Yogyakarta panas membara. Matahari bersinar terik. Keringat membanjiri
tubuh hampir setiap orang yang mengunjungi acara Jagongan Media Rakyat 2012.
Kipas angin yang menyala di ruang-ruang kelas tempat acara berlangsung rupanya
tak cukup untuk mengusir rasa panas.
Namun antusias orang mengikuti acara yang diselenggarakan di kampus APMD
(Akademi Pembangunan Masyarakat Desa) tersebut tetap menyala. Suasana kampus
begitu penuh oleh orang-orang dari daerah yang berbeda-beda. Lampung, Cirebon,
Banyumas, Bali, Pekanbaru dan lainnya. Semua tumpah di acara tersebut dan
berdiskusi bersama membahas gerakan pewarta warga dan soal dunia jurnalisme
yang lainnya.
Acara diselenggarakan 23-25 Februari 2012. Kampus APMD penuh oleh berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan persoalan media. 1 seminar nasional, 37 worskhop,
7 dialog, 5 pemutaran film, dan 6 sesi pementasan kesenian. Meskipun banyak
acara yang digelar, tetapi tema bahasan globalnya tetap satu, “Bagaimana
membangun gerakan pewarta warga?”
Salah satu sesi acara untuk menjawab pertanyaan tersebut yakni sebuah diskusi
dengan tema, “Suara Komunitas; Gerakan Pewartaan untuk Perubahan Sosial.”
Diskusi santai yang diadakan di ruang kelas tersebut, dihadiri oleh 30 orang
yang berfokus dalam kegiatan untuk membangun media rakyat.
Tiga pemateri dihadirkan, yakni koordinator Jaringan Radio Komunitas
(Jarik) Cirebon, Ahmad Rofahan, kontributor suarakomunitas.net asal
Lampung Rifki, dan dari AJI Yogyakarta M. Faried Cahyono. Ketiga pemateri
tersebut merupakan orang-orang yang fokus dalam mengembangkan masyarakat desa
melalui kegiatan pewarta warga.
Diskusi santai namun tetap serius terjadi cukup lama. Bincang-bincang
hangat terus terjadi. Tiga pemateri yang dihadirkan banyak berbicara soal
pengalaman mereka selama membangun media komunitas di daerahnya masing-masing.
Achmad Rofahan, lelaki berumur 26 tahun tersebut punya cerita menarik
tentang kegiatannya dalam menangani radio komunitas. Bersama beberapa rekannya,
ia banyak mengadvokasi berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah
satu kasus yang ia angkat, yakni tentang sebuah sekolah dasar yang berada di
daerah Mertapadak, Cirebon.
Awalnya radio komunitas yang ia kelola mendapat laporan adanya sekolah yang
tidak mempunyai bangku dan meja di ruang-ruang kelasnya. Sekolah tersebut
bernama SDN Mertapadak Kulon III. Kondisi mengkhawatirkan dialami sekolah
tersebut selama hampir 3 tahun. Siswa yang belajar di sekolah tersebut harus
rela menjalani proses pembelajaran tanpa menggunakan meja dan bangku. Pilihan
terakhir yang dipakai adalah ngampar (duduk di lantai –red) di
ruang kelas.
Berbagai cara Rofahan lakukan untuk membantu mengadvokasi sekolah tersebut.
Setelah mengecek kondisi di lapangan, Ia mulai dengan menyiarkan berita
tersebut di radio komunitas. Tak hanya berhenti di sana, ia kemudian menulis
berita tersebut dan mem-posting tulisannya tersebut di situs
suarakomunitas.net. banyak respon mulai bermunculan.
Selain itu, ia juga menyebarkan berita tersebut lewat situs jejaring
sosial. Mengirim berita ke instansi terkait seperti dinas pendidikan juga ia
lakukan. Ditambah lagi, Rofahan turut meminta bantuan rekan-rekannya yang
bekerja di media mainstream untuk mengangkat kondisi tersebut.
Hasilnya menggembirakan. Tiga media mainstream bersedia membantunya.
Wartawan di media tersebut mengangkat pemberitaan tentang kondisi di sekolah
itu. Sehari setelah berita tersebut diangkat, bantuan langsung datang. Hal
tersebut menunjukan sebuah keberhasilan gerakan pewarta warga dalam
menghasilkan perubahan sosial.
Selain kasus tersebut, Rofahan juga banyak mengadvokasi kasus lainnya.
Diantaranya membantu proses pemulangan buruh migran asal Sumedang Enok
Sutarsih, mengungkap berita soal kepala desa di Desa Astana Japura-Cirebon yang
selama 2 tahun tidak pernah ngantor, dan kasus-kasus lainnya. Semua ia lakukan
melalui pemberitaan yang ia angkat lewat radio siaran dan media lainnya. Ia
melakukan hal tersebut tanpa bayaran sepeser pun.
Achmad Rofahan begitu setia terhadap pekerjaannya. Jiwa idealisme yang
terpatri dalam dirinya membuat semangat untuk terus menyuarakan kebenaran tak
pernah padam. Tentu saja perubahan yang didambakan tidak berjalan semudah yang
dipikirkan. Rofahan bahkan pernah mendapatkan banyak teror atas
pemberitaan-pemberitaan yang dibuatnya.
Cerita menarik juga bisa dilihat dari pengalaman Rifki. Lelaki kurus itu
memperjuangkan masyarakat Lampung untuk mendapatkan hak mengelola hutan. Segala
macam cara juga ia lakukan.
“Cover both side itu tak ada. Setiap pemberitaan harus memihak. Saya
memilih memihak pada rakyat yang tertindas lewat tulisan saya,” ujar Rifki
Kata-katanya begitu bersemangat. Tepuk tangan dari peserta bergemuruh. Ia
melihat media mainstream sebagai “media niaga”. Setiap pemberitaan yang
diangkatnya akan selalu memperhatikan kepentingan ekonomi pemilik modal, tanpa
mau menyuarakan kepentingan kaum marginal. Menurutnya, jurnalisme harus jujur
dan berpihak kepada korban. Rifki mencontohkan penggunaan diksi dalam
pemberitaan yang tidak memihak masyarakat miskin. Misalnya, istilah “perambah”
hutan yang jelas begitu menyinggung.
Berbeda dengan Rofahan dan Rifki, Nurhayati Kahar (49) punya cerita lain.
Perempuan bertubuh subur yang akrab dipanggil Uniyet ini harus berjuang
mati-matian dalam menjalankan perannya sebagai pewarta warga. Aktivis di
Lembaga Masyarakat Mandiri (LSM) Limbubu Pariaman Sumatera Barat tersebut
selalu bersikap kritis terhadap berbagai persoalan di sekitarnya. Tak jarang,
ia pun mendapat banyak ancaman.
Uniyet banyak mengkritisi soal penyelewengan dana bantuan gempa di Padang
Pariaman. Pemberitaan-pemberitaan yang kritis terus ia lakukan melalui media
suarakomunitas.net. hasilnya cukup mencengangkan, banyak permasalahan yang
akhirnya segera ditindaklanjuti oleh pihak berwajib setelah ia mengangkat
berita tersebut.
Tapi tak selamanya sikap kritis dan peduli terhadap masyarakat sekitar
membuahkan hasil yang menggembirakan. Sikap kritis Uniyet telah banyak membuat orang-orang
yang terlibat dalam kubangan kasus tersebut merasa resah. Imbasnya, ia justru
dijebak dalam skenario ‘kriminalisasi’ terhadap dirinya dan membuatnya harus
mendekam di penjara selama hampir 9 bulan.
Kejadian itu berlangsung pada tanggal 28 April 2011. Sepulang pergi
mengantar kerabatnya untuk urusan bisnis, mobil Avanza dengan nomor polisi BA
2258 yang ditumpanginya, dicegat polisi. Polisi kemudian melakukan
penggeledahan dan akhirnya menemukan paket sabu seberat 0,3 gram di jaketnya.
Padahal, ia sama sekali tidak pernah menyimpan atau memiliki barang haram
tersebut. Setelah melakukan penggeledahan, polisi langsung membawanya ke sel
tahanan Polresta Padang Pariaman dan dilakukan pemeriksaan.
Setelah dites urine, hasilnya negatif. Meskipun begitu, ia
tetap dipidana karena kedapatan membawa narkoba. Sesuatu yang
sebenarnya tak pernah ia lakukan. Ia divonis empat tahun penjara dan denda
seratus juta rupiah. Namun Uniyet tak terima dengan putusan tersebut, dan
mengajukan banding karena merasa tidak melakukan hal yang dituduhkan.
Menurutnya, ia dijebak dalam rekayasa penangkapannya. Ia menduga,
penangkapannya itu terkait dengan apa yang ia lakukan terkait aktivitasnya di
LSM Limbubu dan gerakan pewarta warga yang ia lakukan. Dukungan mengalir deras dari
banyak pihak. Akhirnya, Uniyet divonis bebas oleh pengadilan tinggi pada
tanggal 15 Desember 2011.
Akhmad Taufik dari Sidoarjo juga melakukan hal yang serupa. Ia
bersama beberapa rekannya mendirikan portal korbanlumpur.info. Ia
lakukan itu semua untuk membela korban lumpur Lapindo yang tidak mendapatkan
keadilan sebagaimana seharusnya. Ahmad menginformasikan tentang apa-apa yang
terjadi di tempat kejadian. Hingga akhirnya, informasi tersebut menggugah
banyak orang dan berhasil menggalang donasi. Donasi tersebut ia salurkan kepada
212 anak korban lumpur Lapindo untuk biaya sekolahnya.
Bertindak lokal, tapi berdampak global. Kalimat tersebut tepat diterapkan
bagi pewarta warga. Mereka yang menjadi pewarta meskipun tidak bekerja di
perusahaan media menjadi oase di tengah kegersangan yang terjadi. Tidak berarti
harus sarjana Jurnalistik, tapi siapa pun bisa jadi pewarta. Asal ada kemauan,
orang-orang biasa bisa memainkan perannya sebagai seorang pewarta warga hingga
menjadikannya pribadi yang luar biasa. Bahkan, mereka bergulat seperti pendekar
dalam membela masyarakat luas
Gerakan perubahan yang digagas oleh pewarta warga tidak terjadi dengan
begitu saja. Perlu perjuangan ekstra untuk melakukannya. Rofahan mengatakan,
pewarta warga harus berjejaring dengan banyak pihak agar gerakannya semakin
kuat.
Di sisi lain, tentu saja peningkatan kualitas berita yang ditulis oleh
pewarta warga harus terus dilakukan. Tentu kita berharap adanya
pendekar-pendekar lain yang serius melakukan perubahan lewat gerakan pewarta
warga. Seperti yang dilakukan Ahmad Taufik, Rofahan, Uniyet atau Rifki.
Sumber http://salmanitb.com