Siang itu, Rabu, 20 Oktober sekira pukul 11.30, Erwin Puspaningtyas
Irjayanti tak henti-hentinya tersenyum. Sesekali ia menoleh ke arah
Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan yang sedang menjelaskan
program Indonesia Mengajar pada para wartawan yang memenuhi Essambly
Hall Plaza Bapindo, Jakarta.
Bersama 50 rekannya, gadis berjilbab ini mengikuti program yang akan
mengantarkannya hidup di desa terpencil sebagai pengajar muda selama
setahun. Pengajar yang berusia maksimal 25 tahun ini akan ditempatkan di
lima kabupaten, yakni Majene, Sulawesi Barat, Bengkalis, Riau, Tulang
Bawang Barat, Lampung, Paser, Kaltim, dan Halmahera Selatan, Maluku
Utara.
Erwin adalah penulis berbakat. Novelnya berjudul “Sebuah Penantian”
dan “Hati yang Terluka” pernah menjadi best seller di tahun 2008. Pada
tahun 2006, novelnya yang berjudul “Hot Chocolate Love” diterbitkan
Penerbit Puspa Swara dengan menggunakan nama pena Anisa Salsabila. Bulan
Juli lalu, sebuah penerbit di Malaysia membeli lisensi novel ini untuk
diterbitkan di negaranya.
Gadis asal Klaten Jawa Tengah ini menyelesaikan studinya di Institut
Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Kehutanan jurusan Teknologi Hasil Hutan
tahun 2009 dengan IPK 3,41. Erwin juga punya karier cemerlang di sebuah
bank. Terakhir jabatannya adalah Sales Manager Area Bank Mandiri Pondok
Indah Jakarta Selatan.
Tapi, semua kesuksesan itu bukanlah segalanya buat Erwin. Saat
mendengar rencana pengiriman 51 pengajar muda ke daerah terpencil, Erwin
pun terpanggil. Ia rela meninggalkan gaji tinggi di Bank Mandiri, dan
kegiatan menulis yang tentunya menghasilkan materi yang sangat besar.
“Ini panggilan jiwa,” kata Erwin yang akan mengajar di Apoang, Kecamatan
Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
Lain lagi dengan Adeline Magdalena Sutanto. Aline, panggilan
akrabnya, awalnya ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Maklum dia merupakan pelajar berprestasi di Institut Teknologi
Bandung (ITB) dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,59.
Sebelumnya Aline aktif di organisasi mahasiswa dalam dan luar
negeri. Salah satunya adalah Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang yang
berkontribusi menjalin hubungan international. Di program Indonesia
Mengajar, Aline akan ditempatkan di Totolisi, Kecamatan Sendana,
Kabupaten Majene, Sulbar.
Ayu Kartika Dewi, anggota pengajar muda lainnya, juga punya cerita
tak kalah menarik. Ia merupakan salah satu lulusan terbaik Universitas
Airlangga Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen dengan IPK 3,6.
Sebelumnya, Ayu bekerja di P&G Singapore dengan gaji tinggi.
Namun. semangat ingin mengabdi kepada bangsa membuatnya rela
meninggalkan semua kemewahan di Singapura.
Bagus Arya Wirapati, pengajar muda lainnya mengaku makin giat
berolahraga. “Katanya nanti saya akan ditempatkan di pegunungan yang tak
cocok buat tubuh saya gemuk. Makanya saya terus berolahraga, sekarang
berat tubuh saya mulai turun,” kata Roy, sapaannya.
Alumni Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi
jurusan Ilmu Ekonomi ini awalnya bekerja sebagai Asisten Peneliti Bank
Indonesia. Idenya mengenai pemuda koperasi diakui World Bank sebagai
salah satu ide terbaik.
Ia mengaku sering kali berpikir tidak siap menjadi guru di daerah
terpencil. Hingga suatu ketika di pelatihan, usai praktik mengajar di
sebuah SD, Roy mendapat ucapan salam dari murid-murid. “Da...da kak Roy,
da...da kak Roy. Kata-kata mereka membuat saya yakin bahwa saya harus
mengabdi,” terang Roy.
Harapan Bangsa
Guru adalah ujung tombak memajukan pendidikan. Tapi, faktanya,
selama enam dekade perjalanan bangsa ini, nasib guru seolah
terpinggirkan. Tidak mengherankan jika 66 persen sekolah-sekolah di
Indonesia terutama daerah terpencil kekurangan tenaga guru (Data
Mendiknas 2010).
Banyak faktor yang menyebabkan kita kekurangan guru. Di antaranya
adalah gaji guru yang rendah, dan kurangnya kebanggaan berpredikat
sebagai tenaga pengajar. Padahal, hampir semua pejuang kemerdakaan
Indonesia pernah berkarier sebagai guru. Sebut saja Soekarno, Mohammad
Hatta, Sutan Syahrir, hingga Jenderal Sudirman pernah menjadi seorang
pengajar.
Penggagas Indonesia Mengajar mengatakan, ke-51 pengajar muda ini
merupakan harapan bangsa. Pengalaman setahun mengajar di daerah
terpencil diharapkan memberi inspirasi seumur hidup. “Nanti setelah
mereka kembali, pengalaman ini menjadi spirit bahwa mereka pernah
benar-benar mengabdi untuk bangsa. Harapannya, alumni pengajar muda akan
lebih punya semangat membangun Indonesia,” jelas Anies.
Anies mengatakan, gerakan Indonesia Mengajar mengirim 51 guru yang
diambil dari universitas terkemuka di Indonesia. Rinciaannya, ITB
sebanyak 15 orang, UI (13), UGM (7), Unair (5), IPB (3), Unpad (3),
Undip (3), Universitas Paramadina (1), ITS (1), dan Unhas (1).
Setelah angkatan 2010 ini menyelesaikan tugasnya, program Indonesia
Mengajar akan mengirim pengganti. “Kami sengaja memberikan hanya
setahun, agar anak muda lain punya kesempatan sama,” kata Anies.
Mereka akan digaji di atas Rp 3 juta. Semuanya adalah tanggung jawab
dari Indonesia Mengajar yang disponsori tiga perusahaan besar, dan juga
individu-individu yang peduli dengan masalah ini.
Sebenarnya, kata Anis, gaji yang mereka dapatkan rendah dibanding
tempat mereka bekerja dulu. “Gaji ini terbilang kecil, karena ada di
antara mereka yang pernah digaji dolar di Singapura,” jelas Anis.
Banyak pertanyaan apakah mereka siap menjadi guru? Namun, Anies
menjaminnya lewat pelatihan selama enam minggu di Modern Training
Centre, Ciawi, Bogor Jawa Barat. “Konsep pelatihannya sangat beda. Pada
malam hari, kami sengaja mematikan lampu satu kompleks agar mereka bisa
beradaptasi hidup tanpa listrik layaknya di desa terpencil. Namun yang
terpenting orientasi mereka bukan lagi gaji dan karier, tapi
pengabdian,” tandasnya. (*)