Minggu, 22 April 2012

Pendekar Itu Bernama Pewarta Warga


Yogyakarta panas membara. Matahari bersinar terik. Keringat membanjiri tubuh hampir setiap orang yang mengunjungi acara Jagongan Media Rakyat 2012. Kipas angin yang menyala di ruang-ruang kelas tempat acara berlangsung rupanya tak cukup untuk mengusir rasa panas.


Namun antusias orang mengikuti acara yang diselenggarakan di kampus APMD (Akademi Pembangunan Masyarakat Desa) tersebut tetap menyala. Suasana kampus begitu penuh oleh orang-orang dari daerah yang berbeda-beda. Lampung, Cirebon, Banyumas, Bali, Pekanbaru dan lainnya. Semua tumpah di acara tersebut dan berdiskusi bersama membahas gerakan pewarta warga dan soal dunia jurnalisme yang lainnya.

Acara diselenggarakan 23-25 Februari 2012. Kampus APMD penuh oleh berbagai kegiatan yang berkaitan dengan persoalan media. 1 seminar nasional,  37 worskhop, 7 dialog, 5 pemutaran film, dan 6 sesi pementasan kesenian. Meskipun banyak acara yang digelar, tetapi tema bahasan globalnya tetap satu, “Bagaimana membangun gerakan pewarta warga?”

Salah satu sesi acara untuk menjawab pertanyaan tersebut yakni sebuah diskusi dengan tema, “Suara Komunitas; Gerakan Pewartaan untuk Perubahan Sosial.” Diskusi santai yang diadakan di ruang kelas tersebut, dihadiri oleh 30 orang yang berfokus dalam kegiatan untuk membangun media rakyat.

Tiga pemateri dihadirkan, yakni koordinator Jaringan Radio Komunitas (Jarik) Cirebon, Ahmad Rofahan, kontributor suarakomunitas.net asal Lampung Rifki, dan dari AJI Yogyakarta M. Faried Cahyono. Ketiga pemateri tersebut merupakan orang-orang yang fokus dalam mengembangkan masyarakat desa melalui kegiatan pewarta warga.

Diskusi santai namun tetap serius terjadi cukup lama. Bincang-bincang hangat terus terjadi. Tiga pemateri yang dihadirkan banyak berbicara soal pengalaman mereka selama membangun media komunitas di daerahnya masing-masing.

Achmad Rofahan, lelaki berumur 26 tahun tersebut punya cerita menarik tentang kegiatannya dalam menangani radio komunitas. Bersama beberapa rekannya, ia banyak mengadvokasi berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu kasus yang ia angkat, yakni tentang sebuah sekolah dasar yang berada di daerah Mertapadak, Cirebon.

Awalnya radio komunitas yang ia kelola mendapat laporan adanya sekolah yang tidak mempunyai bangku dan meja di ruang-ruang kelasnya. Sekolah tersebut bernama SDN Mertapadak Kulon III. Kondisi mengkhawatirkan dialami sekolah tersebut selama hampir 3 tahun. Siswa yang belajar di sekolah tersebut harus rela menjalani proses pembelajaran tanpa menggunakan meja dan bangku. Pilihan terakhir yang dipakai adalah ngampar (duduk di lantai –red) di ruang kelas.

Berbagai cara Rofahan lakukan untuk membantu mengadvokasi sekolah tersebut. Setelah mengecek kondisi di lapangan, Ia mulai dengan menyiarkan berita tersebut di radio komunitas. Tak hanya berhenti di sana, ia kemudian menulis berita tersebut dan mem-posting tulisannya tersebut di situs suarakomunitas.net. banyak respon mulai bermunculan.

Selain itu, ia juga menyebarkan berita tersebut lewat situs jejaring sosial. Mengirim berita ke instansi terkait seperti dinas pendidikan juga ia lakukan. Ditambah lagi, Rofahan turut meminta bantuan rekan-rekannya yang bekerja di media mainstream untuk mengangkat kondisi tersebut.

Hasilnya menggembirakan. Tiga media mainstream bersedia membantunya. Wartawan di media tersebut mengangkat pemberitaan tentang kondisi di sekolah itu. Sehari setelah berita tersebut diangkat, bantuan langsung datang. Hal tersebut menunjukan sebuah keberhasilan gerakan pewarta warga dalam menghasilkan perubahan sosial.

Selain kasus tersebut, Rofahan juga banyak mengadvokasi kasus lainnya. Diantaranya membantu proses pemulangan buruh migran asal Sumedang Enok Sutarsih, mengungkap berita soal kepala desa di Desa Astana Japura-Cirebon yang selama 2 tahun tidak pernah ngantor, dan kasus-kasus lainnya. Semua ia lakukan melalui pemberitaan yang ia angkat lewat radio siaran dan media lainnya. Ia melakukan hal tersebut tanpa bayaran sepeser pun.

Achmad Rofahan begitu setia terhadap pekerjaannya. Jiwa idealisme yang terpatri dalam dirinya membuat semangat untuk terus menyuarakan kebenaran tak pernah padam. Tentu saja perubahan yang didambakan tidak berjalan semudah yang dipikirkan. Rofahan bahkan pernah mendapatkan banyak teror atas pemberitaan-pemberitaan yang dibuatnya.

Cerita menarik juga bisa dilihat dari pengalaman Rifki. Lelaki kurus itu memperjuangkan masyarakat Lampung untuk mendapatkan hak mengelola hutan. Segala macam cara juga ia lakukan.

Cover both side itu tak ada. Setiap pemberitaan harus memihak. Saya memilih memihak pada rakyat yang tertindas lewat tulisan saya,” ujar Rifki

Kata-katanya begitu bersemangat. Tepuk tangan dari peserta bergemuruh. Ia melihat media mainstream sebagai “media niaga”. Setiap pemberitaan yang diangkatnya akan selalu memperhatikan kepentingan ekonomi pemilik modal, tanpa mau menyuarakan kepentingan kaum marginal. Menurutnya, jurnalisme harus jujur dan berpihak kepada korban. Rifki mencontohkan penggunaan diksi dalam pemberitaan yang tidak memihak masyarakat miskin. Misalnya, istilah “perambah” hutan yang jelas begitu menyinggung.

Berbeda dengan Rofahan dan Rifki, Nurhayati Kahar (49) punya cerita lain. Perempuan bertubuh subur yang akrab dipanggil Uniyet ini harus berjuang mati-matian dalam menjalankan perannya sebagai pewarta warga. Aktivis di Lembaga Masyarakat Mandiri (LSM) Limbubu Pariaman Sumatera Barat tersebut selalu bersikap kritis terhadap berbagai persoalan di sekitarnya. Tak jarang, ia pun mendapat banyak ancaman.

Uniyet banyak mengkritisi soal penyelewengan dana bantuan gempa di Padang Pariaman. Pemberitaan-pemberitaan yang kritis terus ia lakukan melalui media suarakomunitas.net. hasilnya cukup mencengangkan, banyak permasalahan yang akhirnya segera ditindaklanjuti oleh pihak berwajib setelah ia mengangkat berita tersebut.

Tapi tak selamanya sikap kritis dan peduli terhadap masyarakat sekitar membuahkan hasil yang menggembirakan. Sikap kritis Uniyet telah banyak membuat orang-orang yang terlibat dalam kubangan kasus tersebut merasa resah. Imbasnya, ia justru dijebak dalam skenario ‘kriminalisasi’ terhadap dirinya dan membuatnya harus mendekam di penjara selama hampir 9 bulan.

Kejadian itu berlangsung pada tanggal 28 April 2011. Sepulang pergi mengantar kerabatnya untuk urusan bisnis, mobil Avanza dengan nomor polisi BA 2258 yang ditumpanginya, dicegat polisi. Polisi kemudian melakukan penggeledahan dan akhirnya menemukan paket sabu seberat 0,3 gram di jaketnya. Padahal, ia sama sekali tidak pernah menyimpan atau memiliki barang haram tersebut. Setelah melakukan penggeledahan, polisi langsung membawanya ke sel tahanan Polresta Padang Pariaman dan dilakukan pemeriksaan.

Setelah dites urine, hasilnya negatif. Meskipun begitu, ia  tetap dipidana karena  kedapatan membawa narkoba. Sesuatu yang sebenarnya tak pernah ia lakukan. Ia divonis empat tahun penjara dan denda seratus juta rupiah. Namun Uniyet tak terima dengan putusan tersebut, dan mengajukan banding karena merasa tidak melakukan hal yang dituduhkan.

Menurutnya, ia dijebak dalam rekayasa penangkapannya. Ia menduga, penangkapannya itu terkait dengan apa yang ia lakukan terkait aktivitasnya di LSM Limbubu dan gerakan pewarta warga yang ia lakukan. Dukungan mengalir deras dari banyak pihak. Akhirnya, Uniyet divonis bebas oleh pengadilan tinggi pada tanggal 15 Desember 2011.

Akhmad Taufik  dari Sidoarjo juga melakukan hal yang serupa. Ia bersama beberapa rekannya mendirikan portal korbanlumpur.info. Ia lakukan itu semua untuk membela korban lumpur Lapindo yang tidak mendapatkan keadilan sebagaimana seharusnya. Ahmad menginformasikan tentang apa-apa yang terjadi di tempat kejadian. Hingga akhirnya, informasi tersebut menggugah banyak orang dan berhasil menggalang donasi. Donasi tersebut ia salurkan kepada 212 anak korban lumpur Lapindo untuk biaya sekolahnya.

Bertindak lokal, tapi berdampak global. Kalimat tersebut tepat diterapkan bagi pewarta warga. Mereka yang menjadi pewarta meskipun tidak bekerja di perusahaan media menjadi oase di tengah kegersangan yang terjadi. Tidak berarti harus sarjana Jurnalistik, tapi siapa pun bisa jadi pewarta. Asal ada kemauan, orang-orang biasa bisa memainkan perannya sebagai seorang pewarta warga hingga menjadikannya pribadi yang luar biasa. Bahkan, mereka bergulat seperti pendekar dalam membela masyarakat luas

Gerakan perubahan yang digagas oleh pewarta warga tidak terjadi dengan begitu saja. Perlu perjuangan ekstra untuk melakukannya. Rofahan mengatakan, pewarta warga harus berjejaring dengan banyak pihak agar gerakannya semakin kuat.

Di sisi lain, tentu saja peningkatan kualitas berita yang ditulis oleh pewarta warga harus terus dilakukan. Tentu kita berharap adanya pendekar-pendekar lain yang serius melakukan perubahan lewat gerakan pewarta warga. Seperti yang dilakukan Ahmad Taufik, Rofahan, Uniyet atau Rifki.

Sumber http://salmanitb.com