Protes Singapura telah mengingatkan kembali atas hukuman
mati terhadap dua marinir Indonesia itu, Usman Haji Mohamad Ali dan Harun Said.
Protes Singapura ini terkait nama bagi Kapal Republik Indonesia (KRI) yang
diberi nama Usman Harun, tak pekal membuka ingatan kita siapa sebenarnya
Usman-Harun ini. Lalu begitu pentingkah keduanya sehingga Singapura memprotes?
Lalu bagaimana cara RI protes kita
pada Negeri Singa itu?
Kita sepakat, tidak membuang banyak energi
untuk memberi pelajaran atas arogansi sikap Singapura itu. Ada banyak cara yang
bisa dilakukan anak negeri ini untuk membuat Singapura menyadari bahwa sikapnya
itu tidak tepat.
Protes Pertama, kita minta kepada saudara-saudara kita di Pulau Bintan untuk
menghentikan sementara pasok air bersih ke Singapura. Tak perlu lama-lama,
cukup satu bulan saja para pengusaha di Bintan menghentikan pengiriman air
bersih ke negeri itu. Kalau menghentikan pasok air tak cukup, hentikan juga
pasok pasir ke Singapura.
Protes Kedua, kita minta saudara-saudara kita di Pulau Batam untuk
menggelar Festival Layang-layang secara besar-besaran di bibir pantai pulau
yang berhadapan langsung dengan Singapura itu. Jika selama ini festival
laying-layang dilakukan di Pulau Bali, maka khusus untuk tahun 2014 ini, kita
pindah ke Pulau Batam. Acara ini tak perlu lama-lama, cukup satu minggu saja.
Sebab, kalau lama-lama bisa diprotes seluruh dunia, karena pesawat mereka
terlalu lama tak bisa mendarat di Baandara International Changi.
Protes Ketiga, meniru apa yang pernah dilakukan Brigjen Pol Andojono,
Wairwasum Mabes Polri. Beberapa tahun silam, ketika Andojono masih menjabat
Kapolwil di Kepulauan Riau, berusaha menolong nelayan yang ditangkap polisi
Singapura. Andojono minta agar para nelayan itu dibebaskan dan tidak disiksa
selama dalam tahanan Singapura. Rupanya Andojono mendapat informasi bahwa para
nelayan itu disiksa polisi Singapura.
Dalam rangka membebaskan para
nelayan dari penjara itu, Andojono bertandang ke Singapura menemui petinggi
polisi di sana. Rupanya, Singapura memang negara kecil yang sangat arogan.
Polisi negeri itu menolak mentah-mentah permintaan mantan Kapolwil Bogor itu.
Dengan tangan kosong, Andojono harus kembali ke Batam.
Bukan Andojono kalau tak punya akal
untuk mewujudkan apa yang sudah diniatkannya membebaskan nelayan Indonesia dari
tahanan Singapura. Sekembalinya dari Singapura, Andojono memerintahkan
anggotanya memasang balon udara di bibir pantai Pulau Batam. Jumlahnya tak
terlalu banyak. Sepuluh pun tak sampai.
Apa yang terjadi? Kepala Kepolisian
Singapura pun bertekuk lutut. Dia mencari Andojono dan meminta agar balon-balon
udara di Pantai Batam itu diturunkan karena telah melumpuhkan penerbangan di
Bandara International Changi. Tentu, Andojono bilang bahwa balon udara itu baru
bisa diturunkan kalau nelayan Indonesia yang ditahan Singapura dibebaskan tanpa
syarat apa pun. Dan, para nelayan pun bebas.
Sejarah Singkat Usman Harun?
Untuk mengingat Siapa Usman dan
Harun, Usman, bernama lengkap Usman Janatin bin H. Ali Hasan. Usman lahir di
Dukuh Tawangsari, Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga,
Jawa Tengah, pada 18 Maret 1943. Pangkat terakhirnya adalah Sersan. Dia anggota
elit Korps Komando Operasi (KKO), cikal bakal Marinir Angkatan Laut (AL).
Harun, bernama asli Tohir bin Said, yang kemudian dikenal Harun Said. Lahir di pulau Bawean, Kabupaten Gresik Jawa Timur. Dia adalah anak ketiga dari ayah bernama Mandar dan ibu Aswiyani. Pangkat terakhir adalah Kopral.
Pada periode 1962-1966, terjadi ketegangan semenanjung Malaya. Ada keinginan Malaysia menyatukan Brunei, Sabah dan Sarawak. Indonesia di bawah komando Presiden Soekarno menolak itu.
Penggabungan itu oleh Malaysia diharapkan menjadi Federasi Malaysia. Soekarno mentah-mentah menolaknya. Karena bagi Soekarno, cara Federasi Malaysia adalah imperialisme gaya baru.
Bagi Soekarno, Federasi Malaysia layaknya "boneka Inggris". Juga mengancam Indonesia karena bisa jadi mendukung pemberontak yang saat itu masih ada di Indonesia.
Digelorakannya Dwikora oleh Soekarno, memulai perlawanan terhadap Federasi Malaysia itu. Konfrontasi Indonesia-Malaysia semakin memanas. Pada 3 Mei 1964, dikirim relawan ke negara-negara tersebut.
Harun Said dan Usman Hj Mohd Ali yang saat itu anggota KKO, dikirim ke Singapura dengan perahu karet. Mereka diminta melakukan sabotase terhadap kepentingan Singapura.
Kerja keduanya terbilang sukses. Hingga pada 10 Maret 1965 terjadi pengemoban di MacDonald House, yang juga kantor Hongkong Bank dan Shanghai Bank. Lokasinya di Orchard Road. 33 orang dikabarkan luka berat, tiga lagi meninggal dunia.
Singapura mendeteksi pelakunya. Usman dan Harun mencoba untuk keluar dari Singapura. Penjagaan semakin diperketat di jalur keluar Singapura. Berbagai cara dilakukan keduanya untuk keluar.
Usman dan Harun sempat bertolak meninggalkan Singapura dengan perahu. Sayang, di tengah perjalanan, mesin perahu mati sehingga mereka tertangkap.
Mereka divonis hukuman gantung. Upaya banding Indonesia mental. Sehingga keduanya pada 1968 dihukum gantung. Usman dan Harun meninggal pada usia yang tergolong muda, 25 tahun.
Setelah penghormatan terakhir, jenazah keduanya diterbangkan ke Indonesia menggunakan pesawat TNI AU.
Nama kapal perang Usman-Harun yang didasarkan atas dua nama Marinir Indonesia, yakni Usman Haji Mohamad Ali dan Harun Said, diprotes Pemerintah Singapura karena terlibat pengeboman Macdonald House di Orchard Road pada 1965.
Juru Bicara Kemlu Singapura mengatakan akibat dari penamaan ini akan menyakiti perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga dari korban. Dalam peristiwa itu tiga orang tewas dan melukai 33 orang.
Saat itu Presiden Soekarno menolak pembentukan Malaysia. Singapura masih menjadi bagiannya sejak September 1963 hingga Agusuts 1965. Dua marinir tersebut melakukan pengeboman di MacDonald House dan berhasil ditangkap dan diadili di Singapura pada 1968.
Keduanya dihukum gantung dan memicu kemarahan di Jakarta yang berujung pada perusakan di Kedutaan Besar Singapura oleh sekira 400 orang. Bagi Indonesia, dua marinir itu adalah pahlawan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Harun, bernama asli Tohir bin Said, yang kemudian dikenal Harun Said. Lahir di pulau Bawean, Kabupaten Gresik Jawa Timur. Dia adalah anak ketiga dari ayah bernama Mandar dan ibu Aswiyani. Pangkat terakhir adalah Kopral.
Pada periode 1962-1966, terjadi ketegangan semenanjung Malaya. Ada keinginan Malaysia menyatukan Brunei, Sabah dan Sarawak. Indonesia di bawah komando Presiden Soekarno menolak itu.
Penggabungan itu oleh Malaysia diharapkan menjadi Federasi Malaysia. Soekarno mentah-mentah menolaknya. Karena bagi Soekarno, cara Federasi Malaysia adalah imperialisme gaya baru.
Bagi Soekarno, Federasi Malaysia layaknya "boneka Inggris". Juga mengancam Indonesia karena bisa jadi mendukung pemberontak yang saat itu masih ada di Indonesia.
Digelorakannya Dwikora oleh Soekarno, memulai perlawanan terhadap Federasi Malaysia itu. Konfrontasi Indonesia-Malaysia semakin memanas. Pada 3 Mei 1964, dikirim relawan ke negara-negara tersebut.
Harun Said dan Usman Hj Mohd Ali yang saat itu anggota KKO, dikirim ke Singapura dengan perahu karet. Mereka diminta melakukan sabotase terhadap kepentingan Singapura.
Kerja keduanya terbilang sukses. Hingga pada 10 Maret 1965 terjadi pengemoban di MacDonald House, yang juga kantor Hongkong Bank dan Shanghai Bank. Lokasinya di Orchard Road. 33 orang dikabarkan luka berat, tiga lagi meninggal dunia.
Singapura mendeteksi pelakunya. Usman dan Harun mencoba untuk keluar dari Singapura. Penjagaan semakin diperketat di jalur keluar Singapura. Berbagai cara dilakukan keduanya untuk keluar.
Usman dan Harun sempat bertolak meninggalkan Singapura dengan perahu. Sayang, di tengah perjalanan, mesin perahu mati sehingga mereka tertangkap.
Mereka divonis hukuman gantung. Upaya banding Indonesia mental. Sehingga keduanya pada 1968 dihukum gantung. Usman dan Harun meninggal pada usia yang tergolong muda, 25 tahun.
Setelah penghormatan terakhir, jenazah keduanya diterbangkan ke Indonesia menggunakan pesawat TNI AU.
Nama kapal perang Usman-Harun yang didasarkan atas dua nama Marinir Indonesia, yakni Usman Haji Mohamad Ali dan Harun Said, diprotes Pemerintah Singapura karena terlibat pengeboman Macdonald House di Orchard Road pada 1965.
Juru Bicara Kemlu Singapura mengatakan akibat dari penamaan ini akan menyakiti perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga dari korban. Dalam peristiwa itu tiga orang tewas dan melukai 33 orang.
Saat itu Presiden Soekarno menolak pembentukan Malaysia. Singapura masih menjadi bagiannya sejak September 1963 hingga Agusuts 1965. Dua marinir tersebut melakukan pengeboman di MacDonald House dan berhasil ditangkap dan diadili di Singapura pada 1968.
Keduanya dihukum gantung dan memicu kemarahan di Jakarta yang berujung pada perusakan di Kedutaan Besar Singapura oleh sekira 400 orang. Bagi Indonesia, dua marinir itu adalah pahlawan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pengirim : Djafar - Kalibata