NAMA Densus 88 terus menghangat
belakangan ini. iapa yang tidak tahu satuan khusus POLRI yang satu ini.
Berbagai kasus yang terus menyeruak melibatkan nama Densus ini—utamanya
menyangkut umat Islam.
Densus 88 juga banyak dibicarakan
terkait keberhasilannya yang diklaim dalam menangkap dan mematikan pergerakan
yang mereka sebut ‘teroris’ di Indonesia. Tapi tahukah Anda bagaimana sejarah
pembentukan dan mengapa nama yang digunakan untuk satuan ini adalah Densus 88?
Detasemen Khusus 88 atau biasa
disebut Densus 88 sebagai tim Anti Teror Mabes Polri dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/756/X/2005 dengan tujuan untuk menjaga
keamanan masyarakat dan negara dari serangan teroris.
Logo atau simbol yang dipakai
oleh satuan ini berupa desain lingkaran garis warna hitam dengan tulisan
DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR dengan latar belakang warna merah marun dan di
tengah-tengah lingkaran terdapat gambar burung hantu warna hitam dan abu-abu dengan
latar belakang warna kuning terang.
Simbol ini dipilih mengingat
filosofi yang didapat dari kemampuan sebenarnya burung hantu itu sendiri.
Dimana burung hantu sebagai hewan yang mempunyai pendengaran dan penglihatan
yang tajam serta kecepatan untuk menangkap mangsa favoritnya yaitu tikus.
Disini tikus diibaratkan seperti teroris yang sifatnya sama seperti tikus, suka
mengganggu dan berbuat yang merugikan.
Untuk nama Densus 88 terdapat banyak
opini dari mana nama ini diambil.
Pertama ada yang mengaitkan nama ini dengan jumlah korban dari
pihak Australia pada peristiwa Bom Bali 2002 yaitu sebanyak 88 orang. Hal ini
mengakibatkan banyak masyarakat yang menilai negatif bahwa sebenarnya Densus 88
dibentuk oleh pemerintah Australia dan hanya menjadi alat asing.
Kedua, ada spekulasi yang mengatakan bahwa sebenarnya nama Densus
88 diambil dari nama unit komando intelijen Jawa Barat pada masa awal
kemerdekaan 1945 yang pada saat itu diperkirakan diambil dari huruf depan nama
Soekarno dan hatta yaitu S dan H yang masing masing huruf tersebut menjadi
huruf ke 8 dari huruf Jawa dan huruf Barat.
Ketiga, adalah adanya salah pengertian dari pengucapan Anti
Terrorism Act yang disingkat ATA. Yang menurut opini, orang indonesia mendengar
singkatan ini dengan ejaan E-Ti-E atau yang dipelesetkan eighty eight (88).
[sumber: prawirasidi/kabar berita baru]