Akhir-akhir ini,
menjelang pemilihan umum 09 April mendatang, media tidak hanya meliput
aktivitas para calon anggota legislatif, ada sebagian media elektonik dan
online meliput tentang isu yang menurut saya biasa saja. Sebagai warga negara
yang baik, semenjak diberikan hak pilih
saya tetap memilih menurut hati nurani.
Istilah golput atau
golongan putih atau tidak memilih ini menurut saya hanya dibuat oleh
orang-orang yang merasa diri sangat hebat. Istilah yang diciptakan oleh orang
yang tidak punya kepercayaan terhadap orang lain ini, tentu saja menjadi sebuah
kerugian bagi bangsa dan negara. Sayangnya, golput ini hanya diagung-agungkan
oleh mereka yang sudah mendapatkan gelar di belakang mau di depan namanya. Sayang
sekali, orang yang seharusnya membangun bangsa dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya malah membuat kisruh suasana. Teori golput menurut mereka beragam,
ujung-ujungnya usai pemilihan umum mereka malah mengkritik calon terpilih.
Bicara golput, kita
akan melihat seluruh pemilih. Benarkah golput terjadi di seluruh Indonesia?
Ternyata tidak, golput
ini hanya milik mereka yang pintar saja. Survei tidak valid yang saya lakukan
memang tidak bisa dijadikan patokan, tetapi memang beginilah adanya. Orang yang
berhak mensurvei masalah ini tidak memilih melakukannya seperti LSI yang sibuk
dengan siapa yang menang dan kalah. Sehingga masalah golput lantas disama ratakan
oleh media yang memberitakannya.
Di daerah pedalaman, daerah
saya sendiri misalnya tidak ada yang mengenal istilah golput. Seluruh warga
yang sudah terdaftar memiliki hak memilih mau tidak mau tetap akan mencoblos
pilihannya. Masyarakat yang tidak datang ke TPS karena alasan tertentu misalnya
sakit maupun sudah tua, ada tim yang mendatangi rumah mereka begitu pemilihan
usai di TPS. Tim yang menenteng kotak suara tersebut bisa berlangsung sampai
sore bahkan malam, sebelum daftar pemilih tercoret semua dilampiran mereka
kotak suara itu terus berjalan. Saya tidak tahu apakah di daerah lain berlaku
sistem demikian, data pemilih yang sudah memilih benar-benar dijaga telah
memilih atau tidak. Seharusnya memang demikian adanya, tim yang sudah
ditentukan menjadi panitia di hari memilih tersebut harus benar-benar mencatat
maupun mencoret nama yang sudah maupun belum memilih. Alternatif yang dilakukan
dengan mendatangi pemilih merupakan salah satu cara yang tepat menghilangkan
golput di negeri Indonesia ini.
Istilah golput seakan
sudah direkayasa oleh orang-orang tertentu saja. Orang-orang kampung yang
jarang menonton berita maupun membaca media massa online dan cetak tidak
memusingkan kepala dengan golput. Bagi mereka, pemilihan umum adalah memilih. Dan
orang kota, yang merasa diri sangat hebat, pintar dengan gelar sarjana maupun
professor malah tertipu dengan kata golput tersebut. Inilah contoh generasi
penerus yang terus membuang hak pilih karena keegoisan mereka, orang-orang
demikian hanya pintar mengkritik tetapi pengecut dalam bersikap.
Alasan golput sepanjang
karya ilmiah tersebut membuat mereka semakin keras kepala. Perkaranya, mereka
yang golput lupa kenikmatan yang dirasakan selama ini. Orang-orang golput yang
tinggal di kota besar memiliki pekerjaan di berbagai bidang. Berbeda dengan
orang-orang kampung yang tidak golput tetapi bekerja di ladang maupun sawah
sendiri tanpa ada yang gaji. Mereka yang golput bekerja di lembaga pemerintah
maupun swasta, bagaimana pun gajinya ditanggung oleh pemerintah. Jangan salah,
biar di swasta juga keuangan negara ini tetap diatur pemerintah terpilih bukan?
Manusia Indonesia tidak ada yang pernah merasa puas sebelum memberi kritikan, termasuk saya. Paling tidak untuk tahun ini para penyuara golput benar-benar paham sedang menggantung kehidupan pada negeri yang telah membuat nyaman hidupnya secara materi maupun batin.
bairuindra.blogspot.com