James D.
Frankel adalah seorang profesor bidang perbandingan agama dan sekarang mengajar
di Universitas Hawai. Di universitas itu, Frankel juga mengajar mata kuliah
tentang Islam dan ia
sendiri adalah seorang mualaf.
Dari
kediamannya di Honolulu, Hawai, Profesor Frankel berbagi cerita tentang perjalanannya
menjadi seorang muslim.
Sebelum
pindah ke Hawai dua tahun yang lalu, Frankel menetap di New York, kota tempat
ia dilahirkan dan dibesarkan. Frankel tumbuh dalam lingkungan keluarga bahagia.
Orang tuanya tidak menerapkan ajaran agama tertentu dan hanya menanamkan
nilai-nilai moral, meski sebenarnya keluarga Frankel memiliki latar belakang
Yahudi.
Satu-satunya
koneksi yang pernah menghubungkannya dengan soal agama adalah nenek dari pihak
ayahnya, yang masih menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi. Dari neneknya
itulah, Frankel belajar sedikit tentang kisah-kisah dalam alkitab dan
kisah-kisah nabi.
Orang tua
Frankel pernah mengirimnya ke sekolah Yahudi agar Frankel bisa belajar banyak
tentang agama Yahudi. Tapi itu tidak berlangsung lama karena Frankel merasa
tidak nyaman di sekolah itu, dan sebenarnya ia dikeluarkan dari sekolah karena
terlalu banyak bertanya.
"Mungkin
itu sudah karakter saya. Sampai sekarang, sebagai seorang muslim dan seorang
prfesor, saya tetap jadi orang yang banyak tanya," ujar Frankel.
Jadilah ia
tumbuh remaja tanpa basis ajaran agaman apapun. Di usia remaja, Frankel punya
dua pengalaman yang menurutnya menjadi pengalaman hidup yang penting. Pada usia
13 tahun, Frankel membaca manifesto Karl Marx dan ketika itu ia memutuskan untuk
menjadi seorang komunis. Ia terkesan dengan filosofi komunis yang menurutnya
bisa menyejahterakan semua orang.
Pada usia
itu juga, Frankel merasa untuk pertama kalinya mulai mendengar tentang agama
Islam. Karena sekolah di sekolah internasional, Frankel punya teman dari
berbagai negara. Salah satu teman baik Frankel saat itu seorang siswa muslim
asal Pakistan. Temannya itu memberikan Al-Quran dan ingin Frankel membacanya.
"Saya tidak mau kamu masuk neraka," ujar Frankel menirukan ucapan temannya saat memberikan Al-Quran.
Frankel
mengatakan, selama hidupnya ia tidak pernah memikirkan soal neraka. Ia hanya
menerima Al-Quran itu dan menyimpannya di rak buku selama bertahun-tahun.
Frankel tidak pernah membuka-bukanya.
Beberapa
tahun kemudian, Frankel menjadi ragu dengan komunisme yang dianutnya setelah
melihat bagaimana prinsip komunisme di praktekkan di banyak negara. Ia lalu
memutuskan untuk tidak lagi menjadi seorang komunis.
Frankel
mengungkapkan, sejak kecil sebenarnya ia sudah memikirkan tentang apa makna
hidup ini sesungguhnya; mengapa ia ada di dunia ini, kemana ia akan menuju dan
mengapa ada orang yang menderita. Tapi pikiran-pikiran hanya mengendap di
kepalanya, hingga beranjak dewasa dan kuliah, Frankel hanya memfokuskan
aktivitasnya pada belajar. Hingga ia mengalami hal yang akan membawa perubahan
padanya, kematian nenek dimana Frankel pernah belajar tentang Alkitab dan kisah
nabi-nabi.
Kematian
Nenek yang Mendadak
Pengalaman
ini menggetarkan hati Frankel. Betapa tidak, sehari sebelum ia menerima kabar
kematian sang nenek, Frankel dan neneknya sempat menikmati makam malam. Waktu
itu, Frankel masih mahasiswa dan tinggal di Washington DS, ia mendapat kejutan
berupa kunjungan nenek, bibi dan seorang sepupunya.
Frankel
menghabiskan waktu sepanjang sore berbincang-bincang dengan neneknya. Frankel
menceritakan keinginannya untuk pindah kuliah dan memperdalam studi tentang
China. Malamnya, Frankel, nenek, bibi dan sepupunya pergi keluar untuk makam
malam. Frankel tidak melihat tanda-tanda bahwa itulah malam terakhir ia bertemu
dengan neneknya. Setelah makan malam, Frankel diantar pulang ke asrama.
Pagi
dinihari, Frankel dikejutkan oleh dering telepon dari sepupunya, mengabarkan
bahwa nenek meninggal dunia. Franke kaget dan tak percaya. Sepupunya bilang,
nenek terkena serangan jantung saat tidur. Frankel langsung terbayang kembali
pertemuan dengan neneknya semalam, ia tak menyangka neneknya akan
"pergi" secepat ini.
Frankel
pulang ke New York untuk menghadiri pemakaman neneknya. Pemakaman dilakukan
dengan tradisi Yahudi. Pada Rabbi yang memimpin pemakaman, Frankel menanyakan
tentang tradisi yang dilakukan keluarga Yahudi saat salah satu anggota keluarga
meninggal dunia. Ia menanyakan, mengapa saat pemakaman, Rabbi mengatakan bahwa
nenek sudah diambil kembali oleh Tuhan.
"Lalu
dimana nenek sekarang? Setelah diambil Tuhan, kemana nenek pergi? kemana kita
juga akan pergi, dan mengapa kita ada di dunia ini," tanya Frankel pada
Rabbi ketika itu.
Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, sang Rabbi, ungkap Frankel, melihat jam tangannya dan berkata, "Saya harus pergi" tanpa memedulikan betapa marahnya Frankel mengalami hal semacam itu, pertanyaan-pertanyaannya sama sekali tak dijawab.
Mencari
Kebenaran
Frankel
mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya itu. Saat itu, usia
Frankel masih 19 tahun. Ia mengunjungi komunitas Yahudi, tapi jawaban yang
diberikan tidak memuaskannya. Orang-orang Yahudi itu mengatakan, Tuhan--yang
ingin diketahui Frankel--adalah satu-satunya Tuhan milik orang Yahudi.
Akhirnya,
Frankel memutuskan untuk belajar sendiri. Ia mulai membaca isi Alkitab. Saat
berkunjung ke Inggris, ia didekati oleh sejumlah orang penganut Kristen
Evangelis. Tentu saja orang-orang itu ingin menarik Frankel sebagai penganut
Kristen Evangelis, dan Frankel berpikir untuk mencobanya.
Saat membaca
Alkitab, Frankel merasakan cinta yang kuat dan penghormatan terhadap Yesus.
Tapi yang tidak bisa diterimanya, Alkitab menyuruhnya menerima Yesus sebagai
Tuhan dan penyelamatnya. Bagi Frankel, Yesus tidak lebih seperti kakak kesayangan
atau seperti seorang guru. Lagi-lagi Frankel merasa tidak menemukan jawaban
yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaannya tentang ketuhanan.
Frankel
kembali mempelajari hal-hal lainnya, mulai dari filosofi agama Budha, filosofi
Yunani, Romawi dan sejarah. Tapi semuanya belum menjawab pertanyaan Frankel.
Saat kembali ke New York dari Inggris, Frankel bertemu dengan beragam pemuka
agama. Ia mencoba berdiskusi dengan mereka soal agama, meski ia sendiri
skeptis.
Interaksi
dengan Al-Quran dan Menjadi Muslim
Interaksinya
pertama Frankel dengan Quran berawal ketika ia bertemu dengan para aktivis
Nation of Islam. Salah seorang diantara aktivis itu memberinya salinan Surat
Al-Kahf beserta terjemahannya. Frankel membawa salinan salah satu surah dalam
Quran itu ke rumah, dan ia teringat akan Al-Quran yang pernah diberikan
temannya enam tahun yang lalu.
Frankel
mulai membaca isi Al-Quran lembar demi lembar. Frankel merasakan sesuatu yang
berbeda dibandingkan ketika ia membaca Alkitab. Membaca Quran, Frankel merasa Tuhan
sedang bicara langsung padanya. Di satu titik, Frankel pernah sampai meneteskan
air mata, merinding, ia merasa bulu kuduknya berdiri, saat membaca isi
Al-Quran.
Januari
1990, Frankel bertemu dengan teman-temannya semasa sekolah menengah. Mereka
minum kopi sambil berbincang menanyakan kabar masing-masing. Seorang teman yang
tahu bahwa dulu Frankel adalah seorang komunis bertanya, "Apa yang kamu
yakini sekarang?" dan spontan Frankel menjawab, "Yah, saya percaya
pada Tuhan. Hanya ada satu Tuhan."
Jawaban itu
tentu saja membuat teman-temannya terpana. Mereka bertanya, darimana Frankel
tahu bahwa Tuhan itu satu. Frankel menjawab, ia tahu dari Al-Quran. Salah
seorang temannya yang muslim menanyakan apakah Frankel membaca Quran, dan oleh
sebab itu, Frankel pun harus percaya bahwa Quran adalah pesan-pesan Allah dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Frankel menjawab "ya", ia percaya
Muhammad utusan Allah. Temannya lalu mengatakan, maka Frankel sudah menjadi
seorang muslim.
Frankel
hanya tertawa mendengar perkataan temannya yang asal Pakistan itu. "Saya
seorang muslim? Kamu yang muslim, kamu dari Pakistan. Saya cuma orang yang
percaya pada Tuhan," tukas Frankel.
Tapi
temannya bersikeras, "Tidak, kamu adalah seorang muslim. Kamu percaya
tidak ada Tuhan selain Tuhan yang satu dan percaya bahwa Muhammad adalah utusan
Allah. Maka, kamu adalah seorang muslim."
Frankel syok
mendengar perkataan sahabatnya itu.
Selama
beberapa hari kemudian, ia memikirkannya. Frankel memutuskan untuk menelpon
Mansour, teman yang dulu memberinya Al-Quran. Mansour kuliah di Pennsylvania
dan bekerja di Asosiasi Mahasiswa Muslim di sana. Frankel meminta Mansour
mengirimkan literatur-literatur tentang Islam dan persyaratan untuk menjadi
seorang muslim.
Mansour mengiriminya sekira dua buku. Dari buku-buku itu, Frankel membaca tentang rukum Islam, bagaimana caranya salat, wudu dan ucapan dua kalimat syahadat.
Frankel
mulai mempraktekkan salat diam-diam di kamarnya--karena waktu itu ia sudah
tinggal lagi dengan orang tuanya--bahkan untuk pertama kalinya ia ikut berpuasa
di bulan Ramadan. Kondisi itu berlangsung hampir 8 bulan, dan itulah kehidupan
pertamanya sebagai muslim.
Frankel tak
bisa menyembunyikan keinginannya lagi. Ia menceritakan semua pada orang tuanya bahwa
ia ingin menjadi seorang muslim. Ibunya bereaksi keras, menangis dan menanyakan
mengapa semua ini bisa terjadi.
Hubungan
Frankel dengan kedua orang tuanya jadi kaku. Frankel mencoba meyakinkan ayah
ibunya bahwa ia menjadi mahasiswa dan manusia yang lebih baik setelah memeluk
Islam.
"Alhamdulillah,
kedua orang tua saya akhirnya menerima keislaman saya. Buat saya, ini adalah
perjalanan selama hampir 20 tahun dan hanya Allah yang tahu, bagaimana dan
kemana semua ini akan berakhir," ujar Frankel.
"Maka
pesan saya bagi para mualaf maupun mereka yang sudah lama menjadi muslim, untuk
selalu bersabar dan lihatlah kejutan yang akan diberikan Allah pada kita, bukan
dengan ketakutan tapi dengan cinta dan harapan," tukas Frankel. (kw/oi)
Sumbe http://www.voa-islam.com