah harga mati sebagai ciri khas seorang aktivis. Formulasi masa depan lebih membutuhkan kecakapan pribadi yang mumpuni dalam membangun jaringan sosial yang baik disertai kemampuan akademik yang baik.  Jangan sampai terjebak dalam aksiomatika yang normatif, sehingga mengabaikan formula lain yang sangat membantu dalam kesuksesan seorang aktivis. 

Dunia akademik sangat membantu dunia aktivisme untuk melapangkan jalan perjuangan yang lebih baik dan strategis dalam menata jaringan yang lebih mapan. Kemapanan jaringan bisa menjadi agenda utama dalam menggerakan perubahan sosial kemasyarakatan. Inilah yang perlu dicamkan dari dunia aktivisme sekarang.   

Jaringan yang kuat inilah memang yang menjadi daya tarik paling bagus dalam dunia aktivisme. Sangat berbeda dari mereka yang hanya berkutat dengan tugas kampus dan aktivisme kamar kos, yang hanya melihat dunia kampus sepojok bangku kuliah saja. Aktivis kamar kos ini kerap gagap menghadapi fakta sosial, karena kehidupan kampusnya jauh sekali dengan fenomena sosial di sekelilingnya. Sementara aktivis lapangan begitu leluasa menggerakkan kakinya dalam menjalin berbagasi relasi sosial yang didapatkan tatkala aktif dalam pergerakan kampus. Jaringan sosial jelas sangat membantu menggerakkan kesuksesan diri di tengah gejolak sosial saat ini.  

Banyaknya kemudahan jaringan tatkala menjadi aktivis inilah yang perlu dipahami dalam dunia per­gerakan. Khususnya dengan para calon mahasiswa yang sedang akan menjejakkan kakinya di perguruan tinggi. Jangan sampai para calon mahasiswa takut terlebih dahulu dengan berbagai pameo negatif ikhwal dunia aktivis. 

Sebelum mencoba dan merasakan nikmatnya sebagai aktivis, rasanya tidak sah untuk berbicara ikhwal pameo negatif dunia aktivisme.  (24)

—Siti Muyassarotul Hafidzoh, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Sumber    http://suaramerdeka.com