Pada tahun 1979, umat Islam digemparkan dengan peristiwa besar
yang menelan banyak korban jiwa, sebuah aksi yang didalangi kelompok
ekstrimis, kelompok Juhayman al-Otaibi, peristiwa itu adalah pembajakan
Masjid al-Haram. Masjidi al-Haram adalah tempat suci umat Islam yang
sangat dihormati dan dimuliakan oleh setiap umat Islam di muka bumi ini.
Kelompok Juhayman al-Otaibi dengan lancang melanggar kehormatan masjid
yang mulia ini, membuat keonaran, dan menumpahkan darah di dalamnya.
Dipimpin oleh Juhayman bin Muhammad bin Sayf al-Otaibi mereka membuat
makar dan menakuti jamaah haji yang datang ke Baitullah al-Haram.
Siapakah Juhayman al-Utaibi?
Juhaiman dilahirkan di al-Sajir, Provinsi Qasim, pada tanggal 16 September 1936. Ia berasal dari kabilah Utaybah, salah satu suku yang terkenal di wilayah Nejd. Ayah dan kakeknya tewas dalam Perang Sabilla, perang antara pasukan Kerajaan Saudi dengan para pemberontak yang terjadi pada tanggal 29 Maret 1929. Dalam perang ini keduanya bergabung dalam kelompok pemberontak.
Suku atau kabilah Utaibah memang dikenal sebagai salah satu suku ekstrim kanan yang memiliki kemampuan militer. Awalnya, mereka dipersiapkan oleh kerajaan sebagai pelindung kerajaan yang baru saja tumbuh kala itu. Namun ternyata mereka menikam dan menghianati kerajaan karena tidak menyepakati nilai-nilai modernitas yang mulai diterapkan kerajaan petro dolar tersebut. Juhayman sangat terpengaruh dengan doktrin kabilahnya. Ia sering mendengar kisah tentang Perang Sabilla dan bagaimana pemerintah Saudi telah mengkhianati prinsip-prinsip Islam yang murni menurut pemahaman mereka.
Pemikirannya
Pada usia 19 tahun Juhayman bergabung dengan tentara nasional Arab Saudi, ia juga dekat dengan ulama seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Kedekatannya dengan para ulama ini menjadikannya cinta akan ilmu agama. Akhirnya pada tahun 1955 ia memutuskan keluar dari militer dan fokus menuntut ilmu agama di Universitas Islam Madinah. Ia dikenal sebagai seorang pemuda yang supel dan memiliki kepribadian yang menyenangkan. Oleh karena itu, banyak guru dan teman-temannya yang menyukainya.
Bersamaan dengan tumbuh dan mulai beranjak dewasanya Juhayman, terjadi pergolakan di belahan negeri Arab lainnya. Di Mesir, Presiden Gamal Abdul Naser menangkap dan menghukum semua aktivis Ikhwanul Muslimin, setelah kelompok ini mencoba melakukan pembunuhan terhadap dirinya. Sebagian anggota Ikhwanul Muslimin ditangkap, disiksa, dan sebagian lainnya berhasil melarikan diri, di antaranya Muhammad Qutb saudara dari Sayid Qutb (kemudian menjadi guru Osama bin Laden).
Raja Faisal –Raja Arab Saudi saat itu- yang memiliki perselisihan dengan Naser menyambut kedatangan tokoh-tokoh intelektual yang bersebrangan dengan Naser. Muhammad Qutb pun dimuliakan dan dijadikan staf pengajar di Universitas Jedah. Dari peristiwa inilah perjalanan Juhayman menuju pemikirannya yang ekstrim dimulai.
Juhayman bertemu beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin saat menuntut ilmu di Universitas Islam Madinah. Mereka lalu berdiskusi tentang Gamal Abdul Naser dan mereka sampai pada kesimpulan bahwa Naser adalah seorang yang murtad, keluar dari Islam karena menghalangi diterapkannya syariat Islam dan menyiksa umat Islam yang taat. Juhayman sangat takjub dan merasa senang dengan pemikiran orang-orang Ikhwanul Muslimin ini.
Di akhir tahun 1960-an saat kerajaan memperbolehkan siaran televisi yang menayangkan pembawa berita perempuan dan unsur-unsur modern lainnya yang menurut Juhayman bertentangan dengan syariat Islam masuk ke Arab Saudi, jiwanya pun memberontak. Juhayman yang dahulu seorang pemuda yang polos berubah menjadi seorang ekstrimis. Ia berpendapat jika rakyat Mesir bisa melawan Naser yang memerintah tidak berdasarkan syariat, mengapa rakyat Saudi tidak bisa melawan raja?
Aksi Pemberontakan
Berawal dari sebuah masjid kecil di Kota Madinah, Juhayman al-Otaibi dan Muhammad al-Qahthani membentuk suatu kelompok yang mereka namai al-Jamaah al-Salafiyah al-Muhtasiba di tahun 1965. Meskipun mendompleng nama salafi, gerakan ini sangat jauh dari jalan salafus shaleh, sebagaimana pelaku terorisme yang mengatasnamakan Islam, padahal Islam mengutuk apa yang mereka lakukan. Gerakan ini berideologi ikhwani ekstrim.
Tahun 1974, Juhayman keluar dari Universitas Islam Madinah. Ia bersama beberapa pengikutnya kembali ke kampung halamannya di Qasim. Ia mematangkan pergerakan yang ia bentuk tahun 1965 di Madinah dan mulai menggembosi masyarakat dengan pampflet-pamflet yang provokatif mencela pemerintah. Ia juga mulai vokal dalam orasi dan khutbah-khutbahnya mengajak masyarakat membangun Arab Saudi yang benar-benar murni berpegang kepada syariat Islam. Menurutnya kerajaan telah melanggar kehormatan Mekah dan Madinah.
Aksi-aksi Juhayman ini ditanggapi serius oleh kerajaan, melalui Pangeran Nayif bin Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai Mentri Dalam Negeri, kerajaan mengisolasi Juhayman dari masyarakat. Hal ini sebagai preventif tersebarnya pemikiran ekstrim yang diserukan oleh Juhayman.
Akhir tahun 1970-an, Juhayman pindah ke Riyadh dan pada tahun 1978 ia mengadakan demonstrasi menentang kerajaan di ibu kota negeri kaya minyak itu. Ia dan 100 orang pengikutnya pun ditahan oleh pihak keamanan. Mendekam di penjara kerajaan, ia ditemui oleh gurunya Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Syaikh berdiskusi dan menanyakan perihalnya terkait demonstrasi tersebut. Juhayman menjawab bahwa kerajaan telah kehilangan legitimasi karena penyimpangan mereka terhadap syariat. Namun dengan kasih sayangnya, Syaikh Ibnu Baz meminta kepolisian mengeluarkannya dari penjara, beliau berharap sikap lemah lembut yang beliau dan kerajaan tunjukkan bisa melunakkan hatinya. Syaikh melobi pihak yang berwajib dengan menyatakan bahwa Juhayman memang seorang anak yang emosional tapi ia tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan.
Namun kasih sayang yang ditunjukkan Syaikh Ibnu Baz dan pihak berwenang tidak berbekas di hati Juhayman, bahkan ia semakin menjadi-jadi. Ia mendaulat saudara iparnya Muhammad al-Qahthani sebagai mahdi yang ditunggu di akhir zaman, bercita-cita membebaskan tanah Arab bahkan dunia dari jalan yang sesat, ketidak-adilan, penguasa-penguasa tiran, dan lebih gila dari itu, ia mulai berencana menyerang Mekah.
Selama beberapa minggu Juhayman dan pengikutnya yang memliki kemampuan militer mengawasi pergerakan yang terjadi di Kota Mekah dan sibuk keluar masuk kota suci tersebut. Akhirnya hari yang mengerikan itu tiba, tanggal 20 November 1979, di waktu shalat subuh, Juhayman bersama 270 orang pengikutnya masuk ke Masjid al-Haram. Mereka membaur bersama jamaah yang masuk ke dalam masjid untuk menunaikan shalat subuh. Mereka membawa beberapa peti jenazah dan mengatakan kepada penjaga bahwa peti itu berisi jenazah yang akan dishalatkan bersama jamaah masjid, padahal peti tersebut berisi lusinan senjata yang akan mereka gunakan untuk membajak Masjid al-Haram.
Selama shalat subuh berlangsung, orang-orang Juhaiman menggembok pintu-pintu Masjid al-Haram dan menempatkan dua penjaga untuk masing-masing pintu. Selepas shalat subuh mereka mulai membajak masjid, masjid yang kala itu penjagaannya tidak seketat sekarang sangat mudah mereka kuasai. Syaikh Muhammad al-Subayyil yang mengimami shalat subuh kala itu menyatakan, ketika shalat subuh usai mereka segera mengambil mikropon dan mengumumkan bahwa mahdi telah muncul. Juhayman memperkenalkan sang mahdi, Muhammad al-Qahthani, kepada para jamaah. Lalu kelompok ini membaiat al-Qahthani di Masjid al-Haram, sambil meletupkan tembakan ke udara mereka mengintimidasi jamaah agar membaiat al-Qahthani juga. Para jamaah haji dipersilahkan meninggalkan masjid, sementara warga Arab Saudi asli dipaksa untuk melakukan baiat. Pihak keamaan masjid yang tidak bersenjata berusaha menindak mereka, namun semua petugas tersebut tewas ditembak. Tumpahlah darah di tanah haram dan di masjid suci, Masjid al-Haram.
Demikian juga sebagian jamaah (warga Arab Saudi) yang mencoba melarikan diri keluar masjid, mereka semua yang ketahuan tewas oleh keganasan kelompok Juhayman ini.
Isu besar ini dengan cepat sampai ke telinga Raja Khalid. Beliau mengumpulkan ulama-ulama berpengaruh untuk membahas permasalahan ini, para ulama tetap mengendepankan jalan negosiasi namun apabila kelompok ini tetap mengabaikan pendekatan ini, tindakan tegas memerangi mereka harus ditempuh pemerintah.
Hal ini sejalan dengan firman Allah,
وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
حَتَّىٰ يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ ۖ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ ۗ
كَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
“Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid al-Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 191)
Pangeran Nayif bin Abdul Aziz turun tangan langsung mengatasi permasalahan ini. Beliau meminta warga yang tinggal di sekitar area masjid untuk mengosongkan tempat tinggal mereka, karena sniper-sniper kelompok Juhayman yang bersiaga dari atas menara-menara masjid bisa membahayakan mereka.
Pasukan Saudi mulai mengepung masjid dan menekan kelompok Juhayman ini. Kelompok teroris ini mulai terpojok dan lari bersembunyi ke terowongan-terowongan di dasar masjid dan mereka berusaha memanfaatkan ruangan-ruangan di lantai dasar untuk persembunyian mereka.
Lima hari setelah pengepungan, tanda-tanda kekalahan kelompok ini mulai muncul. Saat itu belasan anggota kelompok ini menyerahkan diri. Apalagi saat berita tewasnya sang mahdi, Muhammad al-Qahthani tersebar, banyak dari anggota kelompok ini menyerah kepada pasukan Saudi.
Tanggal 5 Desember 1979 pasukan Saudi dan Garda Nasional bertekad mengakhiri pembajakan ini. Mereka mulai memutus suplai air dan listrik ke Masjid al-Haram karena sebagian sandra sudah bisa diselamatkan. Pasukan kerajaan menekan para pembuat onar ini ke daerah yang jauh dari Ka’bah. Sebagian dari mereka menyerah dan sebagian yang lain tetap melanjutkan pertempuran sampai akhirnya mereka berhasil diringkus.
Pemerintah Arab Saudi mendapatkan banyak tawaran dari berbagai negara untuk membantu memberantas para pemberontak, namun kerajaan yakin mereka bisa menyelasaikan permasalahan ini sendiri. Pemberitaan yang menyatakan bahwa Pasukan Prancis, Jordania, dan Mesir turut membantu menyelesaikan masalah ini adalah kabar yang tidak benar.
Tanggal 10 Januari 1980, Juhayman dan 63 atau 67 orang pengikutnya dihukum pancung. Para pengikutnya yang terdiri dari warga Arab Saudi, Mesir, Kuwait, Yaman, Sudan, dan Irak dieksekusi di beberapa kota berbeda, sementara Juhayman dieksekusi di Mekah.
Dalam press conference Pangeran Nayif menyatakan, setelah kejadian ini 19 orang dijebloskan ke dalam penjara dan 23 orang wanita dan anak-anak dimasukkan ke panti rehabilitasi. Korban yang jatuh dalam peristiwa ini 12 orang pegawai dan 115 tentara Arab Saudi gugur dalam operasi pembebasan Masjid al-Haram, 402 pegawai dan 49 tentara terluka, 75 anggota pemberontak tewas, dan 15 lainnya ditemukan tewas di terowongan-terowongan.
Kelompok Juhayman adalah pelopor yang mengkafirkan pemerintah Arab Saudi dan mereka mewujudkan pembangkangan mereka dengan aksi nyata. Saat ini masih kita lihat dan dengar dalam tulisan-tulisan dan pidato-pidato orang-orang yang terpengaruh pemikiran Juhayman, mereka mengkafirkan, mengancam, dan memfitnah Kerajaan Arab Saudi dengan kebohongan-kebohongan dan propaganda.
Semoga Allah selalu menjaga keberlangsungan syariat Islam di negeri tersebut dan memberi taufik kepada penguasa-penguasanya agar berjalan di atas hal-hal yang diridhai-Nya, dan semoga Allah selalu menjaga keamanan tanah haram dari gangguan-gangguan orang-orang yang dengki.
Sumber: Dirangkum dari esai dan jurnal tentang Juhaiman al-Otaibi
Ditulis oleh Nurfitri Hadi
sumber