Untuk
mengubah energi matahari menjadi listrik, atap mobil tersebut dipasangi
panel. Meski desainnya terbilang sederhana, prototipe kendaraan yang
diberi nama Jangkrik itu mampu melaju kencang di jalanan.
Dalam kondisi tanpa sinar matahari, mobil yang berkecepatan maksimal 50 kilometer/jam tersebut tetap bisa dijalankan meski hanya bertahan 1-1,5 jam. ''Kalau ada sinar matahari bisa lancar jalan terus,'' jelas Kepala MA Fatwa Alim Nur Sucipto kemarin (23/4).
Mobil tenaga surya itu merupakan karya 15 siswa yang mengikuti keterampilan sekolah otomotif dan eletronik. Kendaraan tersebut tidak mengeluarkan gas emisi sehingga tidak mencemari udara. ''Sangat murah karena tidak memerlukan BBM (bahan bakar minyak, Red),'' paparnya.
Guru pembimbing perakitan mobil Fajar Eko Nugroho menambahkan, pembuatan mobil tenaga surya itu menghabiskan dana sekitar Rp 15 juta. Jumlah tersebut sudah termasuk uji coba (test drive). ''Kami bekerja sama dengan Free Energy Indonesia dalam pembuatan mobil ini,'' ungkapnya.
Mobil yang berkapasitas satu penumpang itu, lanjut Fajar, masih akan disempurnakan, baik kecepatan maupun daya angkutnya. ''Kalau memungkinkan, bisa saja nanti dikomersialkan,'' jelasnya kepada Jawa Pos Radar Madiun.
Fajar menyatakan, meski bukan lembaga pendidikan kejuruan, pihaknya bakal terus melakukan inovasi berbasis teknologi. Tujuannya, selain agar tidak ketinggalan jauh dengan sekolah yang lebih populer, berkecimpung di dunia teknologi dirasa sangat penting bagi perkembangan pendidikan di madrasahnya.
Sekolahnya, kata Fajar, juga bakal mengembangkan charger tanpa kabel. Menurut bocorannya, alat itu memanfaatkan frekuensi yang disalurkan ke benda elektronik seperti handphone, laptop, dan alat yang membutuhkan peranti charger lainnya. ''Ini sudah dikembangkan. Nanti kalau sudah berhasil, akan segera kami uji coba,'' katanya. (tyo/isd/any)