Senin, 30 April 2012

Nikah Beda Agama Bukan Hak Asasi


Meski telah difatwakan sebagai perkara yang haram, pernikahan beda agama memiliki sejumlah pendukung yang terus mendengungkan suaranya. Tak jarang, hal itu ditempatkan dalam koridor demokrasi dan HAM.


Menanggapi fenomena tersebut, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Dr H Hasanuddin AF, mengaku tak ingin memberikan reaksi berlebihan. Fatwa MUI, katanya, dibuat untuk menyejahterakan kehidupan bernegara. “Terlebih, kita adalah negara yang berketuhanan. Tanpa menaati tuntunan agama, Indonesia akan amburadul,” katanya.

Guru besar Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu menegaskan, pendidikan agama adalah hal signifikan yang dapat menjawab persoalan tersebut pada masa yang akan datang. Terkait pernikahan beda agama ini, ketua Komisi Fatwa MUI periode 2010-2015 menjelaskannya secara lebih detail dalam perbincangan dengan wartawan Republika, Devi Anggraini Oktavika. Berikut petikannya.

Menurut Anda, bagaimana menyikapi seruan segelintir orang untuk menyosialisasikan pernikahan beda agama?
MUI sudah secara jelas mengeluarkan fatwa haram bagi pernikahan beda agama. Fatwa itu berlaku, baik bagi perempuan maupun laki-laki Muslim, tanpa membedakan apakah yang ahli kitab (non-Muslim) itu pihak perempuan ataupun pihak laki-laki, pernikahan beda agama haram hukumnya.

Penetapan itu telah mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya berdasarkan Alquran dan juga sunah Rasul. MUI sepakat, mudharat pernikahan beda agama lebih banyak daripada manfaatnya. Jika kemudian muncul pihak-pihak yang berpendapat lain dan menyerukan dukungan bagi pernikahan beda agama, itu hak mereka.

Tidak ada sikap khusus selain menanggapinya sebagai hak berpendapat?
Berbicara tentang sikap atas isu ini maka kita berbicara tentang moral karena ini berkaitan dengan ketentuan agama. Bagi saya, tidak terlalu mengherankan ketika manusia melanggar fatwa ulama. Undang-undang pun dan bahkan tuntunan agama pun banyak yang tidak ditaati.

Imbauan bisa saja diberikan, tapi efeknya tentu kembali pada masing-masing individu. Yang terpenting adalah memahami dengan baik esensi pernikahan. Harus dipahami bahwa nikah itu pada dasarnya ibadah. Di dalamnya tercakup tugas menyiapkan generasi masa depan Islam yang dihasilkan dari pernikahan tadi.

Jika kemudian muncul konsep bahwa menikah adalah wujud cinta, itu adalah pemahaman yang dangkal. Islam itu luas. Semua ketentuan dan tuntunan dalam Alquran dan sunah Rasul adalah untuk kepentingan dan kebaikan manusia sendiri. Coba, apa kepentingan Allah membuat banyak aturan dalam Alquran? Tidak ada.

Apa imbauan bagi masyarakat, terutama menyikapi ‘penghalalan’ pernikahan beda agama ini?
Menurut saya, fatwa sudah cukup, yang lebih menyentuh pada filosofi dari Islam itu sendiri. Ayat 221 dari surah al-Baqarah sudah menyebutkan secara tegas, “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum me reka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Nah, kembali pada persoalan pernikahan tersebut, fatwa MUI dikeluarkan dengan tujuan menyejahterakan kehidupan bernegara. Dari pernikah an, akan lahir anak-anak sebagai keturunan dari pasangan yang menikah, yakni suami dan istri. Jika ayah dan ibu berbeda agama maka sesungguhnya keduanya mengorbankan pendidikan agama bagi si anak.

Bayangkan ketika kemudian sang anak melihat ibunya ke gereja dan melihat ayahnya ke masjid atau sebaliknya. Anak-anak yang tumbuh d ngan keadaan seperti itu akan memiliki landasan agama yang lemah. Dan itu akan memberikan dampak yang jauh lebih besar pada masa yang akan datang ketika si anak tumbuh dewasa tanpa bekal agama yang mantap.

Dalam sebuah sunah Rasul yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW mengatakan bahwa “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” Dari sini, kita bisa melihat betapa esensialnya pernikahan dalam menentukan masa depan generasi Islam.

Ketika pernikahan beda agama diposisikan sebagai hak yang harus dihargai, apa yang Anda lihat di balik fakta tersebut?
Ini gejala perang budaya. Masyarakat semakin permisif terhadap hal-hal yang jauh dari budaya timur. Pergaulan bebas adalah contoh dari sikap permisif tersebut, juga pornografi dan pornoaksi. Akibatnya, negara bisa semakin amburadul.

Selain itu, ketika berbicara tentang demokrasi atau hak asasi, kita perlu mempertanyakan, “Demokrasi seperti apa yang kita bangun? Dan hak asasi siapakah yang kita junjung dan perjuangkan?”

Dalam memperoleh haknya, manusia diharuskan menghargai hak asasi manusia lainnya, bukan? Maka, pemenuhan hak asasi tentu tidak diperkenankan jika ia merugikan orang lain. Itu baru dari hubungan kemanusiaan. Bagaimana dengan hubungan ketuhanan?

Kita berhak atas oksigen yang kita hirup setiap waktu. Dari siapa itu? Ini persoalan krusial, manusia sering mengutamakan hak asasinya atau berusaha memperjuangkan hak asasi sesamanya, namun melupakan hak asasi Tuhan. Dari semua hal yang diserahkan Tuhan kepada ma nusia untuk menjadi hak mereka, Tuhan punya hak berupa ketentuan yang harus ditaati.

Jadi, konsep demokrasi dan hak asasi tidak berlawanan dengan Islam jika tidak mengesampingkan konsep ketuhanan?
Saya rasa demikian. Jika sekarang demokrasi dan hak asasi yang banyak diserukan jauh dari nilai-nilai Islam, itu karena manusianya. Manusialah yang menjadikan demo krasi tidak Islami. Maka, pesan bagi umat Islam hanya satu, taati ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Apakah longgarnya pernikahan beda agama ini karena kurang maksimalnya peran kaum alim ulama?
Saya tidak bisa mengatakan demikian. Namun, menurut saya, itu adalah salah satu faktor di antara sejumlah faktor penyebab lainnya. Pe rang budaya adalah kondisi yang tidak dapat dihindari sehingga ia adalah tantangan. Tantangan bukan untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi dengan cara memperkuat diri. Dan itu hanya mungkin dengan fondasi agama.

Dengan fondasi yang kuat, bangunan budaya dan keyakinan umat Islam akan mampu bertahan meski di tengah terjangan perang budaya yang parah sekalipun. Dan sebaliknya, tanpa itu, kita ibarat orang yang tidak dapat berbuat apa-apa ketika rumah atau kamar kita dimasuki oleh orang asing.

Kaum alim ulama dituntut untuk tidak hanya berkutat pada hal-hal terkait keulamaannya. Forum-forum komunikasi ulama sudah ada, tinggal dimaksimalkan. Dakwah dan syiar Islam di Indonesia memerlukan ma najemen dan konsep yang matang, yang tentunya disesuaikan dengan kondisi masyarakat.

Saya menyayangkan bahwa saat ini masih banyak dai yang belum mampu menyentuh hati jamaah atau umatnya. Padahal, dakwah bertujuan menghasilkan perubahan pada umat yang menjadi sasarannya. Dan niat serta langkah menuju perubahan tersebut dimulai dari hati.

Apa harapan Anda?
Pertama, saya ingin menegaskan bahwa hal penting dalam kehidupan adalah agama. Karena itu, pendidikan yang paling penting sebagai bekal kehidupan adalah pendidikan agama. Kini, semakin banyak orang tua yang menyekolahkan anakanaknya di sekolah-sekolah mahal bertaraf internasional, namun melupakan pendidikan agama bagi mereka.

Yang lebih penting lagi adalah lingkungan keluarga di mana orang tua mula-mula men-setting pendidikan agama. Orang tua diharapkan memberikan teladan keagamaan yang baik bagi anak-anaknya. Di sini, pernikahan beda agama tentu menyumbang mudharat bagi pendidikan agama yang dibutuhkan oleh anak.

Kedua, saya ingin mengingatkan umat Islam untuk tidak mengesam pingkan aspek ketuhanan saat ber bicara demokrasi ataupun hak asasi. Sebagai bangsa berketuhanan, kita akan menghancurkan negara kita sendiri jika terus-menerus berteriak tentang hak asasi manusia dan melupakan hak asasi Tuhan. Dan sebagai umat Islam, kita akan hancur jika terus menjauhi Alquran dan sunah Rasul.

Terakhir, tentu saya berharap, para dai terus memaksimalkan fungsi dakwah mereka serta meningkatkan kualitas dari dakwah itu sendiri melalui berbagai media, termasuk media kreatif. Dengan manajemen yang terarah, dakwah diharapkan dapat terus memenuhi tuntutan masya rakat dan serta tuntutan zaman.
Sumber  http://www.republika.co.id