Jokowi yang berpasangan dengan Ahok (Katolik) yang dijagokan PDIP,
mengatakan, "Baju koko plus kopiah yang digunakan kandidat lain untuk
mencari simpati publik, agar terkesan taat beragama, ucap Jokowi.
"Pernyataan Jokowi ini sangat menciderai budaya Indonesia dan tidak patut diucapkan oleh seorang bakal calon gubernur," kata Ketua Umum LKB, Tatang Hidayat, saat ditemui di kantor LKB, Kamis (19/4/2012).
"Pernyataan Jokowi ini sangat menciderai budaya Indonesia dan tidak patut diucapkan oleh seorang bakal calon gubernur," kata Ketua Umum LKB, Tatang Hidayat, saat ditemui di kantor LKB, Kamis (19/4/2012).
Menurut Tatang, pernyataan Jokowi, seolah-olah tidak tahu bahwa baju koko sudah menjadi kearifan lokal budaya betawi, dan sudah sejak lama menjadi sebuah identitas nasional seperti halnya baju adat pada daerah lain. "Jadi sangat disayangkan, bakal calon gubernur DKI Jakarta, tidak memahami kebudayaan masyarakat betawi," ucapnya.
Dijelaskan Tatang, baju koko, bagi masyarakat Betawi merupakan baju
sadaria, yang menjadi kearifan lokal masyarakat betawi. Dilihat dari kontennya,
baju koko atau sadaria digunakan untuk shalat dan identik sebagai pakaian
muslim yang digunakan sehari-hari. "Nggak mungkin orang muslim bosan
menggunakan baju koko," tegasnya.
Seperti diketahui dalam kunjungannya ke salah satu media, Jokowi menyebutkan penggunaan baju koko dan peci merupakan pencitraan gaya lama, basi dan membosankan. "Ya bosenlah, semua yang maju ke Pilkada selalu pakai baju koko dan kopiah biar keliatan religius," kata Jokowi saat itu.
Pernyataan Jokowi bukan hanya menolak baju koko dan kopiah yang menjadi
ciri masyarakat Betawi, tetapi menolak identitas Muslim, di mana kebiasaan
seorang Muslim, pasti menggunakan baju koko dan kopiah.
Jokowi yang berpasangan dengan Ahok yang beragama Katolik, dan berasal di
Bangka, yang gagal mencalonkan gubernur di Bangka, dan saat menjadi Bupati
Babel Timur, tak ada prestai yang menonjol, menurut sumber yang ada di
Bangka. Tetapi, sekarang mengangkat isu tentang kerakyatan dan kemiskinan, dan
mendekati kalangan masyarakat bawah.
Padahal, ketika Megawati menjadi presiden, yang selalu mencitrakan dirinya
sebagai tokoh "wong cilik", tak menampakkan kebijakannya yang
benar-benar memihak "wong cilik".
Mega saat memerintah cenderung memilih kebijakan ekonomi pro-pasar, dan
menjual asset-asset negara (BUMN) dengan harga "obral", dan merugikan
negara, termasuk Mega datang ke Beijing menandatangi kontrak penjualan gas
dengan Cina selama 30 tahun yang dipatok dengan harga dibawah. Triliuan
negara dirugikan akibat kebijakan Mega itu.
Apa yang bisa dikerjakan Jokowi-Ahok bagi rakyat Jakarta? Tetapi, belum
apa-apa sudah menghina baju koko dan kopiah, yang merupakan identitas
orang-orang Betawi dan Muslim. (af/ilh)
Sumber http://www.voa-islam.com