Chrisna (kiri) menjelaskan cara
kerja soraks Detector kepada para pengunjung stan NYIA LIPI. (Titania
Febrianti/NGI)
Chrisna Ocvatika berdiri sambil
memegang sebuah alat di tangannya, di salah satu stan yang
disediakan bagi para finalis National Young Inventors Award (NYIA) yang
diselenggaraan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pertengahan November 2013.
Bersama rekannya Estika Tri Hadiani,
kedua pelajar SMAN 2 Kota Semarang ini menciptakan Soraks Detector, yaitu alat
pendeteksi kandungan boraks yang terkandung di dalam makanan, tanpa menggunakan
proses kimia. Menurut kedua siswi ini, boraks adalah senyawa kimia yang sangat
berbahaya jika terhirup, termakan, atau mengenai kulit karena dapat menyebabkan
iritasi pada kulit dan dalam jangka pendek dapat menyebabkan rasa mual, pusing,
dan diare, bahkan kematian pada paparan jangka panjang.
Soraks Detector terdiri dari
baterai, alat sensor dan kabel tembaga, serta indikator LED. (Titania
Febrianti/NGI)
Mereka menciptakan alat ini karena
terinspirasi dari tayangan acara televisi yang bersifat investigatif. “Daripada
harus dibawa ke lab, dan makan banyak biaya serta waktu, mengapa tak ciptakan
sendiri alat pendeteksinya?” ujar Chrisna.
“Baso harus dalam keadaan kering
saat alat ini ditusukkan”, lanjutnya sambil memperagakan cara penggunaan.
Dalam dua detik, indikator LED yang terdapat dalam alat tersebut akan menyala.
Jika LED hijau yang menyala, maka
daging bebas dari boraks. Namun jika LED merah yang menyala, maka Anda harus
waspada.
Alat ini melibatkan hantaran sumber
listrik yang berasal dari baterai, kemudian akan membandingkan hambatan yang
diterima dari daging, dengan hambatan yang ditentukan terlebih dahulu sebagai
acuan kandungan boraks. Besaran hambatan ini akan menentukan apakah daging
tersebut mengandung boraks atau bebas dari zat tersebut, yang tergambar dalam
nyala LED.
(Titania Febrianti)