Ada yang berbeda dari Fakultas
Teknik Universitas Indonesia (UI) pada Selasa (24/9/2013) sore. Di salah satu
auditoriumnya, Makoto Tanijiri, memberikan kuliah umum. Tak serupa dengan dosen
atau pengajar yang biasa membawakan materi, arsitek asal Jepang ini tampak santai
dengan kaus, celana kain, dan sebuah tablet.
Kesan pertama, ia begitu istimewa. Meski tampak santai, Tanijiri berhasil "menggelitik" para mahasiswa dan peserta kuliah umum untuk berpikir di luar kebiasaan. Siapa Tanijiri dan mengapa ia berbeda dari tipikal arsitek pada umumnya?
Tanijiri adalah pengajar (Professor) di Anabuki Design College. Ia melakukan perannya di dunia akademis sembari mengasuh kantor miliknya, Suppose Design. Suppose Design sendiri adalah studio yang menggarap desain arsitektur rumah, berbagai bangunan publik, dan interior.
Bersama Suppose Design, arsitek eksentrik ini telah mendapat berbagai penghargaan, antara lain Penghargaan Istimewa Environment of House Design Award (2008), Penghargaan Perak pada JCD Design Award (2008), terpilih dalam Hiroshima Architectural Culture Award, serta Danto Tile Design Contest.
Penghargaan-penghargaan tersebut hanya sebagian dari berbagai apresiasi lain yang sudah diperoleh Suppose Design sejak 2002. Di antara kesibukannya, pria kelahiran 1974 di Hiroshima ini masih bersedia memberikan kuliah umum bagi para mahasiswa Indonesia.
Kuliah umum Tanijiri bertajuk
"How We Think?" (Bagaimana Kita Berpikir?) dan dibawakan dalam Bahasa
Jepang. Namun begitu, ia mampu mengemasnya menjadi konten yang menarik. Jauh
dari membosankan.
Dia memulainya dengan memberikan peserta kuliah sebuah kasus sederhana. Tanijiri menggambar pizza dan mengatakan bahwa ada lima orang yang memesan pizza tersebut. Kemudian ia meminta peserta membaginya sesuai dengan imajinasi dan pemikiran mereka. Hasilnya, gampang ditebak, semua peserta membagi pizza tersebut menjadi lima bagian.
Dia memulainya dengan memberikan peserta kuliah sebuah kasus sederhana. Tanijiri menggambar pizza dan mengatakan bahwa ada lima orang yang memesan pizza tersebut. Kemudian ia meminta peserta membaginya sesuai dengan imajinasi dan pemikiran mereka. Hasilnya, gampang ditebak, semua peserta membagi pizza tersebut menjadi lima bagian.
Mengomentari jawaban peserta,
Tanijiri hanya tersenyum dan mengatakan, "Sebenarnya yang memesan ada lima
orang tapi tidak ada yang menekankan bahwa kelimanya harus mendapatkan jatah
yang sama dan tidak harus dipotong untuk lima orang juga. Dari hal seperti
itulah pemikiran-pemikiran saya dalam mendesain muncul".
Begitulah, Tanijiri berkali-kali
mampu membuat peserta kuliah umumnya tersenyum geli. Selepas pembahasan
mengenai pizza, kuliah umum kemudian beranjak ke materi yang menarik
perhatiannya. Dia mengungkapkan bahwa manusia cenderung memberi nama pada
segala hal. Ketika benda tersebut diberi nama, fungsinya kemudian menjadi
terbatas. Padahal, benda tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain.
Sebuah gelas, misalnya, bisa menjadi gelas, bisa menjadi vas, pot, alat musik, akuarium, bahkan lampu. Karena ada namanya, fungsinya menjadi tetap. Dengan menghilangkan nama itu, ia menemukan bahwa sebuah benda bisa menjadi benda yang lain.
Sebuah gelas, misalnya, bisa menjadi gelas, bisa menjadi vas, pot, alat musik, akuarium, bahkan lampu. Karena ada namanya, fungsinya menjadi tetap. Dengan menghilangkan nama itu, ia menemukan bahwa sebuah benda bisa menjadi benda yang lain.
Selain melepaskan kelekatan suatu
benda terhadap nama, definisi, dan stereotip yang sudah telanjur melekat pada
benda tersebut, Tanijiri juga mengajarkan berbagai hal lain.
Pertama, dia mengajarkan konsistensi dan kegigihan lewat serangkaian karya imajinatif Suppose Design yang gagal meraih penghargaan. Kegagalan demi kegagalan yang sempat dia alami membuatnya sampai pada sebuah kesimpulan; bahwa dewan juri sebetulnya tidak memahami hasil desainnya yang mendahului era saat itu, terlalu futuristik, imajinatif, dan bahkan "semaunya sendiri". Namun, Tanijiri tak pernah menyerah.
Pertama, dia mengajarkan konsistensi dan kegigihan lewat serangkaian karya imajinatif Suppose Design yang gagal meraih penghargaan. Kegagalan demi kegagalan yang sempat dia alami membuatnya sampai pada sebuah kesimpulan; bahwa dewan juri sebetulnya tidak memahami hasil desainnya yang mendahului era saat itu, terlalu futuristik, imajinatif, dan bahkan "semaunya sendiri". Namun, Tanijiri tak pernah menyerah.
Kedua, dia juga mengajarkan
pentingnya secara terus-menerus berkomunikasi dengan orang lain, bersedia
belajar dari orang lain, dan membebaskan diri. Ketiga, rela membuka diri dan
berani mengeksplorasi ide yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Keempat, menjadi diri sendiri dan
tidak melakukan praktik meniru. "Selama kita tidak bisa menemukan ide
sendiri, kita tidak bisa jadi arsitek yang baik. Jangan memaksa juga, jadilah
diri Anda sendiri," ujarnya.
Dia juga berpesan, bukan soal bisa atau tidak bisa tapi kemauan untuk membuat sebuah rancangan atau karya arsitektur. Jangan sampai kita kehilangan imajinasi saat kecil!.
Dia juga berpesan, bukan soal bisa atau tidak bisa tapi kemauan untuk membuat sebuah rancangan atau karya arsitektur. Jangan sampai kita kehilangan imajinasi saat kecil!.