Selama
ini, ternyata aparat kepolisian di daerah merasakan keresahan akibat
sikap brutal Densus 88. Mereka gelisah karena khawatir menjadi sasaran balas
dendam oleh masyarakat.
Hal
ini disampaikan Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana
Terorisme Komnas HAM, Siane Indriani dalam Diskusi Publik PP
Muhammadiyah, yang mengusung tema Memberantas Terorisme tanpa Teror dan
Melanggar HAM.
“Sebenarnya
kegelisahan yang sama itu terjadi di teman-teman kepolisian di Poso,” kata
Siane Indriani di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/4/2013).
...Ada semacam kegelisahan bahwa
pola-pola yang dilakukan Densus 88 tidak pernah melakukan koordinasi dengan
polisi di daerah.
Siane
menambahkan, terkadang aparat kepolisian di daerah seolah merasa dirinya
dikorbankan.
“Saya
juga diskusi dengan teman-teman kepolisian, wartawan. Mereka secara informal
juga menyampaikan kepada kami, ini siapa lagi yang dikorbankan?” tuturnya.
Sementara,
pihak Densus 88 ketika melakukan operasi tidak pernah melakukan koordinasi
kopolisian di daerah. Hal ini menyulitkan mereka tatakala harus menjawab
pertanyaan maupun memberikan keterangan terkait korban misalnya.
“Ada
semacam kegelisahan bahwa pola-pola yang dilakukan Densus 88 tidak pernah
melakukan koordinasi dengan polisi di daerah. Beberapa Kapolda mengeluhkan ketika
kemudian ditemukan korban, mereka hanya mengatakan; kami tidak punya hak untuk
mengapa-apakan korban. Hanya melabeling, kemudian kalau ada pertanyaan dari
keluarga korban kita tidak bisa menjawab, silahkan langsung ke Densus,”
jelasnya.
...Masyarakat awam tidak bisa
membedakan mana Densus mana aparat lokal. Sehingga bisa jadi nanti mereka akan
melimpahkan kemarahan mereka kepada kami
Kemudian
yang paling ditakuti kepolisian daerah adalah mereka menjadi sasaran kemarahan.
Sebab, umumnya masyarakat tak bisa membedakan mana Densus dan mana aparat
lokal, yang mereka tahu baik Densus atau aparat lokal adalah sama-sama polisi.
“Sebetulnya
dengan kekerasan-kekerasan semacam itu, membuat mereka juga takut. Karena apa?
Mereka di situ juga sebagai aparat organik yang setiap hari berhubungan dengan
masyarakat. Ketika ada kejadian itu masyarakat awam tidak bisa membedakan mana
Densus mana aparat lokal. Sehingga bisa jadi nanti mereka akan melimpahkan
kemarahan mereka kepada kami,” ungkapnya. [Ahmed Widad]