”Yang
paling ujung Nak Podo. Sebelahnya Nak Toni. Keduanya dari Madiun. Di
sampingnya Nak Agus dari Tulungagung. Terus Nak Rizal dan Nak Tono dari
Pekalongan. Nak Syaifuddin dari Cirebon. Nak Didit dari Bogor. Nak Udin
dari Karawang. Dan yang paling ujung Nak Fauzi, putra saya, yang sudah
kepingin kawin,” jelas pak AR yang tak lupa menyelipi ”humor”
memperkenalkan kami- anak-anak kos- kepada tamunya seusai salat.
Kemudian, ia pun memperkenalkan tamu-tamunya kepada kami. Dan kultum
-kuliah tujuh menit- pun dimulai.
Kultum
adalah acara rutin kami setiap habis salat. Terutama usai salat Maghrib
dan Subuh, ketika semua teman-teman kos pada kumpul. Yang memberi
kultum pak AR. Tapi sesekali beliau meminta salah seorang di antara kami
atau tamunya untuk memberi kultum juga.
Rumah
Pak AR, di Jl. Cik Di Tiro 79 A, memang sangat strategis, hanya 200 m
dari kampus UGM. Seperti orang Yogya umumnya, Pak AR pun menyediakan dua
kamar di rumahnya untuk kos-kosan. Karena kamarnya besar, maka satu
kamar diisi empat orang.
Yang
kos di rumah Pak AR bukan hanya mahasiswa putra kalangan Muhammadiyah.
Ada juga dari kalangan NU. Bahkan ada juga di antaranya berasal dari
kalangan abangan. Tak mengapa. Pak AR tak mensyaratkan apa-apa bagi
calon anak-anak kosnya, kecuali disiplin dan bersedia salat jama’ah
bersama. Itupun kalau sedang ada di rumah.
Yamaha Butut
Terus
terang, tahun 1979 - 1980 an, waktu kos di rumah Pak AR, saya belum
kenal dengan apa itu politik, organisasi Islam, dan kegiatan sosial. Kos
di rumah Pak AR pun sebetulnya tak sengaja. Ketika sedang mencari rumah
kontrakan, seorang teman memberi tahu, ada tempat kosong di situ. Saya
pun melamar, lalu diterima.
Sampai beberapa waktu tinggal di rumah Pak AR, saking blo’onnya,
saya tidak tahu kalau beliau adalah orang besar. Saya tak tahu kalau
beliau pimpinan Muhammadiyah yang punya ratusan perguruan tinggi itu.
Padahal waktu itu saya amat mengagumi tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti
Dr. Amin Rais, Dr. Syafi’i Ma’arif dan Habib Chirzin yang sering ceramah
di Gelanggang Mahasiswa UGM.
Kehidupan
Pak AR yang amat bersahaja dan cara bicaranya yang sederhana itulah
yang membuat saya tak mengira kalau beliau adalah orang penting level
nasional. Baru ketika menjelang liburan Idul Fitri, setelah saya melihat
di meja depan kamar saya banyak kartu lebaran untuk Pak AR, di
antaranya dari Presiden Soeharto, saya pun berpikir, siapa sebenarnya
Pak AR itu. Apalagi ketika datang serombongan crew TV NHK Jepang yang
mewawancarai Pak AR, saya makin penasaran.
Sayapun
tanya kepada Mas Supodo, mahasiswa FT Kimia UGM dan paling senior di
antara kami. Mas Podo dengan logat Madiunnya yang medhok, bilang, ”Tahu
nggak, Pak AR itu pernah ditawari jadi Menteri Agama oleh Pak Harto,
sebelum Mukti Ali, Alamsyah dan Munawir Syadzali? Tapi beliau degan
halus menolaknya. ”Saya kaget dan melongo! ”Tahu nggak, pimpinan Astra
Motor pernah datang kesini mau memberi hadiah mobil sedan Toyota
terbaru, tapi ditolak Pak AR dengan halus. Pak AR adalah orang besar,”
kata Mas Podo.
Setelah
itu, baru saya tahu siapa Pak AR yang ”tetap setia” dengan Yamaha
bututnya, tahun 70-an, yang berwarna merah kusam itu. Kemanapun pergi,
beliau memakai Yamaha itu. Kadang beliau harus menunggu kedatangan mas
Fauzi dari kampung yang membawa motor tadi.
Maklum,
hanya motor itulah yang dipakai keluarga Pak AR. Putra-putrinya yang
masih tinggal bersama saat itu –Mas Fauzi, yang mahasiswa Kedokteran
UGM, dan Mbak Was, yang mahasiswi Fisipol UGM dan kemudian menikah
dengan teman kos kami Agus Purwantoro dari Tulungagung – juga memakai
Yamaha tersebut.
Bahkan
kadang-kadang motor itu juga dipakai pembantunya untuk kulak bensin. Di
depan rumahnya, iseng-iseng keponakan Pak AR yang dari Bantul,
berjualan bensin. Memanfaatkan rumah pinggir jalan.Sering saya lihat,
Pak AR dan ibu berboncengan di atas Yamaha butut yang jok nya sempit ke
sebuah pertemuan. Bu AR terpaksa harus memegang erat-erat bahu Pak AR,
supaya tak jatuh. Begitulah Pak AR dengan Yamaha bututnya yang sampai
saya lulus masih setia dengannya.
Rumah
Pak AR, yang konon ”warisan” Depag setelah beliau pensiun dari jabatan
Kepala Penerangan Agama Islam Propinsi DI Yogyakarta, jauh dari mewah.
Rumah itu memang cukup besar, ada garasinya. Tapi karena tak ada mobil,
garasi itu tidak terpakai.
Untuk
keperluan anak-anak kos, di bagian belakang dibangun tiga kamar mandi.
Sedang dapur dan mushalanya bergandengan, hanya dipisah pintu. Dari
mushala inilah saya tahu betul apa saja yang dimasak keluarga Pak AR.
Dari situ kelihatan menu makanan untuk Pak AR sama dengan menu makanan
anak kos-kosan yang sederhana. Hanya nasi dan lauk pauk ala kadarnya.
Udin, teman kos mahasiswa Fakultas Kedokteran yang orang tuanya cukup
kaya, karena tak puas makan di tempat kos, sering mengajak saya makan di
restoran Padang.
Kyai Yang Merakyat
Pak
AR adalah kyai yang sangat merakyat. Ia paling senang kalau diundang
ceramah di kalangan masyarakat kecil di lembah kali Code dan
kampung-kampung pinggiran Yogya. Suatu kali, dalam kultum, ia
menjelaskan kenapa ia sering ceramah di kalangan orang kecil dan miskin,
”Karena itulah sunnah Nabi,” katanya. Pengikut Islam pertama-tama
adalah kalangan bawah, miskin dan budak belian. ”Karena itu,” jelas Pak
AR, “Sebagai da’i jangan terlalu berharap pada orang-orang besar dan
kaya. Bukankah Nabi Muhammad pernah mendapatkan teguran karena
menyepelekan orang kecil demi berdakwah untuk orang besar ?” gugahnya.
Lalu iapun menjelaskan kisah Abdullah bin Ummi Maktum yang meminta
dijelaskan tentang Islam, sementara Rasul lebih berharap dakwahnya
diterima pembesar Quraisy yang saat itu berada di hadapannya.
Ceramah
Pak AR memang sederhana. Logikanya pun sederhana. Tapi justru itulah
kekuatannya, karena beliau menyampaikannya dengan suara yang tulus.
Banyak orang menganggap ceramah Pak AR banyak humornya. Tapi saya tahu
humor yang muncul di ceramah Pak AR itu benar-benar tidak disengaja
–semata-mata karena logikanya yang sederhana dan merakyat. Suatu ketika,
dalam suatu ceramah di Masjid Syuhada Yogya, beliau menjelaskan tentang
hebatnya ular tongkat Nabi Musa. ”Ular-ular ahli sihir sewaan Fir’aun
itu ditelan, satu per satu –seperti orang menelan lemper.” katanya
dengan nada biasa. Tapi jama’ah pun gerrrr.
Dalam
tanya jawab di Ramadhan in Campus UGM, Pak AR wanti-wanti agar
mahasiswa yang suka berfikir filosofis jangan terlalu rasional dalam
menanyakan masalah-masalah agama. ”Saya takut nanti ada yang tanya,
kenapa sholat shubuh dua rakaat, padahal waktu subuh kan orang masih
segar dan tenaganya kumpul. Nah bagaimana saya bisa menjawabnya ?” kata
Pak AR. ”Tapi nanti ada juga mahasiswa yang menjawab, ”ya karena yang
paling duluan bangun di pagi hari kan ayam, dan karena ayam kakinya dua,
maka salat subuh pun dua rakaat,” kata Pak AR yang langsung disambut
gerrr mahasiswa.
Begitulah
dakwah Pak AR, sederhana dan merakyat. Tidak menggadaikan prinsip.
Suatu ketika beliau bercerita bahwa dirinya baru saja pulang dari sebuah
propinsi di Luar Jawa. Ranting Muhammadiyah setempat sengaja
mengundangnya untuk menyelesaikan konflik antara da’i cabang
Muhammadiyah setempat dengan pemerintah. Ternyata kata Pak AR, ”Tidak
ada masalah, cuma salah paham. Setelah saya berbicara dengan
Pangdam-nya, ternyata persoalannya beres”.
”Mosok
sih, kita mencurigai niat para pemimpin bangsa kita yang kebanyakan
beragama Islam ?” kata Pak AR. ”Saya tidak percaya kalau pemerintah
memusuhi umat Islam. Kecurigaan dan ribut-ribut itu sebetulnya terjadi
karena kurangnya komunikasi dan bicara dari hati ke hati,” lanjutnya.
Apa
buktinya? Pak Harto dan Orde Baru adalah penyumbang terbesar dalam
pembangungan sekolah-sekolah Muhammadiyah seluruh Indonesia. ”Belum lama
ini Pak Harto sudah berjanji pada saya untuk menyumbang pembangunan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,” katanya. Dan benar, UMY pun kini
berdiri megah.
Pak
AR memang dekat dengan Pak Harto. Beliau pernah bercerita, kalau
menyurati Pak Harto beliau selalu menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil.
”Pak Harto orangnya amat halus. Jadi kalau bicara dengan beliau harus
dengan menggunakan bahasa yang halus,” jelas Pak AR.
Ya
itulah Pak AR. Dekat dengan umat dan dekat dengan pemerintah. Meski
demikian beliau tak pernah menggadaikan prinsip hidupnya hanya karena
jabatan dan kekayaan. Dalam berdakwah pun, beliau tak mengharapkan
apa-apa selain keridlaan Allah. Logika sementara orang di kota-kota
besar, bahwa seorang da’i harus kelihatan mentereng, gagah dan kaya
supaya dihormati dan dakwahnya didengar, tak ada dalam benak Pak AR.
Rupanya
Pak AR, yang dedengkot Muhammadiyah itu, betul-betul meresapi
pernyataan Imam Syafi’i. Yakni dalam hati manusia, tak mungkin
bersemayam dua unsur cinta yang saling bertentangan’ cinta kepada Allah
dan cinta kepada harta. Dan Pak AR memilih yang pertama.
Selamat
memasuki kehidupan yang sebenarnya Pak AR. Kami iri dengan kesahajaan
dan ketulusan Bapak dalam berjuang yang kini makin langka. Kami yakin,
Allah telah mempersiapkan tempat yang sebaik-baiknya di ”sana” untuk
Bapak. Pak AR pasti lebih berbahagia di ”sana”.
Catatan:
Tulisan
ini dibuat oleh Syaifudin Simon dalam buku Pak AR, Profil Kyai Yang
Merakyat. Sebuah buku yang berisi kompilasi pesan orang-orang dekat Pak
AR untuk mengenang kepergian beliau. Beliau termasuk salah satu ulama
Muhammadiyah yang diterima oleh semua kalangan, termasuk oleh kalangan
Nahdhatul Ulama, sebagaimana halnya Buya Hamka. Atau Kyai Syaifuddin
Zuhri dan Kyai Syukri Ghazali dan NU.