MUNGKIN Anda belum terlalu familiar
pada nama Billy Sidis, lengkapnya William James Sidis. Dia adalah anak Prof Dr
Boris Sidis, orang Yahudi yang sangat mengagumi William James, seorang ahli
psikologi.
Secara intelektual, Billy Sidis luar
biasa cerdas. IQ-nya 200, jauh di atas Albert Einstein. Sidis di usia 1 tahun 6
bulan sudah bisa membaca New York Times. Usia 5 tahun sudah mampu menulis karya
ilmiah tentang anatomi dan astronomi. Usia 8 tahun menguasai 8 bahasa.
Kemampuan Sidis dalam berbahasa pun
amatlah dahsyat. Bayangkan saja, ia bisa mempelajari bahasa baru hanya dalam
satu hari hingga total sekitar 200 bahasa di dunia dikuasainya!
Ketika umur 11 tahun, Sidis kuliah
di Havard University, universitas terkemuka di dunia yang terkenal dengan
orang-orang cerdasnya. Itupun dia masuk di kelas mahasiswa berbakat. Pada usia
14 tahun, Sidis telah memberi kuliah di universitas yang sama. Ia lulus sebagai
sarjana matematika di usia 16 dengan predikat cumlaude.
Pertanyaannya kemudian adalah, apa
yang diperoleh dari kejeniusannya? Ternyata, jenius nan “sempurna” yang
dimiliki Sidis tidak memberikan manfaat apapun. Memang, ia mampu berpikir rumit
dan memecahlan aneka masalah akademis, jauh melampaui anak-anak seusianya dan
bahkan lebih unggul dibandingkan orang-orang dewasa. Tapi perkembangan sosial,
emosional dan komunikasinya tidak sejalan dengan kemampuan kognitifnya.
Kemampuan intelektual luar biasa yang ia miliki tidak mampu menolongnya untuk
bisa berperilaku lebih matang dan dewasa sesuai usianya.
Dan apa yang terjadi? Sidis memilih
untuk menarik diri dari se mua dinamika dunia akademis, dan ia bekerja sebagai
tukang cuci piring sampai akhir hayatnya! Ia tidak mempunyai istri, pun tak
pula pernah diberitakan memiliki pacar.
Konon sosok Sidis ini adalah
“kelinci percobaan” sang ayah, Boris Sidis. Ia menjadi objek eksperimen Boris.
Boris menerapkan sistem pendidikan model baru kepada anaknya, demi menyanggah
sistem pendidikan konvensional yang dianggap sebagai biang keladi kejahatan.
Sayangnya mental Sidis tidak tahan atas perlakuan lingkungan terhadapnya dan ia
pun merasa lelah mbelajrenjadi proyeksi dari ambisi sang ayah.
Ternyata, menjadi jenius saja tidak
cukup untuk membuat seseorang bertahan hidup. Masa kecil harus dilalui dengan
semestinya. Jangan sampai kita mengurangi hak anak kita untuk bermain, dan
terobsesi menjadikannya anak pintar yang terus-terusan menekuni buku dan les
dari pagi hingga petang.
Dari sahabat Abu Hurairah,
Rasulullah pernah bersabda, “Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah dari mukmin
yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap
hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan
merasa malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah “Qodarulloh
wa maa syaa’a fa’al, Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki
pasti terjadi,” (HR. Muslim). [islampos/calista13]